Tentang Tiga Raja Yogyakarta

Selama melakukan penelitian lapangan untuk studi PhD sejak akhir 2015, saya setidaknya sudah mewawancarai tak kurang dari 21 raja dan sultan termasuk mereka yang mengaku raja dan punya pengikut yang signifikan. Jika ditambahkan dengan orang kedua, semacam perdana menteri atau putra-putri dan permaisuri, jumlahnya menjadi puluhan orang. Itu diluar puluhan pejabat adat, politisi, wartawan, akademisi, sejarawan dan budayawan yang jika ditotal jumlahnya menjadi 286 di 11 Provinsi dan 17 Kab/Kota. Tak sedikit yang saya temui berulang kali.

Ada beragam kharakter dari raja-raja tersebut. Ada raja yang tidak percaya diri untuk diwawancari sendirian, sehingga harus mengajak bawahannya, yang entah mengapa, berbicara lebih banyak daripada rajanya. Ada yang ketika saya datang ke rumahnya disebuah kompleks perumahan sesuai jam yang dijanjikannya, istrinya keluar sebentar dan meminta saya menunggu di luar gerbang garasi. Empat puluh menit saya harus berdiri di bawah terik matahari. Ada juga yang memang berlagak menjadi penguasa sungguhan. Cerita tentang tiga raja Yogyakarta yang saya temui empat mata ini menarik untuk dikisahkan. Mereka adalah Sri Paduka Paku Alam IX, Sri Paduka Paku Alam X dan Sultan HB X. Saya mulai dari yang pertama.

Foto dari Kompas

Protokoler Wakil Gubernur DIY menelpon saya, dan mengabarkan bahwa saya ditunggu Sri Paduka Paku Alam IX jam 7.30 pagi. Bah! Mana ada pejabat yang datang sepagi itu. Jangankan setingkat Wakil Gubernur, pernah seorang bupati enam kali ingkar janjian dengan saya, tiga janji diantaranya terucap dari mulutnya sendiri. Setiap kali saya datang dan menunggu berjam-jam, dia selalu menjanjikan ketemu lain kali.

Pagi itu beberapa hari kemudian, istri saya sudah mengingatkan ketika saya sarapan jam 7 pagi bahwa janjian jangan sampai telat. Sekali lagi saya jawab, “Ah mana ada pejabat yang datang jam 7 pagi, jam kantor saja jam 8.” Akhirnya saya datang ke Kepatihan jam 7.45. Ruangan kepatihan yang telah berusia dua ratus tahun itu sebelah Barat ruangan Gubernur dan sebelah Timurnya ruangan Wagub. Tidak nampak seseorangpun disitu. Setelah sampai dan ke toilet, protocol yang akhirnya menemukan saya setelah mencari kesana-kemari mengatakan bahwa Wagub sudah menunggu sejak jam 7 pagi! Saya kehilangan kata selain minta maaf berkali-kali. Sri Paduka yang ketika muda bekerja di perusahan kapal dan fasih beragam bahasa ini menjawab santai, ”Saya kan siap-siap lebih dulu. Siapa tahu bapak datang lebih awal.” Blaik!

Sri Paduka, dengan gestur yang sangat biasa dan akrab, menjawab wawancara saya selama hampir dua jam. Sesekali saya harus menunggu lama karena beliau harus mengatur napas, atau menunggu sedotan rokok yang hampir menghabiskan separuh bungkus itu. Setelah selesai, beliau lebih dulu berterimakasih sudah dikunjungi, dan menambah teman. Malu saya di awal, menjadi berlipat di akhir.

Foto dari Suara Pembaruan

Putra beliau, Sri Paduka Paku Alam X, pertama kali saya temui di ruang tunggu bandara Lombok dalam perjalanan menuju Festival Keraton Nusantara IX Bima 2014. Dari kesan pertama, sudah terlihat dirinya yang merakyat. Pada acara Opening Dinner FKN, beliau tampil dengan baju Jawa lengkap yang dipakai putra mahkota dalam jamuan resmi (dilihat dari beskap, blangkon, keris dan batik bawahannya).  Di antara sekian banyak raja dan pejabat yang hadir, saya kira, beliaulah kandidat pejabat tertinggi yang sudah digaransi oleh UU sebagai Wakil Gubernur (beliau dinobatkan sebagai Paku Alam X pada Januari dan menjadi Wagub DIY pada Mei 2016). Tapi tampil biasa saja dan tidak menjadi pusat perhatian, padahal beliaulah perwakilan tertinggi dari kontingen Yogyakarta saat itu. Sehingga kehadiran dan sikapnya tidak mengundang media. Ketika berfoto bersama, beliau juga tidak memaksa berdiri di tengah, seperti para raja abal-abal. Seperti yang sudah-sudah, FKN selalu menjadi ajang unjuk gigi raja abal-abal. Panitia juga sepertinya tidak begitu faham dengan sebaran politik para tamunya. Ketika saya sibuk berkenalan dengan para raja, beliau pamit,” Mas, saya pulang duluan ya.” Sampai di penginapan saya berpikir, “Siapa saya sampai dipamiti putra mahkota Pakualaman!”

