Kraton Agung Sejagat

Kedaulatan Rakyat, 15 Januari 2020

Kedaulatan Rakyat, Selasa 14 Januari menulis tentang berdirinya Kraton Agung Sejagat (KAS) di Purworejo Jawa Tengah. Pemimpin KAS, Toto Santoso Hadiningrat mengatakan, “Kraton tersebut merupakan perwujudan berakhirnya perjanjian 500 tahun yang ditandatangani penguasa terakhir Majapahit Dyah Ranawijaya dengan Portugis di Malaka tahun 1518.” Tulisan ini akan melihat fenomena raja abal-abal yang marak di Indonesia belakangan ini.

Sebelumnya, saya ingin mengingat interview saya dengan ‘Sultan Demak’ Sri Sultan Suryo Alam Joyokusumo di Bima, NTB 2014. ‘Sultan Demak’ berangkat menggunakan mobil Fortuner dari Demak ke Bima. Berbekal puluhan spanduk dan seragam ‘kerajaan’, dia berhasil mendapatkan 25 pelajar SMA di Bima yang diberi seragam sebagai peserta kirab Festival Kraton Nusantara VII. Spanduknya tersebar di seluruh penjuru kota dan entah bagaiamana, dia berhasil mendapatkan undangan di welcoming dinner.

Sultan Demak mungkin beruntung, tetapi temannya tidak. KRMH Abdul Hakim Prodoto Kusumo, SH, Spl. hadir dengan tutup kepala dari kuningan yang beratnya saya kira tiga kilogram, persis seperti raja-raja Syailendra. Metal detector menyala keras ketika dia melewatinya. Sang raja mengaku sebagai perwakilan dari Kasunanan Surakarta. Panitia yang bingung mempersilahkannya di deretan kursi depan yang sudah diduduki Gusti Moeng dan saudaranya. Sempat ada keributan kecil sebelum ‘Sultan Demak’ menariknya di kursi paling belakang untuk duduk di mejanya. Tanpa undangan, raja yang dalam spanduknya mengaku sebagai ‘Notaris Founding Fathers Nasional-Internasional’ yang ‘membawahi kerajaan Padjajaran, Mataram dan Majapahit,’ ini mungkin harus menanggung malu jika tidak ditolong ‘Sultan Demak’.

‘Sultan Demak’ sendiri dulunya adalah tukang pijat keliling bernama Mbak Minto. Karena wangsit kakeknya yang mukso, hilang, dia mendirikan ‘Keraton Demak’, lengkap dengan pendopo berukuran 10 x 10 meter persegi. Atraksi-atraksi Jawa sering dipentaskan di keratonnya.

Continue reading “Kraton Agung Sejagat”

Tragedi SKTM

Kedaulatan Rakyat, Opini Jumat 13 Juli 2018

Mengapa wali murid mampu menggunakan SKTM Aspal untuk mendaftarkan sekolah anaknya? Apakah nilai-nilai kejujuran telah hilang? Tulisan ini akan membahasnya dalam kacamata Tragedi Bersama, “Tragedi of the commons”, teori klasik Garrett Hardin (1968).

Teori Hardin mengandalkan dua hal: semua orang akan berfikir rasional untuk memaksimalkan keuntungan pribadi dan kedua, tidak ada aturan yang membatasi tindakan rasional tersebut. Jika setiap orang boleh memasang keramba sebanyak-banyaknya di Waduk Sermo misalnya, peternak akan berusaha menambah keramba untuk keuntungan pribadi. Akibatnya terjadi tragedi bersama yaitu pendangkalan, menurunnya kualitas air dls. Keuntungan pribadi dibayar dengan kurugian bersama sebagai komunitas.

Tragedi SKTM diawali oleh dua kebijakan yang kurang dipertimbangkan dampaknya secara detail. Permendikbud 14/2018, yang tidak jauh berbeda dengan Permendikbud 17/2017, berisi dua kebijakan. Pertama, fasilitasi golongan miskin dengan kewajiban “paling sedikit” 20 persen dari jumlah siswa baru yang diterima, dan kedua penghapusan sekolah favorit dengan pembagian zona berdasarkan jarak tempat tinggal dengan sekolah.

Sekolah Terbaik

Persoalannya, sebagian besar orang akan berupaya untuk mencari sekolah terbaik untuk anaknya. Predikat sekolah favorit tidak mudah hilang diukur dari ujian UN. Continue reading “Tragedi SKTM”

Menegakkan UUK

KR, Analisis, 10 Oktober 2017

Pemerintah akhirnya melantik Gubernur dan Wagub DIY sesuai dengan berakhirnya masa jabatannya yaitu hari ini pada tanggal 10 Oktober 2017. Kebijakan ini berbeda dengan ucapan Dirjen Otda Sumarsono yang mengatakan bahwa Sultan dan PA akan dilantik pada 16 Oktober 2017 bersamaan dengan Gubernur DKI dan jeda waktu pelantikan akan diisi Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur. Persoalan ini bukan persoalan sepele karena menyangkut penegakan UUK. Mengapa Jakarta akhirnya berganti haluan dan mempercepat pelantikan?

Keistimewaan Yogyakarta memiliki lima kewenangan khusus yaitu: penetapan Gubernur/Wagub, tanah, tata ruang, kebudayaan dan kelembagaan. Kewenangan istimewa terkait penetapan Gubernur yang sekaligus Sultan Hamengku Buwono yang bertahta dan Wagub yang sekaligus Paku Alam yang bertahta tidak ditemukan di provinsi manapun.

Oleh karena itu, proses pelantikan Gubernur/Wagub DIY tidak dapat serta merta disamakan dengan provinsi lain yang dikenal Plt yang memiliki otoritas politik dan Pelaksana Harian (Plh) yang terbatas pada fungsi administratif. Sehingga jeda pelantikan antar Gubernur bisa diisi dengan Plt/Plh yang bisa diambil dari siapa saja sesuai keinginan pemerintah pusat. Tetapi di DIY, Gubernur dan Wagub dikunci dalam diri Sultan dan PA.

