Indonesia kekurangan dokter ini merana ketika dokter-dokter memutuskan untuk turun ke jalan. Mogok dokter yang dipicu eksekusi terhadap dua dokter yang diputus bersalah oleh MA sejak 2012 lalu, mengundang protes. Dukungan Kementrian Kesehatan terhadap mogok dokter juga absurd, di satu sisi mendukung mogok dokter, di sisi lain berharap pelayanan tak berkurang, dua hal yang tak mungkin terjadi bersamaan.
Mogok dokter menimbulkan ancaman serius terhadap sistem kesehatan di Indonesia. Padahal, jumlah dokter kita masih jauh dari angka ideal. Data dari Health Professional Education Quality (HPEQ) Project, Dirjen Dikti Kemendiknas (2010) menunjukkan adanya kekurangan dokter yang signifikan untuk mencapai Indonesia Sehat 2025. Pada tahun 2010, rasio dokter umum dan penduduk baru 30,39 dokter per 100.000 penduduk. Jauh dari angka ideal 40 dokter umum per 100.000 penduduk atau 1 dokter untuk 2500 penduduk dan baru mencukupi 77,43% dari kebutuhan ideal. Di Jawa Barat, rasio dokter bahkan hanya 4,3 dokter per 100.000 penduduk, terendah di seluruh Indonesia.
Selain jumlah, sebaran dokter juga menjadi persoalan. Dokter-dokter mengumpul di Jawa, Bali, Sumatra Utara dan Sulawesi Selatan. Di luar daerah itu tidak sulit ditemukan dokter yang nyaris tanpa istirahat bekerja untuk kepentingan masyarakat. Sehingga, ketika dokter-dokter yang mengabdi tersebut dipenjara, wajar jika reaksi keras muncul. Apalagi, dokter merupakan profesi yang memiliki organisasi profesi paling kuat di Indonesia di bawah IDI, KKI dan AIPKI, dan organisasi di bawah keahlian spesialis.
Ancaman terhadap system kesehatan nasional ditambah dengan sedikitnya “pasokan” dokter yang dihasilkan perguruan tinggi. Hanya sekitar 6.000 dokter baru yang dihasilkan tiap tahun dari 45 institusi pendidikan dari 71 insitusi pendidikan yang melahirkan dokter umum. Sebanyak 26 institusi pendidikan sedang dalam proses menciptakan dokter baru.
Sampai sekarang, belum ada mekanisme untuk mengatur dan mengawasi kinerja para dokter. Masyarakat dengan mudah dan latah berkata malpraktek, padahal dokter bukan tukang sulap yang dengan sim salabim menghilangkan penyakint pasien. Standar etika profesi dan sumpah dokter sering berseberangan dengan logika hukum yang dipakai MA untuk menjerat dr Ayu.
Bulan lalu, saya mengantarkan anak saya yang tidak bisa berjalan setelah terjatuh di sekolahnya di Sydney, Australia yang memiliki rasio 1 dokter untuk 322 penduduk. Karena tidak ada tukang urut, saya bawa anak saya ke klinik di kampus yang merupakan rujukan asuransi. Setelah diperiksa, dokter klinik, meminta X-Ray untuk diketahui lebih lanjut, walaupun tidak ditemukan perkara yang serius. Dari proses tersebut, ada beberapa hal menarik yang bisa dijadikan pelajaran agar dokter yang mengabdi untuk kemanusiaan, tak begitu saja dipenjara, apalagi tanpa kriteria yang jelas. Solusinya ada di database penanganan dokter yang dikelola secara nasional. Dengan database yang bagus, dapat menjadi bukti di pengadilan jika muncul tuntutan dari pasien. Dokter memiliki pegangan dalam menangani pasien. Walaupun secara pribadi saya kurang bersepakat dengan aksi dokter turun ke jalan, pengabdian kepada kemanusiaan tidak boleh berujung penjara.
Pertama, seluruh provider kesehatan seperti klinik, laboratorium, rumah sakit dan puskesmas memiliki nomor registrasi. Sehingga, dokter hanya bisa berpraktik di tempat-tempat yang teregistrasi. Hal ini sekaligus untuk melindungi pasien agar tidak salah tempat dan menjamin jam kerja yang masuk akal bagi dokter.
Kedua, seluruh dokter di Australia memiliki nomor yang melekat pada individu dokter. Nomor-nomor registrasi dokter ini memungkinkan pemerintah untuk mengetahui seluruh hal berkaitan dengan sang dokter
Ketiga, seluruh tindakan medis termasuk pemberian obat juga diberi nomor. Sehingga, penangangan dokter yang bersangkutan dapat diketahui dengan jelas. Jika merupakan dokter spesialis, diketahui juga dokter pengirim pasien. Sehingga tidak hanya pasien yang memiliki riwayat medis, dokter juga memiliki riwayat penanganan pasien.
Terakhir, setiap pasien juga memiliki nomor rekam medis yang memungkinkan siapapun dokternya untuk mengetahui riwayat medis pasien.
Menariknya, keempat hal diatas dikelola dalam database secara nasional yang terintegrasi dengan memanfaatkan sistem teknologi informasi. Sehingga hanya dengan sekali mengakses database akan mudah diketahui bahwa dokter A, melakukan penanganan medis B terhadap pasien C pada klinik D. Semua itu juga dapat diketahui dari nota pembayaran yang diterima pasien.
Nota pembayaran tersebut kemudian di klaim ke asuransi yang memuat kolom-kolom untuk tanggal kunjungan, kode dan nama pasien, kode provider, nama dan kode dokter, dan kode tindakan yang diambil dokter. Hal ini memudahkan asuransi untuk melakukan pembayaran sekaligus rekaman terhadap tren penyakit dan tindakan. Selain itu, pasien memiliki rekam medis yang dicatat secara nasional sehingga tidak perlu khawatir jika berpindah rumah sakit dan dokter.
Walaupun terlihat urusan teknis, hal ini perlu karena pemerintah harus berperan aktif dalam membuat database nasional yang memungkinkan sistem kesehatan terpadu yang berbasis kepada TI. Langkah untuk hal ini harus dimulai, disamping masalah akses TI yang masih terbatas. Selain melindungi dokter dari malpraktek, sistem yang transparan juga menjamin hak pasien untuk mendapatkan pengobatan yang baik. Sistem ini juga penting untuk menyambut era BPJS tahun depan.
Tentu saja menciptakan database ini tidak dalam waktu singkat. Jangankan mengisi komputer, dokter di tempat sibuk nyaris tak punya waktu untuk dapat berkomunikasi dengan pasien dengan baik, seperti yang sering dikeluhkan selama ini. Tetapi jika kita tidak berani bermimpi, kapan bangsa ini maju?