Di salah satu pertemuan berikutnya, ketika saya yang kebetulan sedang di kampus, diajak bertemu di sekitar kampus. Sebenarnya beliau ingin main ke rumah saya, tapi saya malu ketika itu. Akhirnya kami bertemu di foodcourt di dekat lembah UGM. Seperti biasa, tidak ada yang istimewa, beliau menyetir sendiri mobil karimun hijau yang sudah cukup tua. Tak jauh beda dengan ayahnya yang menemui saya sambil terpincang karena jatuh dari sepeda motor beberapa minggu sebelum wawancara. Beliau santai saja ketika saya potong jawaban-jawabannya sehingga sesuai dengan kebutuhan data (belakangan ketika mendengarkan kembali rekamannya, saya menyesal melakukannya, seharusnya saya lebih bersabar sehingga mendapat informasi lebih banyak). Setelah selesai, saya bertanya ke pramusaji, ”Mas tahu nggak kalau yang barusan kesini itu adalah Paku Alam yang baru saja dinobatkan?” Tentu saja, tak ada yang menyangka bahwa beliaulah yang poster-poster besarnya menghiasi Yogyakarta selama sebulan terakhir. Jadi jangan kaget, ketika melihat Wagub DIY mengantri tiket nonton pameran motor custom yang menjadi kegemarannya, mengesampingkan undangan VVIP yang berada di mejanya.

Foto dari Okezone

Yang ketiga adalah Sri Sultan Hamengku Buwono (atau Bawono) X. Continue reading “Tentang Tiga Raja Yogyakarta”

Setahun Kos Bersama Delapan Mahasiswa Papua


IMG_2045-810x639Akhir-akhir ini ada berita miris tentang penolakan beberapa tempat kos-kosan terhadap mahasiswa asal Papua di Yogyakarta. Kalau toh hal itu merupakan sebuah realitas sosial yang terjadi saat ini, sebenarnya akar persoalannya sudah berlangsung cukup lama. Saya ingin bercerita tentang pengalaman saya tinggal bersama teman-teman yang mayoritas berasal dari Manokwari, sebelum menjadi ibukota Provinsi Papua Barat.

Selama empat tahun tinggal di Blok F, Catur Tunggal VIII Klebengan sejak tahun 1997-2001 saya tak pernah pindah kos, sehingga dapat mengamati berbagai penghuni kos yang berganti. Kos ini terdiri dari delapan belas kamar. Dua belas kamar masing-masing empat kamar yang membentuk huruf U, tiga kamar yang merupakan ekstensi huruf U yang diletakkan kurang beraturan di antara halaman yang luas dan tiga kamar yang letaknya di dalam dan dekat dengan rumah pemilik kos. Kos kami letaknya agak masuk di jalan buntu Klebengan walaupun lebar jalannya cukup rasional untuk masuk satu mobil.

Kos kami ini, karena fasilitasnya yang tak lebih dari kamar 3×3, sedikit teras dan empat kamar mandi yang baknya selalu dipenuhi jentik nyamuk, tak pernah menjadi harapan para pencari kos, termasuk saya. Tak mengenal Yogyakarta sebelumnya dan mencari kos saat daftar ulang, saya menjadi penghuni kos ini karena sekian banyak kos lain telah penuh. Lelah mencari, saya putuskan untuk menetap di kos yang katanya tidak akan menaikkan sewa tahunan jika saya tidak pindah. Penghuni kos rata-rata mahasiswa baru, yang juga lelah mencari sehingga akhirnya memutuskan untuk tinggal, tak terkecuali, delapan orang mahasiswa dari Manokwari.