UUK memang memberikan ruang bagi seseorang diluar Sultan dan PA menjadi Pejabat Gubernur DIY dengan syarat yang sangat spesifik. Pertama, hal ini hanya terjadi apabila baik Gubernur atau Wakil Gubernur DIY tidak memenuhi syarat menjadi kandidat, misalnya karena faktor usia. Kedua, Pejabat Gubernur tersebut telah mendapat persetujuan dari Kasultanan/Pakualaman. Ketiga, Pejabat Gubernur tersebut berhenti ketika Sultan dan PA yang bertahta dilantik menjadi Gubernur/Wagub. Continue reading “Menegakkan UUK”

Pelantikan Gubernur

KR, Analisis, 6 Oktober 2017

Tempat untuk melantik Gubenur DIY minggu depan menjadi isu yang menarik di masyarakat Yogyakarta. Tulisan ini ingin melihat dampak kultural dan politik apabila pelantikan dilakukan di Jakarta.

Sebenarnya UUK hanya mengatur bahwa pelantikan Gubernur dan Wagub DIY dapat dilakukan oleh Presiden, Wapres atau Menteri. Hanya saja, Jokowi membuat cara baru pelantikan Gubernur dengan mengundang Gubernur dan Bupati di istana negara pada awal tahun ini. Bagi pejabat daerah yang biasanya dilantik oleh Mendagri, mekanisme baru ini tentu disambut dengan bangga karena mereka dilantik langsung oleh Presiden di Istana Negara Jakarta. Bagaimana dengan DIY? Mari kita lihat prosesnya sejak 1998.

Pada 3 Oktober 1998, Mendagri Syarwan Hamid melantik Gubernur DIY di Yogyakarta seperti gubernur lainnya dan menolak aspirasi masyarakat DIY yang menghendaki Sultan dilantik oleh Presiden Habibie. Ketika habis masa jabatannya, Sultan ditetapkan dan dilantik oleh Mendagri Hari Sabarno pada 9 Oktober 2003 sebagai Gubernur setelah sebelumnya menjadi Pjs untuk enam hari. Jabatan ini diperpanjang dua kali (2008-2011; 2011-2013), hingga disyahkannya UUK pada 2012.

Penetapan UUK ini menandai babak baru hubungan Yogyakarta-Jakarta. SBY yang babak belur dilanda kasus korupsi partai Demokrat dan lemahnya dukungan rakyat DIY atas isu penetapan-pemilihan, memilih melantik Sultan HB X dan PA IX di Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta. Hal ini untuk menarik simpati rakyat DIY menjelang pemilu 2014, tetapi juga menandai “kemenangan” beruntun Yogyakarta atas Jakarta. Untuk pertama kalinya, seorang presiden datang ke provinsi untuk melantik seorang gubernur dan beruntung pula Yogyakarta memiliki Istana Negara. Sejak itu, muncul kebanggaan bagi masyarakat DIY yang istimewa.

Bagi publik Yogyakarta, siapa yang melantik dan dimana tempat melantik dipahami secara simbolis sebagai ukuran hubungan politik dan penghargaan Jakarta atas DIY. Karena Presiden sudah melantik seluruh gubernur dan bupati/walikota di Istana Merdeka, tentunya tidak lagi menjadi kebanggaan jika Gubernur DIY juga dilantik oleh presiden. Kebanggaan atas pelantikan oleh presiden yang dianggap sebagai pengejawantahan Amanat 5 September 1945, tidak lagi bisa diperoleh. Sehingga, lokasi menjadi isu penting.

Masyarakat Yogyakarta ingin jika Gubenur dan Wagubnya dilantik di Yogyakarta, setidaknya karena tiga hal. Pertama itu menjadi simbol penghargaan Jakarta atas jasa Yogyakarta di masa perjuangan. Presiden berkenan “sowan” ke Yogyakarta yang pernah menjadi ibukota republik untuk melantik pemimpinnya. Kedua, rakyat DIY bisa turut merayakan proses tersebut dan menegaskan keistimewaannya. Toh, hal ini hanya dilakukan lima tahun sekali. Ketiga, pelantikan di DIY dapat memperkuat legitimasi kultural pemimpin Yogyakarta yang dibangun salah satunya melalui narasi sejarah.

Continue reading “Pelantikan Gubernur”

Interview by Tirto.id: “Urusan Tanah di DIY Seperti Nagara dalam Negara”

UU Keistimewaan Yogyakarta bukan hanya soal suksesi, tapi juga soal demokrasi menghadapi kekuasaan yang (mencoba tetap) absolut.

tirto.id – Politik daerah di Indonesia pascareformasi menarik perhatian banyak peneliti. Dalam topik mengenai penguasa lokal, penguatan pengaruh para pewaris bekas swapraja (Sultan dan Raja) di politik lokal memicu diskusi menarik.

Dalam ulasannya pada 2008, Indonesianis asal Belanda, Gerry van Klinken menulis, “Apa ini hal yang baik karena tradisi mengintegrasikan masyarakat yang terpukul angin perubahan sosial? Atau pertanda buruk sebab merepresentasikan feodalisme?”

Dosen Fisipol UGM, Bayu Dardias, sejak 2014 lalu, meneliti manuver politik para aristokrat itu. Bayu―kini di Australia untuk studi doktoral di Australian National University (ANU)―mewawancarai puluhan Sultan dan Raja di 10 provinsi. Mayoritas, kata dia, membidik Pilkada atau Pemilu Legislatif. Namun, hanya sebagian yang berhasil.

Di antara semua bekas swapraja itu, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ialah kasus khusus. Aturan semacam UU nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY (UUK) tak berlaku di daerah lain. Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman menjadi satu-satunya institusi aristokrasi penerima kewenangan besar dari pemerintah pusat dalam urusan pemerintahan hingga tanah.