Kecuali satu orang, tujuh orang mahasiswa asal Manokwari ini mengikuti berbagai program khusus di UGM dan di Universitas lainnya sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas mereka sebagai PNS di Manokwari. Mereka datang di periode 1999-2000, tahun berikutnya semuanya pindah. Satu orang mahasiswa baru di APMD yang tinggal di kos paling depan, dekat pintu masuk, sedangkan yang lain tinggal di kamar U. Selain mahasiswa APMD, umur mereka rata-rata jauh lebih tua dari kami yang berada di awal 20-an.

Saya, di kamar nomor empat, bersebelahan kamar dengan mahasiswa Papua paling rajin di nomor tiga. Dia belajar D3 Kedokteran Hewan (KH) di UGM, walaupun sebelumnya telah memiliki ijasah D3 untuk bidang yang sama. Menurutnya, belajar D3 KH di Jayapura dan UGM jauh sekali bedanya. Walaupun sebenarnya hanya mengulang, dia merasa berat harus belajar lagi karena perbedaan kualitas pendidikan tersebut. Saya sering melihatnya belajar malam-malam dan membuat kopi untuk menahan kantuk. Kami sering mengobrol untuk urusan sepele.

Dua bulan setelah mahasiswa Papua datang, beberapa dari istri-istri mereka menengok, beberapa membawa serta anak yang masih balita. Mereka membuat jamuan yang tak pernah saya lupakan. Makanan special khas Papua dengan sagu yang dibawa langsung dari Papua. Bentuknya seperti lem glukol tapi lebih encer dan dimakan bersama ikan kuah berwarna kuning. Belakangan saya tahu namanya Papeda. Mungkin selama saya mahasiswa, baru kali itulah lambung saya mengembang sempurna kekenyangan.

Saya tidak pernah merasa punya persoalan tinggal bersama beberapa orang mahasiswa Papua selama satu tahun walaupun beberapa fenomena terjadi di kos. Namun krisis selalu terjadi di kos kami selama beberapa tahun. Pernah suatu ketika, mahasiswa asal Gombong kehilangan handphone Nokia 5110 sehabis maghrib. Dia satu-satunya di kos yang punya handphone ketika SIM card Simpati masih berharga satu juta. Ketika handphone hilang, saya dan lima orang penghuni kos sedang menonton film di Fakultas Peternakan dengan biaya murah meriah. Kami berjalan kaki ke sana.

Setelah pergi ke dukun di Jalan Solo, mahasiswa ini diberi tahu bahwa pencurinya adalah mahasiswa gondrong yang kos di  kamar pojok (No. 1). Padahal dia bersama saya menonton film saat HP nya hilang. Persoalannya, teman dari Gombong ini lebih percaya dukun dibanding fakta. Kami bersitegang dengannya dan beberapa penghuni kos lain yang ikut ke dukun, sampai satu bulan kemudian, teman kuliahnya yang asli Jogja terbukti mencuri handphonenya. No IMEI nya sama dengan kardus HP teman saya yang hilang. Rupanya, teman ini datang saat mahasiswa Gombong sedang mandi dengan kamar tidak dikunci dan menghilang sejurus kemudian sambil menyambar HP.

Konflik juga pernah terjadi antara mahasiswa senior yang bersitegang dengan anak pemilik kos, Continue reading “Setahun Kos Bersama Delapan Mahasiswa Papua”

Batu Bacan Dua Lemari

phpTwTQyIPMFenomena batu Bacan ini menjadi hiburan ketika riset, terutama di Ternate dan terus berlanjut sampai ke Palembang.

Saya indekos di belakang Kedaton Ternate. Pada awal datang ke Ternate tanggal 20 Oktober 2014, industri batu akik masih hanya beberapa saja dan berada di kios-kios di sebelah Ngara Ici (lapangan Kecil) di depan Kedaton. Oh ya, selain Ngara Ici, lapangan yang menjadi milik Kasultanan adalah Ngara Lamo (lap besar). Industry ini berkembang sangat pesat dan ketika saya meninggalkan Ternate sebulan setelahnya, industry pengolahan batu ini sudah berjajar di seluruh deretan jalan antara Ngara Lamo dan Hypermart. Setiap sore, jalanan ini dipenuhi pengunjung, penikmat batu akik, atau batu Bacan dan Obi. Keramaian pedagang jalanan ini mengalahkan pasar batu permata yang ada sekitar 500 meter. Pasar batu permata, selain bocor dan becek, juga terkesan kumuh. Namun demikian, pasar tersebut tetap penuh pelanggan karena lebih lengkap, misalnya cincin titatium. Tetapi di ujungnya, ada penjual mie ayam paling enak se Ternate.