“Mereka semua ingin seperti DIY. Gak perlu susah payah ikut pemilu bisa jadi pejabat publik,” kata Bayu kepada Tirto (10/9/2017).

Tapi, menurut Bayu, UUK masih menyimpan dua persoalan penting terkait polemik suksesi dan penguasaan tanah-tanah keprabon. Berikut wawancara Tirto bersama Bayu mengenai hal itu. Redaksi menambahkan sejumlah hal untuk memperjelas konteks jawabannya.

Polemik Suksesi

Apakah putusan MK soal pasal 18 UUK melapangkan jalan calon Sultan perempuan?

Politik di DIY terbagi menjadi dua proses yang berurutan, suksesi di Kasultanan dahulu, lalu suksesi gubernur kemudian. Putusan MK membuka peluang bagi perempuan untuk menjadi Gubernur DIY apabila memenangkan kontestasi suksesi di Kasultanan. Dalam kontestasi di Kasultanan, banyak yang harus diganti jika Ratu yang bertakhta karena Yogyakarta adalah kerajaan Mataram Islam.

Keris untuk putra mahkota, misalnya, bernama “Joko Piturun” yang artinya “laki-laki yang diturunkan terus menerus” dan juga mitos Sultan adalah pasangan Ratu Kidul. Hambatan-hambatan dasar ini coba dihilangkan oleh Sultan HB X pada 2015.

Redaksi: Pada 2015, Sultan Hamengkubuwana X mengeluarkan Sabda Raja dan Dawuh Raja. Berdasar bisikan leluhurnya, Sultan mengubah gelarnya yang melenyapkan simbol raja laki-laki. Gelarnya menjadi Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengkubuwana Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati ing Ngalogo Langengging Bawono Langgeng, Langgenging Toto Panotogomo.Proses menjadi gubernur masih ada hambatan bagi perempuan di penyebutan gelar yang lengkap di Pasal 1 Poin 4 UUK DIY. Kata “Sayidin Panatagama Khalifatullah” (gelar lama Sultan) identik dengan laki-laki, dan menurut UUK gelar itu adalah warisan budaya yang harus dilestarikan.

Saya kurang sepakat bahwa suksesi di Kasultanan adalah persoalan internal seperti di Keraton lainnya yang saya teliti karena sultan akan otomatis menjadi pejabat publik (Gubernur DIY). Persinggungan antara aristokrasi dan demokrasi terletak pada keleluasaan Kasultanan memilih pemimpin dalam koridor yang diatur UUK sebagai implementasi negara demokrasi.

Artinya, keraton berhak memilih pemimpinnya, tetapi publik juga harus tahu prosesnya. Nah, perubahan aturan suksesi seharusnya diumumkan ke publik seperti diatur di Pasal 43 UUK. Tapi, Sultan menolak mengumumkannya 2 tahun lalu.

Suksesi ini jadi polemik elit, belum melibatkan publik DIY secara umum, mengapa?

Karena tidak ada perubahan struktural yang terjadi. Selama ini, masih perang wacana. Gubernur dan sultan tetap sama, walaupun namanya berubah-ubah. Adik-adiknya juga tetap menduduki posisi semacam “menteri koordinator” di Keraton. Hal ini tidak ada hubungan langsung dengan publik.

Sekarang publik banyak yang berteriak persoalan tanah dan tata ruang, misalnya terkait SG/PAG (Sultan Ground dan Pakualaman Ground), apartemen dan air tanah. Tetapi, sulit mencari kaitannya dengan suksesi politik.

Apakah polemik suksesi akan berpengaruh ke legitimasi politik Keraton Yogyakarta?

Saya kira, tergantung siapa pemenang kontestasi politik suksesi kasultanan. Legitimasi ratu tentu lebih sulit karena membuat sesuatu yang baru dibandingkan sultan laki-laki yang hanya tinggal meneruskan. Sebagai ilustrasi, kalau dulu penobatan putra mahkota selalu disambut dengan suka cita, tapi sekarang penobatan GKR Mangkubumi justru sebaliknya.

Polemik ini sebenarnya bisa diakhiri jika ada urutan suksesi di Keraton Yogyakarta seperti di semua negara yang memadukan sistem darah dan demokrasi. Di Inggris misalnya, line of succession-nya jelas: Pangeran Charles, Pangeran William, Pangeran George dan Putri Charlotte. Di Brunei, Thailand dan bahkan Arab Saudi, yang monarki absolut, semuanya ada dan jelas

Continue reading “Interview by Tirto.id: “Urusan Tanah di DIY Seperti Nagara dalam Negara””

Kado Buat Ratu

Pada 31 Agustus 2012, DPR mengesahkan RUUK yang diperjuangkan rakyat DIY sejak 1999. Tepat lima tahun kemudian, MK membatalkan Pasal 18 ayat 1 yang membatasi perempuan untuk menjadi Gubernur DIY. Tulisan ini akan membahas dampak putusan MK tersebut terhadap kondisi internal Kasultanan dan peluang GKR Mangkubumi menjadi Gubernur DIY.

Putusan MK menyatakan bahwa pembatasan hanya bagi laki-laki untuk menjadi gubernur bertentangan dengan karakter demokratis masyarakat Indonesia. Mengutip putusan MK, salah satu alasan tidak berlakunya pasal tersebut adalah: “untuk memenuhi tuntutan yang adil dalam masyarakat Indonesia yang demokratis pembatasan yang demikian tidak boleh terjadi”.

Kado MK ini disambut dalam dua reaksi. Bagi “Pejuang Paugeran”, MK dipandang tidak mengindahkan budaya dan tata kepemimpinan Kasultanan yang menyatu dengan pemimpin agama yang harus dipimpin oleh lelaki. Disisi lainnya, para pendukung Sabda dan Dawuh Raja menganggap sukacita putusan MK. Putusan MK membuka peluang pembaharuan yang sedang digagas Sultan. Sebenarnya, bagaimana dampaknya dari sisi internal Kasultanan?