Pusat industri batu Bacan ini hanya salah satu dari beberapa pusat industri rakyat lainnya di Ternate disamping ratusan kios-kios kecil yang menjual batu Bacan. Tentu saja tidak jelas darimana pedagang dadakan yang memanfaatkan perataan Ngara Ici dapat mendapatkan pasokan listrik untuk memutar gerinda yang berkekuatan 500 watt, padahal paling tidak dibutuhkan tiga gerinda (termasuk satu untuk alat pemotong) di setiap kios. Continue reading “Batu Bacan Dua Lemari”

Flo, Yogya dan Keindonesiaan

1Emqc3YFlo jelas salah atau setidaknya bertindak kurang sopan untuk ukuran umum masyarakat kita yang telah memaki masyarakat Yogyakarta karena tak mau berbagi nasib di antrian SPBU. Dia juga telah minta maaf walaupun permintaan maaf tidak menyurutkan proses hukum. Kasus Flo bisa jadi bukan hanya kekecewaan sekilas, tetapi ekspresi lama kekecewaan masyarakat Yogyakarta.

Yogyakarta yang istimewa, tidak dibangun oleh orang Yogya “asli” saja tetapi merupakan perbauran antara masyarakat pendatang yang akhirnya menghadirkan nuansa keindonesiaan. Perbauran ini sudah berlangsung sangat lama masuk ke dalam lingkaran inti kekuasaan keraton. Kerjasama antar keraton telah menghadirkan perpindahan penduduk ke Yogyakarta.

Pada masa kemerdekaan, perpindahan kementrian ke Yogyakarta membawa perubahan sosial yang luar biasa seperti ditulis dalam buku Selo Sumardjan. Yogyakarta yang tadinya relatif homogen berubah menjadi heterogen. Indonesia di Yogyakarta hadir ketika membantu republik menyediakan Yogyakarta sebagai ibukota. Continue reading “Flo, Yogya dan Keindonesiaan”

Musikal Laskar Pelangi dan Perilaku Kita

Tiga jam lalu saya menonton Musikal Laskar Pelangi di JEC Yogyakarta. Saya bukan pengamat seni, tetapi penikmat seni.  Kalau anda bertanya bagaimana musical tersebut, saya justru balik bertanya “Apakah  ada yang bisa menghadirkan yang lebih baik apabila Jay Subiakto, Riri Reza dan Mira Lesmana dan Erwin Gutawa berkumpul menjadi satu?” I was not watching a performance, I was watching a masterpiece.

Tetapi bukan review seni yang saya ingin bagi disini, tetapi perilaku sebagian besar dari kita yang tidak mencederai karya masterpiece ini, dimulai oleh promotor. Sayang sekali pertunjukan kemarin dibatalkan karena ketidakprofesionalan Rajawali Indonesia sebagaimana tertulis di website Musikal Laskar Pelangi sebagai berikut:

Tapi dikarenakan ketidaksiapan, atau ketidak-profesional-an dari pihak promotor Rajawali Indonesia, yang telah mengundang tim Musikal Laskar Pelangi, dimana ternyata sampai kemarin tidak melaksanakan tanggung jawabnya dalam penyediaan panggung untuk pementasan kami, termasuk pendanaan, pengadaan lighting, sound system, ruangan, sesuai jadwal yang dijanjikan, sehingga kami tidak dapat melakukan persiapan di atas panggung sesuai rencana, maka dengan sangat menyesal kami tidak dapat tampil di hari Jumat tanggal 25 Mei 2012 ini kehadapan publik Yogyakarta.

Nah, dampaknya ada di tiket saya 26 Mei 2012 yang kemudian menjadi penonton pertama dari Musikal Laskar Pelangi di Yogyakarta. Salah satu tips untuk penonton performance atau teater adalah menonton tidak pada kesempatan pertama. Tips ini didapatkan dari hobi  menonton Teater Garasi di Lembaga Indonesia Perancis ketika masih kuliah. Saya rajin betul menonton Teater hingga rela bersepeda jauh untuk menyaksikan performance-performance yang menakjubkan itu. Penampilan pertama biasanya tak sebagus penampilan berikutnya. Untuk acara sebesar Musikal Laskar Pelangi, kesiapan Promotor menjadi tanda tanya.

Di LIP, saya juga belajar hal lainnya. Karena tempatnya yang terbatas (kira2 150 penonton), penikmat teater disuguhkan dalam jarak yang sangat dekat dan menonton dengan khusuk. Beberapa kali malah berjalan berhimpitan dengan penonton. Tidak ada HP yang berbunyi dan tak ada yang berusaha mengabadikan performance dengan lampu flash. Mungkin dulu belum begitu banyak HP dan Gadget lainnya. Walau kadang-kadang, pemain berhenti bergerak seperti patung untuk memberi waktu bagi Fotografer dengan camera berdiagfragma kecil untuk mengabadikan performance. Ada suara jepret-jepret, tetapi tidak menganggu karena tidak ada cahaya. Pendeknya, masing-masing penonton menjaga betul agar suasana pertunjukan yang nyaman tidak terganggu. Penonton boleh membawa minum, walau tak diperkenankan makan.

Ternyata, ketidaksiapan Rajawali masih terasa di pertunjukan pertama. Antrean di pintu utama tidak teratur. Satpam mengarahkan antrean yang langsung membludak 1,5 jam sebelum pertunjukan dimulai di terik matahari. Tentu saja ini bukan pilihan yang menarik. Hasilnya, antrean mengular (betul-betul seperti ular yang berbelok-belok menghindari panas jam 12.30). Seluruh penonton, regardless their classes harus antri di pintu depan. Sampai di dalam, masih antri lagi untuk mendapatkan gelang kertas berdasarkan kelas. Antrean ini tak begitu lama, apalagi untuk platinum.

Masalah muncul karena penonton dilarang membawa minuman. Saya bisa memahami larangan membawa makanan, tetapi larangan minum? Selain penontonnya banyak yang anak-anak, akses terhadap air seharusnya tidak dibatasi. Seluruh penonton pasti haus setelah mengantri sekian lama. Memang ada foodcourt yang membolehkan kita makan dan minum, tetapi bagaimana dengan tempat duduk? Siapa yang akan menjaganya agar tak dipakai orang lain?

Kesabaran penonton semakin diuji ketika panitia mengumumkan akan memulai pertunjukan setelah seluruh antrian masuk. Padahal sudah jam 14.20, atau terlambat 20 menit dari waktu yang seharusnya. Continue reading “Musikal Laskar Pelangi dan Perilaku Kita”

HP Tertinggal, Pulsa Terpotong

Pada Minggu 23 Oktober 2011 sekitar jam 19.00 handphone saya tertinggal ketika melewati X-Ray pintu masuk terminal 2 Bandara Soetta. Sekitar 3-4 menit kemudian saya teringat dan kembali ke tempat X-Ray. Waktu itu, bahkan saya belum sempat mengikat koper dengan strip kuning bandara. Petugas mengembalikan handphone saya dan terdapat SMS terbuka yang dikirim dari 858 berbunyi:

“Terimakasih, Anda telah berhasil melakukan transfer pulsa sebesar Rp 20000 ke nomor 6281319963187”.

Luar biasa, sigap sekali anda bekerja pak.

Mbah Maridjan dan Sujudnya

Saya mengenal sosok mbak Maridjan dari Almarhum Prof. Riswandha Imawan yang merupakan sahabat mbah Maridjan.  Awalnya saya tak percaya. Isu yang dibawa Alm. Pak Ris selalu controversial dan dibawakan dengan gaya yang khas. Salah satunya ketika almarhum mengatakan mendaki Merapi dengan sepeda bersama mbah Maridjan. Semua itu kemudian dibuktikannya dengan menunjukkan sejumlah foto-foto mendaki gunung (termasuk memakai sepeda) bersama Mbah Maridjan muda ketika Pak Ris masih mahasiswa. Mbah Maridjan juga terlihat melayat Pak Ris, yang biasa disapanya dengan sebutan “Mas Guru”.

Kini keduanya telah meninggal dunia. Keduanya juga mendapatkan publikasi yang cukup luas ketika meninggal. Saya tak mengenal Mbah Maridjan cukup dekat, hanya sekali menemuinya sebelum Merapi meletus tahun 2006. Keluguan dan ketulusannya sangat mudah dibaca dalam 15 menit pertemuan itu. Saya mencoba mengingat apa yang disampaikan Alm. Pak Ris tentang mbah Maridjan. Pertanyaan-pertanyaan kunci yang masih belum menemukan jawaban di benak banyak orang.

Mengapa Mbah Maridjan menolak mengungsi?