Continue reading “Kado Buat Ratu”

Membubarkan HTI

Kedaulatan Rakyat, Analisis 10 Mei 2017

HAMPIR seluruh media online cukup gegabah menampilkan judul terkait pembubaran HTI. Mereka menulis, ‘Pemerintah Bubarkan HTI’ dan sejenisnya. Pemerintah sebenarnya hanya mengambil langkah akan membubarkan HTI. Kata akhir pembubaran berada di Mahkamah Agung sesuai prinsip demokrasi yang tertuang di UU 17/2013. Disinilah polemiknya bagaimana organisasi yang menentang demokrasi bisa berlindung di balik proses demokratis?

Ada dua prinsip demokrasi yang berhubungan dengan hak berserikat. Pertama setiap orang dijamin kebebasannya untuk berkumpul dan menyatakan pendapat. Kedua pembagian kekuasaan ke dalam berbagai lembaga negara yang tidak bisa saling mengintervensi. Sehingga jika kedua prinsip ini dijalankan otomatis pemerintah tidak bisa begitu saja membubarkan organisasi.

Pernyataan pemerintah melalui Wiranto mengingatkan kita akan Orde Baru. Pernyataannya mirip dengan cara-cara Orde Baru. Menjelang tumbang, Suharto menumpas seluruh gerakan pro-demokrasi dan melabeli mereka dengan istilah OTB (Organisasi Tanpa Bentuk) yang ‘menyesatkan masyarakat’. Gerakan prodem waktu itu tak mungkin terbuka karena tembok dan pintu bisa menjadi telinga pemerintah Suharto.

Persoalannya, HTI secara nyata menentang demokrasi. Menurutnya demokrasi adalah produk barat yang tidak sesuai dengan konsep khilafah. Setiap muslim, menurut HTI, seharusnya bercita-cita untuk mendirikan khilafah yang tak tersekat batas negara. Di Indonesia, walaupun sudah hadir sejak Orde Baru membuka tangan terhadap umat Islam di awal 1990an, tidak ada yang menganggap HTI sebagai persoalan serius. Idenya tentang khilafah tak lebih dari mimpi di siang bolong. Melihat konteks geopolitik saat ini, sulit untuk merealisasikan ide khilafah dalam lima puluh tahun ke depan kecuali ada perubahan drastis konstelasi politik internasional.

HTI menjadi penting untuk dibubarkan karena HTI adalah target paling mudah sebagai bukti langkah politik balasan atas serial aksi umat Islam belakangan ini. Sejak semula, HTI terlibat dalam gerakan 411 dan 212 yang membuat pusing pemerintah. Ketika melihat momentum menguatnya gerakan Islam dan melemahnya relasi antara pemerintah dan gerakan Islam pasca kasus Ahok, HTI merancang tabligh akbar dan konvoi di berbagai kota di Indonesia. Continue reading “Membubarkan HTI”

Pertarungan Ahok-Anies Mengelola Isu di Putaran Dua

Jakarta, CNN Indonesia 2  Maret 2017

 Jika bertolak dari exit poll yang dilakukan Indikator Politik Indonesia di putaran pertama, pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno akan memperoleh 52,4 persen dan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat di angka 43,3 persen di putaran kedua. Sementara sisanya masih belum menentukan pilihan.

Berdasarkan hasil survei masing-masing, Direktur Eksekutif Indikator Burhanuddin Muhtadi memprediksi, pertarungan di putaran kedua adalah persoalan emosional versus rasional. Djayadi Hanan, Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), melihat salah satu kunci di putaran kedua terkait persoalan perubahan dukungan partai politik ke kandidat.

Djayadi menegaskan, kedua kandidat memiliki peluang yang setara untuk menang.

Di atas kertas, berdasarkan exit poll, posisi Basuki-Djarot memang kurang menguntungkan. Angkanya hanya naik tipis dari putaran pertama.

Apakah suara Basuki-Djarot mentok di titik itu?

Kalau kembali ke awal pencalonan, tim kampanye kandidat sudah memperhitungkan bahwa pilkada Jakarta yang mensyaratkan 50 persen lebih baik hanya diikuti dua pasang kandidat. Tetapi negosiasi kurang berjalan mulus pada detik-detik akhir.

Setelah koalisi Partai Demokrat memutuskan mengajukan Agus Harimurti Yudhoyono, kubu Prabowo Subianto mencalonkan Anies-Sandi. Pada titik ini, pendukung Ahok-Djarot masih optimistis bisa menang satu putaran.

Namun persoalan menjadi berbeda ketika Ahok ditetapkan tersangka penodaan agama. Pasangan nomor satu dan tiga memperebutkan suara politik massa Islam yang mulai terkonsolidasi. Tidak mudah untuk berkampanye “haram memilih pemimpin non-muslim” bagi orang muslim.

Tetapi begitu ditingkatkan menjadi “dilarang memilih penista agama”, pemilih muslim lebih cepat terkonsolidasi. Sehingga bagi pasangan nomor satu dan tiga, isu putaran pertama adalah “berebut pemilih muslim”, sementara putaran kedua menjadi “konsolidasi pemilih muslim.”

Paslon nomor satu lantas jadi korban dari pertarungan ini.

Agus-Silvy tak punya cukup waktu untuk bersiap. Meski didukung infastruktur politik dan dana mantan presiden, Agus-Silvy hanya meraup 17 persen.

Putaran pertama memberi pelajaran penting di putaran kedua: infrastruktur politik tidak menjamin keterpilihan kandidat.

Di tingkat kelurahan, hampir setiap warga dapat mengidentifikasi tim pemenang Agus-Silvy, tetapi toh, suaranya tidak tak sampai separuh dari dua kandidat lain. Artinya, koalisi partai pendukung bisa jadi tidak terlalu signifikan menjadi penentu pemenang.

Lantas, apa yang menentukan?

Pertama, ada faktor yang sulit dikontrol: salah satunya partisipasi pemilih. Misal, jika sebagian besar pemilih yang sudah jatuh hati pada pasangan Agus-Sylvi tak mau ke lain hati atau pemilih sudah jenuh dan tak lagi datang ke putaran kedua.

Kedua, dari berbagai survei periode November 2016-Februari 2017, ada tiga pola berbeda.

Agus-Silvy mengawali langkah dengan hasil survei tinggi dan terus menurun. Basuki-Djarot berawal dari survei yang tinggi, turun drastis terkait isu penodaan agama dan gerakan massa, lantas kembali naik pada bulan terakhir.

Anies-Sandi menunjukkan kenaikan yang stabil terus-menerus. Dari ketiga tren itu, ada dua hal yang cukup menentukan hasil pilkada DKI: faktor emosional dan sosiologis, terutama tekait agama dan performa debat.

Ketiga, bagi tim Basuki-Djarot, mengampanyekan kinerja adalah cara terbaik, sambil tetap menjaga emosi pemilih dengan tidak melakukan sesuatu yang kontroversial. Peluang kandidat ini dapat diperoleh dengan menggandeng kaum Nahdliyin yang relatif lebih moderat.

Islam modernis apalagi fundamentalis, akan lebih mudah digaet paslon nomor tiga. Selain itu, walau permintaan maaf Ahok di sidang dan tangisannya bisa jadi merebut hati pemilih, tetapi apakah efektif jika dilakukan dua kali?

Dalam sebulan terakhir, Ahok-Djarot dapat memaksimalkan status sebagai petahana aktif, berharap birokrasi Jakarta bekerja menghadapi banjir dan terus menghadapi persidangan penodaan agama.

Ada risiko juga yang harus dihadapi yaitu, diberhentikan sementara dari jabatan Gubernur, cuaca kurang bersahabat yang memicu banjir, serta ketukan palu hakim.

Keempat, Anies sudah mencoba cara cerdas dengan berfoto di genangan banjir yang sekaligus menunjukkan kritik terhadap kinerja petahana. Tapi hal tersebut kurang viral di media sosial.

Saat ini, level pertarungan isu lebih menyasar pemilih, bukan kandidat. Pemilih pasangan nomor urut dua dianggap munafik dan kemudian haram untuk disalatkan. Hal ini bahkan lebih viral dibanding strategi politik cerdas.

Namun pilkada seolah menjadi pertarungan sekali seumur hidup yang pemenangnya akan menduduki kursi gubernur sampai mati. Padahal dalam demokrasi, segala hal bisa terjadi, dan untuk itulah perlu diingatkan bahwa DKI akan mengadakan pilkada lagi dalam lima tahun mendatang.

Jika salah memilih, masih ada lima tahun lagi untuk bertobat memilih pemimpin baru.

Perlu dicatat bahwa proses demokrasi belum tentu menghasilkan kandidat yang terbaik tetapi melahirkan seseorang yang didukung sebagian orang, dan tidak bagi sebagian lainnya. Lihatlah Amerika Serikat.

Negara adidaya itu sudah menciptakan sistem yang rumit dan dijadikan patron di seluruh dunia, menghasilkan Presiden Donald Trump yang pada beberapa hal dianggap mengancam nilai dasar demokrasi. Tetapi toh, setelah terpilih, publik menghormati walau menatapnya dengan penuh keseriusan.

Pada titik tertentu, demokrasi di Indonesia dihadapkan pada situasi yang menantang. Misal untuk pertama kalinya, hasil pilkada di Kota Yogyakarta akan ditentukan oleh Mahmakah Konstitusi karena selisih yang hanya 1.000-an suara.

Padahal dalam Pemilihan Legislatif 2014, dari ribuan kandidat anggota dewan di Yogya, tak ada satupun yang mengajukan gugatan ke MK.

Akhirnya sekali lagi, masih cukup waktu untuk berbenah. Survei itu seperti Anda tes gula darah sesaat di laboratorium. Hasilnya akan berbeda keesokan hari, tergantung makanan yang dikonsumsi.

Cuitan Mantan Presiden

Opini KR 18 Feb 2017

APABILA anda merangkum empat minggu berturut-turut selama pemerintahan SBY (2004-2014) lalu mencari tindakan SBY yang lebih reaktif dibandingkan empat minggu terakhir, anda akan kesulitan. Satu sisi, ini aneh karena biasanya seseorang diterpa kritik ketika berada pada puncak kuasa penentu kebijakan. Di sisi lain, bisa dipahami melihat karakter pribadi SBY.

Sedikit mundur ke belakang, pada 2 November 2016, SBY berpidato di luar kebiasaan. Gaya pidato SBY yang selama sepuluh tahun terjaga, terkonsep dan dilatih berulang-ulang, tiba-tiba berantakan menanggapi isu aktor intelektual aksi 411. SBY terlihat emosional dan sering berbicara di luar teks. Ujung-ujungnya, bukan penampikannya terhadap isu, tetapi justru guyonannya tentang ‘lebaran kuda’ yang menguasai media sosial. Seminggu kemudian, istilah ‘lebaran kuda’dilaporkan alumni HMI ke polisi.