Mbah Maridjan mendapatkan amanat untuk menjaga gunung Merapi dari Sri Sultan HB IX. Perintah menjaga ini difahami sebagai perintah untuk tidak meninggalkan Kinahrejo, dusun tertinggi di lereng Merapi yang berjarak 4 km dari puncak. Meninggalkan pos tersebut difahami sebagai desersi. Itu sebabnya, menjadi masuk akal ketika mbah Maridjan meninggal di Kinahrejo, karena dia menjaga amanah yang diberikan kepadanya.

Sultan HB IX telah meninggal, bagaimana kelanjutan amanah tersebut?

Mbah Maridjan meyakini, bahwa amanah tersebut belum pernah dicabut dan masih berlaku. Dia percaya, walaupun Sultan HB IX telah meninggal, dia dapat berkunjung kapan saja melalui mimpi kepada mbah Maridjan jika ingin mencabut amanahnya tersebut.

Bukankah Sultan HB IX sudah digantikan oleh Sultan HB X, mengapa Mbah Maridjan menolak turun ketika diminta HB X tahun 2006?

Walaupun sama-sama sebagai raja Kasultanan Yogyakarta, kepatuhan Mbah Maridjan tidak kepada Sultan HB X melainkan kepada Sultan HB IX. Kesetiaan abdi dalem tidak begitu saja berubah ketika kepemimpinan berubah. Struktur kekuasaan Jawa tidak dapat dimaknai seperti struktur kekuasaan modern dimana ketaatan bergantung kepada penguasa saat itu. Ada dimensi immaterial (termasuk Jagad Cilik dan Jagad Gedhe) yang menjadi pertimbangan kesetiaan. Dilihat dari posisinya meninggalnya yang bersujud, beliau mengedepankan nilai kepasrahan terhadap sang Pencipta. Ada stuktur yang lebih berkuasa dari dirinya, untuk itulah beliau bersujud. Sebuah level kepasrahan sempurna.

Continue reading “Mbah Maridjan dan Sujudnya”

Parkir Waton Gratis….

Saya kaget membaca berita di Kompas tentang parkir berbayar di UGM bersamaan dengan satu pintu masuk ke UGM. Komentar di berita itu didominasi penolakan terhadap rencana parkir berbayar (belakangan, saya baru tahu jika ternyata surat edaran ttd Prof. Ainun Naim tidak berbicara tentang bayar membayar, hanya ujicoba pengaturan lalu lintas di UGM- download link dibawah).  UGM dianggap komersial, menghancurkan predikat sebagai kampus kerakyatan dsb. Saya tidak terlalu risau dengan parkir barbayar, dan justru mendukung ide ini. Tapi ide tentang satu pintu masuk mengganjal di kepala. Bagaimana bisa satu pintu karena lokasinya yang terbuka, dipisahkan jalan kaliurang dan memiliki RS Sardjito yang menjadi RS Rujukan:roll:? Mungkin sudah banyak yang berubah di UGM sejak saya tinggalkan hampir dua tahun, tetapi apakah memang sedrastis itu perubahannya?

Ada beberapa alasan untuk mendukung ide parkir berbayar di UGM. Alasan itu antara lain:

Pertama, parkir berbayar bukan isu yang baru, sejak saya kuliah (1997-2002), parkir di UGM sudah membayar. Setiap terjadi perhelaan besar di UGM, kendaraan yang parkir selalu harus membayar. Jika ada wisuda, pameran computer di GSP, Mantenan di GSP atau wisma KAGAMA, seingat saya parkirnya tidak gratis. Selain itu, pengelolaan dan transparansinya perlu dipertanyakan.

Beberapa tempat sudah menerapkan parkir berbayar sejak lama.  Parkir di Perpustakaan Pusat Unit 1 juga selalu membayar sejak dulu. Setiap Sholat Jumat di Masjid UGM atau “sarapan” di Sunday Market UGM juga bayar.  Parkir di sekitar kantor pos, Kosudgama dan KU juga bayar. Jadi, jika alasan membayar menjadi polemik, kenapa tidak dari dulu ? Artinya ketika dikelola sendiri-sendiri, tidak jelas tranparansinya mengapa tidak diprotes, sedangkan ketika akan dikelola secara lebih sistematis mengapa ditolak?

Continue reading “Parkir Waton Gratis….”

Tujuh tipe Facebookers

Aplikasi satu ini seperti sebuah game, membuat kecanduan dan menyebabkan orang tidak produktif. Bedanya, Facebook dibungkus dengan backbone yang bagus, menjalin silaturahmi.