Sejak akhir Januari, SBY semakin rajin mentweet, seiring dengan penurunan hasil survey AHY di Pilkada. Pada 20 Januari, SBY mencuit. ” Ya Allah, Tuhan YME. Negara kok jadi begini. Juru fitnah & penyebar hoax berkuasa & merajalela. Kapan rakyat & yg lemah menang?” Berikutnya pada 4 Februari, SBY menanggapi proses persidangan Ahok dimana ditengarai teleponnya ke ketua MUI sekaligus mantan Watimpresnya KH Ma’ruf Amin menyebabkan ke luarnya Sikap Keagamaan MUI. SBY kemudian melakukan jumpa pers tentang bahayanya penyadapan ilegal. Continue reading “Cuitan Mantan Presiden”

Dakwah Sekaten

Kedaulatan Rakyat, Analisis, 10 Desember 2016

MAULUD Nabi, upaya untuk  memperingati hari lahir Baginda Rasulullah Muhammad SAW memang tidak dikenal dalam fase awal penyebaran Islam. Acara Mauludan pertama kali dilakukan oleh dinasti Fatimiyah di Mesir pada akhir abad ke-11. Mulanya hanya un- tuk kalangan terbatas tetapi kemudian menyebar dan menjadi acara yang dinanti masyarakat umum.

Di beberapa tempat, Maulud sayangnya justru dijadikan ajang untuk mereproduksi kembali nilai-nilai paganisme yang menjadi alasan utama turunnya agama Islam. Tetapi tidak demikian yang terjadi di Indonesia.

Beberapa sejarawan, seperti Ricklef dan De Graff memperkirakan bahwa tradisi Maulud Nabi sudah ada sejak awal Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-13. Setelah beberapa perang yang meruntuhkan Majapahit dan mengorbitkan Demak, Maulud digunakan sebagai media dakwah penyebaran Islam yang wujudnya masih terasa di Kasultanan Yogyakarta dengan peran besar para Wali.

Wali Sanga terbelah menjadi dua kategori, mereka yang menyebarkan Islam di daerah pesisir dan mereka yang masuk ke pedalaman. Penyebaran di pedalaman jauh lebih sulit karena masyarakatnya homogen dan teguh memegang adat. Oleh karena itu, para Wali, termasuk Sunan Kalijaga, Sunan Bonang dan Sunan Muria menggunakan budaya sebagai medium dakwah. Sekaten adalah contoh paling indah dari perpaduan ini. Mereka menarik sebanyak-banyaknya umat lewat seni yang sudah berkembang.

Tujuh hari menjelang 12 Rabiul Awal, dua gamelan Kraton, Kiai Nagawilaga dan Kiai Guntur Madu dibunyikan terus-menerus kecuali waktu salat. Ada juga tradisi Udhik-udhik dimana Sultan membagikan koin kepada rakyat. Jika dibandingkan saat ini adalah konser terus menerus bintang pop seperti Noah, Iwan Fals, Raisa dan lainnya.

Bedanya, tembang-tembang yang dibunyikan sarat ajaran Islam dengan makna mendalam bagi kehidupan. Disitulah nilai-nilai agama disisipkan. Setelah tertarik bunyi gamelan, pelan-pelan masyarakat diajak untuk masuk Islam dan salat di Masjid. Itulah mengapa, dua gamelan dikeluarkan dari Kraton dan diletakkan di halaman Masjid Gedhe. Continue reading “Dakwah Sekaten”

Penggarap Tanah PA

Kedaulatan Rakyat, Analisis, 13 Oktober 2016

screen-shot-2016-10-13-at-4-03-14-pmscreen-shot-2016-10-13-at-4-07-40-pmSEJAK Kemerdekaan (atau mungkin sejak didirikan), dalam catatan saya, belum pernah terjadi rakyat menggeruduk berdemonstrasi ke Pura Pakualaman Yogyakarta, apapun sebabnya. Urusan tanah yang menjadi sumber ekonomi dan politik, selalu menjadi persoalan penting seluruh kerajaan. Walaupun sebagian orasi demo disampaikan dalam bahasa Jawa Krama, spanduk bernada keras dan belum pernah terjadi dalam tradisi protes terhadap institusi tradisional dalam masyarakat Jawa. Yang menilai segala sesuatu menggunakan rasa.

Protes paling keras yang secara tradisional dikenal hanyalah tapa pepe, berjemur bertelanjang dada di antara beringin kurung meminta keadilan Sultan. Sehingga, protes besar 15 September lalu yang salah satu spanduknya antara lain berbunyi “Paku Alam Jangan Pelit“, perlu disikapi dalam konteks masyarakat yang berubah.

Institusi tradisional seperti Pura Pakualaman dan Kasultanan Yogyakarta berbeda dengan pemerintah dan institusi modern lainnya. Keduanya ditegakkan dan didirikan dengan mekanisme patron-client yang dihubungkan melalui tanah. Raja sebagai patron, mendapatkan kesetiaan dan dukungan dari rakyat sebagai client yang hidupnya bergantung pada tanah sebagai sumber ekonomi masyarakat agraris.

Secara berkala setiap tahun, Raja menerima ungkapan terima kasih berupa hasil bumi dan ternak yang jumlahnya selalu kurang dari keuntungan yang diterima penggarap. Rakyat merasa dirinya harus ikut nyengkuyung sang Raja lewat momen penting seperti Grebeg, Jumenengan dan Mubeng Beteng. Hal ini berbeda 180 derajat dengan konsep negara modern dimana hubungan dibangun dengan logika impersonal yang menempatkan setiap orang sama, setara dengan perlakuan yang sama.

Karenanya, hubungan yang terjadi antara Panitia Ganti Rugi Bandara dengan pemilik dan penggarap tanah adalah hubungan putus. Hubungan itu selesai ketika masing-masing pihak merasa sudah mendapatkan dan memberikan rupiah yang disepakati. Tidak ada rasa ewuh pakewuh yang bermain, semuanya sudah digantikan melalui nominal transfer. Bagi yang tidak puas, ngganjel atau mangkel, silakan menempuh keadilan di pengadilan.

Kompensasi transaksional tidak serta merta bisa diterapkan dalam mekanisme ganti rugi penggarap tanah PA. Di satu sisi, pihak PA tidak akan rela dengan mekanisme ganti putus karena akan kehilangan basis pendukungnya, meskipun sebagian besar akan menempati tanah magersari sebagai tempat tinggal pengganti. Di sisi lain, petani penggarap merasa butuh rupiah karena kehilangan mata pencaharian yang dalam kondisi masyarakat yang semakin konsumtif, semakin besar tentu semakin baik. Selain itu, ganti rugi yang diterima Pakualaman juga meningkat karena tanah itu sudah diolah menjadi tanah produktif. Terlepas apakah petani penggarap pernah meminta izin atau menyerahkan bagian panen ke Pura yang mereka yakini sebagi pemilik tanah. Continue reading “Penggarap Tanah PA”

Dimas Kanjeng Abal Abal

Kolom Kompas, 4 Oktober 2016

Pada 11 Januari 2016, Dimas Kanjeng Taat Pribadi yang sekarang ini merajai berita nasional karena kasus penggandaan uang dan pembunuhan, dinobatkan sebagai Raja Anom. Gelar yang dipilih adalah “Sri Raja Prabu Rajasa Negara” yang mengigatkan kita pada gelar-gelar jaman Majapahit. Salah satu istrinya, diberi kedudukan permaisuri dengan gelar “Nyi Ageng Rahmawati” yang dekat dengan gelar kebangsawanan di Banten. Tulisan ini akan mengupas tentang kedudukan Taat Pribadi sebagai raja abal-abal, seabal-abal demonstrasi penggandaan dan pengadaan uang yang dilakukannya.

Sejak reformasi, bermunculan puluhan bahkan ratusan orang yang mengaku-aku sebagai raja dan sultan di seluruh Indonesia. Jumlahnya semakin lama semakin banyak. Sebagian besar dari mereka kemudian bergabung dalam organisasi-organisasi raja dan sultan yang sengaja mereka dirikan untuk memperkuat legitimasi para pengaku-aku bangsawan ini.

Pemerintah tidak bisa berbuat banyak. Konstitusi kita mengatur bahwa setiap orang punya hak untuk berkumpul, berorganisasi dan menyampaikan pendapat. Mereka juga menempuh jalur hukum sehingga mendapatkan akta notaris dan pengesahan dari instansi pemerintah yang menaungi organisasi kemasyarakatan. Pemerintah juga tidak bisa melarang jika ada warga negaranya yang menjahitkan baju warna-warni dan sedikit norak, membuat beberapa pin besar-besar yang terbuat dari emas atau kuningan yang di beberapa sisinya dipenuhi batu zirconia, dan kemudian mengaku sebagai Raja Madangkara misalnya. Sekali lagi, itu adalah ekspresi individual dan kebebasan konstitusional yang diatur undang-undang. Tapi sebenarnya, berapa jumlah kerajaan yang memiliki perjanjian panjang (lange contraact) dan pendek (korte verklaring) dengan Belanda sebelum Jepang datang?

Dokumen Belanda (Staatblad) mengatur terdapat 14 kerajaan/kesultanan di Indonesia yang memiliki kontrak panjang dengan Belanda dan 268 yang memiliki kontrak pendek. Di Jawa terdapat empat kesultanan yang berada di Yogyakarta dan Surakarta. Cirebon sudah menjadi bagian dari pemerintahan langsung (direct-rule) sejak diambil alih Inggris. Probolinggo, tentu saja tidak ada. Beberapa bagian di Jawa Timur adalah bagian dari Kasunanan Surakarta dan pemerintahan langsung. Selain kontrak panjang, ke 268 kontrak pendek yang diatur melalui Staatblad 1919/822 lebih banyak terdiri dari kepala-kepala desa maryoritas berada di wilayah Timur. Para kepala adat setingkat desa ini, misalnya di Maluku, Tapanuli dan Flores, juga disebut sebagai “Raja”.

Asosiasi Keraton Kesultanan Indonesia (AKKI) yang menobatkan Taat Pribadi menjadi Raja Anom mengklaim memiliki 147 anggota yang tidak terdaftar dalam Staatblad Belanda 1919. Continue reading “Dimas Kanjeng Abal Abal”

Kalender Sultan Agungan

Kedaulatan Rakyat, Opini, 28 Juli 2016

screen-shot-2016-09-11-at-7-22-29-pmManusia selalu mendefinisikan dirinya melalui waktu. Oleh karena itu, setiap peradaban besar selalu memiliki hitungan waktunya sendiri. Hitungan waktu dibagi berdasarkan dua prinsip utama yaitu berputarnya bulan dan berputarnya matahari. Dari hitungan tersebut, dibuatlah kelender.

Kalender nasional yang dipakai kita saat ini misalnya, merupakan kalender Gregorian yang diperkenalkan Paus Gregory XII tahun 1582 setelah mengoreksi kalender Julian. Kalender ini menggunakan hitungan matahari. Kalender berdasarkan bulan ditemukan jejaknya pertama kali ditemukan di coretan gua di Lascaux, Perancis yang dibuat sekitar 15,000 tahun lalu. Hitungan bulan secara tradisional digunakan di mayoritas negara di Asia termasuk, China, India, Jepang, Korea, Thailand dll.

Saat Islam mulai kuat di Madinah, dibuatlah kalender Islam yang menggunakan hitungan bulan. Hitungan kalender Islam tidak dimulai dari kelahiran Nabi Muhammad SAW tetapi dimulai dari hijrah beliau dari Mekkah ke Madinah. Metode dan konsep kalender Islam mirip dengan kalender bulan lainnya, hanya penamaannya didasarkan pada budaya dan tradisi Arab ketika itu.

Orang Jawa selalu tertarik dengan waktu. Orang Jawa percaya bahwa perputaran semesta mempengaruhi kehidupan di dunia. Sehingga, sebelum Islam masuk di sekitar abad ke 14, orang Jawa sudah mengadopsi kalender Hindu dan Buddha sekaligus, termasuk segala mistisisme dan kemisteriusan di dalamnya.