Perkenalan dengan facebook dimulai November tahun lalu di tengah deadline menyelesaikan paper akhir di perpustakaan University House, ANU. Awalnya, hanya sekedar iseng melepas lelah dibalik ribuan kata yang harus diedit. Hanya dalam seminggu, jumlah friends mendekati 100 dan sekarang hampir 600 dalam enam bulan. Artinya, terdapat tambahan seratus friends sebulan. Dari angka itu, tak lebih dari 20 orang yang saya add, selebihnya hanya melakukan confirm terhadap request. Selain itu, (paling tidak sampai saat ini) saya cukup selektif meng approved hanya request dari seseorang yang benar-benar dikenal, atau (maaf buat mereka yang ter ignore).

Facebook memang menarik, terutama untuk kondisi saat ini. Facebook adalah pengejawantahan apa yang disebut Friedman sebagai globalisasi 3.0, merubah dunia yang small menjadi tiny yang dimotori oleh actor individual. Dari kota gersang Canberra saya bisa mengupdate kondisi kawan-kawan yang telah tersebar entah ke mana.

Dari  sejumlah itu, beberapa kawan meng add saya sebagai kawan pertama mereka di Facebook. Beberapa kawan yang lain memasukkan saya dalam lima besar. Padahal, kami sudah tak bertemu lebih dari 5 tahun. Sepenting itukah saya dalam jaringan pertemanannya atau menjadi teman yang berkesan? Mungkin tidak, hanya sekedar iseng di google.

Selain itu, Facebook dapat sejenak mengendurkan syaraf, terutama saat teman men ‘tag’ kita di salah satu foto jadulnya. Setelah itu, tinggal adu kekuatan ingatan di comments. Seringkali, foto yang di upload itu sama sekali tidak ada dalam ingatan.

Dalam hal upload foto di facebook, temen-temen ini juga bisa dikategorikan menjadi tujuh jenis.

Pertama, Kawan Narsis. Hampir seluruh foto yang diuploadnya adalah foto diri dengan berbagai pose dan berbagai keadaan, di kantor, di rumah, di taman, di dapur dan (terutama) di luar negeri. Paling parah dari golongan ini adalah mereka yang mengupload seluruh foto dirinya yang diambil sendiri dengan handphone generasi baru. Artinya muka Kawan Narsis menghiasi 30 persen foto. Continue reading “Tujuh tipe Facebookers”

Dunia itu Rata

Iseng-iseng masuk ke situs academicearth.org, ada video kuliah tamu Thomas L Friedman di MIT. Setelah menontonnya, saya langsung membaca bukunya The World is Flat, A Brief History of the Twenty-first Century. Kebetulan, saya tertarik dengan sejarah. Seperti biasa, tidak semua 400 an dibaca, tetapi intisari nya akan dipaparkan dibawah ini.

Friedman, journalist di New York Times tiga kali Pulitzer di tangannya, membagi tiga fase Globalisasi. Globalisasi 1.0 dimulai ketika Columbus membuang sauh (1492) dan selesai sekitar tahun 1800. Globalisasi ini membuat dunia yang tadinya terasa “lebar” menjadi “medium”. Era globalisasi ini dimotori oleh negara dengan semangat imperialisme dan agama atau keduanya. Artinya, seseorang “meng-global” tidak atas keinginan sendiri, tetapi didorong dan difasilitasi oleh negara dengan dua motif di atas tadi.

Globalisasi 2.0, dimulai tahun 1800 dan berakhir tahun 2000, merubah dunia yang tadinya medium menjadi small. Aktor utama Globalisasi 2.0 adalah multinational company. Jika lebih diperinci, Globalisasi 2.0 dimulai dengan perdagangan (atau penguasaan) perusahaan Belanda (VOC) dan revolusi industri. Penemuan kereta, telekomunikasi dan era awal internet menjadi faktor penting Globalisasi 2.0.

Globalisasi 3.0 dimulai sejak tahun 2000 sampai saat ini yang merubah dunia yang sudah small, menjadi tiny. Bentangan jarak ribuan kilometer tidak terasa lagi. Lebih mengesankan, aktor di Globalisasi 3.0 adalah individual. Setiap orang menjadi aktor di Globalisasi 3.0 dan bersaing dengan individu lain di seluruh dunia, lewat jaringan yang semakin canggih.