Adaptasi Islam di Jawa tidak seperti terjadi di pesisir yang relatif menerima apa adanya. Di Jawa pedalaman misalnya di Mataram yang jejaknya masih ditemukan di Kasultanan Yogyakarta bergabung tiga elemen sekaligus, yaitu Islam, Hindu dan kepercayaan lokal (Woodward 1989). Penanda pokok dari kombinasi ini bisa ditemukan di arsitektur masjid (Aryanti 2013).

Penanda Islam-Keraton, sekaligus justifikasi kebudayaan Jawa terletak pada Kelender yang diciptakan oleh Sultan Agung pada 1633 M. Menurut sejarawan Merle Ricklef dalam tulisannya di Jurnal History Today (1999), Kalender Sultan Agungan merupakan salah satu kalender paling rumit di seluruh dunia. Continue reading “Kalender Sultan Agungan”

Menggugat UUK

Capture1 Kedaulatan Rakyat, Analisis, 6 Juni 2016

UUK 13/2012 digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh Muhammad Sholeh, advokat dari Surabaya. Jika seluruh pasal yang digugat dimenangkan MK, maka mekanisme pemilihan untuk Gubernur dan Wakil Gubernur DIY akan melalui Pilgub sama seperti 33 provinsi lainnya. Sebelum panik, mari kita kaji persoalan ini secara jernih.

Pertama, terkait dengan penggugat. Penggugat adalah advokat muda yang berambisi untuk menjadi politisi. M. Sholeh pernah mencoba peruntungan Bupati Sidoarjo dan Wakil Walikota Surabaya. Keduanya layu sebelum berkembang. Terakhir, dia menjadi Caled DPR RI di Pemilu 2014 melalui Gerindra Dapil I Jawa Timur dengan nomor urut 6. Gerindra hanya punya satu wakil di Dapil tersebut dan menambah kegagalan M Sholeh untuk kesekian kalinya.

Menariknya, M Sholeh ini memang hobi menggugat. Bahkan dalam Pemilu 2014, taglinenya adalah “Sholeh Gugat”. Di kasus gugat menggugat, dia cukup punya prestasi, antara lain menggagalkan mekanisme nomor urut yang digunakan di pemilu 2009, sehingga merubah sistem pemilu dari daftar tertutup menjadi daftar terbuka murni. Sistem ini yang diteruskan di Pemilu 2014 yang banyak memunculkan politik uang, karena kompetisi berlangsung bukan antar partai, tetapi juga antar kandidat. Pendeknya gugat-menggugat menjadi sarana ybs untuk mendapatkan popularitas, yang belum bisa ditransformasi ke elektabilitas sehingga bisa menduduki posisi politik di legislatif dan eksekutif.

Kedua persoalan penggugat yang berdomisili di Surabaya. Selain DIY, Papua dan Papua Barat, semua WNI berhak berkompetisi di Pilgub. Di Papua dan Papua Barat, UU Otsus Papua membatasi hanya penduduk asli Papua yang bisa menjadi Gubernur dan Bupati/Walikota. Sehingga, gugatan M.Sholeh memiliki legal standing yang kuat karena hak konstitusionalnya tercerabut lewat UUK. MK memberikan azas keadilan bagi setiap individu WNI yang merasa hak konstitusionalnya tercerabut oleh sebuah UU. Continue reading “Menggugat UUK”

Dwitunggal Baru DIY

Kedaulatan Rakyat, Analisis, 26 April 2016

Wakil Gubernur Yogyakarta Paku Alam X Suryodilogo akhirnya ditetapkan. Inilah untuk pertama kalinya, UUK 13/2012 digunakan untuk memilih pemimpin politik di Yogyakarta.  Tulisan ini ingin menelusuri beberapa persoalan terkait proses penetapan, sekaligus melihat kemungkinan dwi tunggal Sultan-Paku Alam memimpin Yogyakarta.

Pertama, prinsip penentuan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY adalah administratif dan bukan proses politis. Kewenangan pemerintah dan DPRD DIY berada di level teknis administratif dan bukan pada persoalan subtantif dan politis. Hanya saja, hambatan politis menjadikan proses teknis menjadi berbelit. Proses politis yang berlangsung, hal tersebut terjadi di ranah tradisional di dalam Puro. Ketika jumenengan (6/1) dihadiri oleh mantan presiden Megawati, lima menteri dan dua gubernur, proses politis dapat diasumsikan berakhir. Kehadiran Sultan HB X menjadi penanda penting bahwa Paku Alam X Suryodilogo memililil legitimasi yang cukup.

Kedua, waktu penetapan Wagub tergolong lama. Apabila dihitung dari sejak mangkatnya PA IX, dibutuhkan 5 bulan, 9 hari (161 hari) kekosongan jabatan Wagub DIY atau hampir setengah tahun. Apabila dihitung sejak surat pemberhentian Wagub diterima DPRD DIY tanggal 17 Januari 2016, dibutuhkan 99 hari. Untuk proses administratif, hal ini tergolong lama jika dibandingkan dengan para Gubernur yang terpilih melalui Pilkada 9 Desember 2015 yang dilantik tanggal 12 Februari 2016. Proses penghitunggan suara dan administratif hanya membutuhkan waktu 65 hari atau sekitar dua bulan.

Ketiga, hambatan-hambatan teknis seringkali digunakan untuk kepentingan politis. DPRD memberlakukan kehati-hatian ekstra pada proses penetapan karena keputusannya dapat digugat pihak yang bersengketa, dalam hal ini kubu Anglingkusumo. Beberapa hari lalu, seorang anggota dewan meminta perubahan nama harus dengan ketetapan Pengadilan Tinggi, tidak cukup hanya dengan surat dari notaris. Sebelumnya, persoalan terkait dengan sumber dana pansus dan persoalan lainnya. Continue reading “Dwitunggal Baru DIY”