Continue reading “Dunia itu Rata”

PERUT

Jaman kuliah dulu, ketika saya kos di sekitar Klebengan Yogya tahun 1999, setahun setelah krisis, ada warung murah-meriah yang menjadi langganan anak kos. Warung makan itu namanya SADEWA, terletak di pinggir jalan, tempat orang jalan kaki menuju kampus UGM. Pemilik warung sangat terampil meracik menu makanan yang dapat disajikan dengan harga yang semurah-murahnya. Waktu itu, satu porsi nasi dan sayur (yang disajikan oleh pemilik warung) harganya 750 rupiah, es jeruk 200 rupiah dan tempe segitiga 150 rupiah. Pendeknya dengan modal 1500 rupiah bisa memilih menu yang ada, begitu kiriman dari Magelang datang. Jika puasa begini, antri untuk makan sahurnya bisa 30 menit sendiri, itupun kalau tidak kesiangan.

 

Ketika mencoba datang lagi tahun 2006, variasi makanannya tidak banyak berubah dengan harga yang tidak terpaut jauh. Tahun 2006 saya habis 1800 dengan pilihan menu yang 7 tahun sebelumnya hanya bisa dinikmati seminggu sekali, walaupun dengan suasana yang jauh lebih sepi. Tetapi belakangan, ketika lewat lagi, warungnya sudah tutup. Dugaan sementara, tingginya SPP kuliah membuat banyak mahasiswa miskin seperti saya, tidak mampu lagi kuliah, yang bisa dilihat dari jarangnya sepeda ditemukan di kampus Fisipol. Mahasiswa sekarang ogah makan di tempat murah (yang walaupun tidak murahan).

 

Continue reading “PERUT”

Dari Barat Selalu Hebat

PERTAMA

Menjamurnya Spa membuat saya berpikir keras. Walaupun belum pernah spa, dari beberapa brosur Club Arena yang dicetak di Cakrawala, sebuah perusahaan milik mas Agus Heri, saya melihat sekilas tentang perempuan yang tengkurap di bak mandi dilengkapi dengan banyak bunga yang mengambang. Sekejap sempat terpikir bahwa ini adalah mandi kembang, sebuah mandi gaya khas beberapa budaya di Jawa. maklum orang jawa gak gaul yang tidak kenal spa. Setelah diteliti lebih detail, Club Arena yang merupakan EO spa di hotel-hotel memastikan itu bukan mandi kembang, tapi SPA!

KEDUA

Pada saat saya berjalan lewat di koridor Galeria Mall, ada bau-bauan yang menusuk hidungku yang memang agak sensi. Sepintas (sekali lagi) saya kira ada kemenyan yang dibakar di sekitar situ, tapi akal sehat berbicara, masa sih bakar kemenyan di Mall. Tenyata, di jalan tersebut (island istilah mallnya), sedang dijajakan apa yang disebut sebagai AROMATHERAPHY yang terdiri dari beragam bentuk, mulai dari sesuatu yang mirip penerangan minyak di desa, lilin dan banyak lagi. Saya sekali lagi memastikan itu bukan bau kemenyan tetapi Aromatheraphy!

KETIGA

Liputan Kompas minggu beberapa bulan lalu memberitakan tentang Yoga, (kalau ini saya agak ngerti), sebuah bisnis yang menghasilkan milyaran rupiah per harinya di Indonesia. Sebuah bisnis yang menjanjikan ketenangan bagi yang melalukannya. Wujud gerakan yoga bermacam-macam, salah satunya adalah sebuah meditasi, perenungan terhadap makna hidup. Melihat foto di kompas, saya yakin professional muda yang sedang duduk bersila dengan mata terpejam itu sedang meditasi. Tapi apa bedanya dengan bertapa ala orang jawa? mengapa orang mau mengeluarkan sekian banyak uang untuk diam??

Continue reading “Dari Barat Selalu Hebat”

Generasi Friendster

tulisan ini datang dari obrolan di Jambusari bersama mas Ando dan mas Danang

 

Dalam sebuah kesempatan, seorang mahasiswa dengan mobil baru kebingungan mengerjakan skripsi untuk tugas akhirnya. Mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta tersebut bukan kebingunan untuk menentukan tema skripsi, metode yang dipilih, atau landasan teori yang menjadi arahan penelitian, tapi tergopoh-gopoh dengan kebingunan tentang persoalan sepele untuk kenalan dengan calon informan.

 

“Bagaimana cara memulainya mas Ando? Apa yang harus aku lakukan untuk bisa kenal dan mendapat informasi?” dan sederet pertanyaan lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan tema skripsi sendiri. Pertanyaan yang muncul berupa pertanyan seputar tips-tips untuk mendapatkan informasi yang mau tak mau memaksanya untuk berkenalan dengan orang lain.

 

Continue reading “Generasi Friendster”