Musikal Laskar Pelangi dan Perilaku Kita

Tiga jam lalu saya menonton Musikal Laskar Pelangi di JEC Yogyakarta. Saya bukan pengamat seni, tetapi penikmat seni.  Kalau anda bertanya bagaimana musical tersebut, saya justru balik bertanya “Apakah  ada yang bisa menghadirkan yang lebih baik apabila Jay Subiakto, Riri Reza dan Mira Lesmana dan Erwin Gutawa berkumpul menjadi satu?” I was not watching a performance, I was watching a masterpiece.

Tetapi bukan review seni yang saya ingin bagi disini, tetapi perilaku sebagian besar dari kita yang tidak mencederai karya masterpiece ini, dimulai oleh promotor. Sayang sekali pertunjukan kemarin dibatalkan karena ketidakprofesionalan Rajawali Indonesia sebagaimana tertulis di website Musikal Laskar Pelangi sebagai berikut:

Tapi dikarenakan ketidaksiapan, atau ketidak-profesional-an dari pihak promotor Rajawali Indonesia, yang telah mengundang tim Musikal Laskar Pelangi, dimana ternyata sampai kemarin tidak melaksanakan tanggung jawabnya dalam penyediaan panggung untuk pementasan kami, termasuk pendanaan, pengadaan lighting, sound system, ruangan, sesuai jadwal yang dijanjikan, sehingga kami tidak dapat melakukan persiapan di atas panggung sesuai rencana, maka dengan sangat menyesal kami tidak dapat tampil di hari Jumat tanggal 25 Mei 2012 ini kehadapan publik Yogyakarta.

Nah, dampaknya ada di tiket saya 26 Mei 2012 yang kemudian menjadi penonton pertama dari Musikal Laskar Pelangi di Yogyakarta. Salah satu tips untuk penonton performance atau teater adalah menonton tidak pada kesempatan pertama. Tips ini didapatkan dari hobi  menonton Teater Garasi di Lembaga Indonesia Perancis ketika masih kuliah. Saya rajin betul menonton Teater hingga rela bersepeda jauh untuk menyaksikan performance-performance yang menakjubkan itu. Penampilan pertama biasanya tak sebagus penampilan berikutnya. Untuk acara sebesar Musikal Laskar Pelangi, kesiapan Promotor menjadi tanda tanya.

Di LIP, saya juga belajar hal lainnya. Karena tempatnya yang terbatas (kira2 150 penonton), penikmat teater disuguhkan dalam jarak yang sangat dekat dan menonton dengan khusuk. Beberapa kali malah berjalan berhimpitan dengan penonton. Tidak ada HP yang berbunyi dan tak ada yang berusaha mengabadikan performance dengan lampu flash. Mungkin dulu belum begitu banyak HP dan Gadget lainnya. Walau kadang-kadang, pemain berhenti bergerak seperti patung untuk memberi waktu bagi Fotografer dengan camera berdiagfragma kecil untuk mengabadikan performance. Ada suara jepret-jepret, tetapi tidak menganggu karena tidak ada cahaya. Pendeknya, masing-masing penonton menjaga betul agar suasana pertunjukan yang nyaman tidak terganggu. Penonton boleh membawa minum, walau tak diperkenankan makan.

Ternyata, ketidaksiapan Rajawali masih terasa di pertunjukan pertama. Antrean di pintu utama tidak teratur. Satpam mengarahkan antrean yang langsung membludak 1,5 jam sebelum pertunjukan dimulai di terik matahari. Tentu saja ini bukan pilihan yang menarik. Hasilnya, antrean mengular (betul-betul seperti ular yang berbelok-belok menghindari panas jam 12.30). Seluruh penonton, regardless their classes harus antri di pintu depan. Sampai di dalam, masih antri lagi untuk mendapatkan gelang kertas berdasarkan kelas. Antrean ini tak begitu lama, apalagi untuk platinum.

Masalah muncul karena penonton dilarang membawa minuman. Saya bisa memahami larangan membawa makanan, tetapi larangan minum? Selain penontonnya banyak yang anak-anak, akses terhadap air seharusnya tidak dibatasi. Seluruh penonton pasti haus setelah mengantri sekian lama. Memang ada foodcourt yang membolehkan kita makan dan minum, tetapi bagaimana dengan tempat duduk? Siapa yang akan menjaganya agar tak dipakai orang lain?

Kesabaran penonton semakin diuji ketika panitia mengumumkan akan memulai pertunjukan setelah seluruh antrian masuk. Padahal sudah jam 14.20, atau terlambat 20 menit dari waktu yang seharusnya.

Ternyata jawaban dari larangan itu baru terjawab setelah pertunjukan usai. Selama pertunjukan, beberapa penonton (sekali lagi beberapa) yang mencoba-coba mengabadikan pertunjukan dengan handphone ber-flash yang mengganggu. Jangankan dengan flash, tidak pun akan mengganggu penonton di belakangnya karena pendar layar hanphone. Di tempat saya duduk di tengah arena dengan tiket 250 ribu, setelah selesai pertunjukan, beberapa sampah ditinggal penonton di bawah kursi.  Tiga baris di depan, di bagian orang kaya, tak banyak yang “mengganggu” penonton lain dengan gadgetnya. Dugaan saya, gangguan lebih banyak di bagian belakang dengan perilaku yang lebih buruk.

Saya masih terus merenung seusai pertunjukan. Bukankah para penonton Musikal Laskar Pelangi ini adalah kelas menengah Indonesia? Di angka 250 ribu, mereka tentu bukan orang miskin, tetapi mengapa perilakunya masih “miskin”?

Perilaku memikirkan diri sendiri dan mengorbankan banyak yang lain ini bisa kita temukan di banyak tempat. Saya jadi teringat Garret Hardin (1968), individual rationality that creates collective irrationality.  Jika satu orang mengambil gambar, itu rasional bagi dirinya (walaupun sebenarnya tidak rasional krn hasilnya akan jelek sekali). Bagaimana jika semua orang mengambil gambar? Apakah tujuan masing-masing orang tercapai? Contoh lainnya ketika menonton konser atau sepakbola. Jika ingin jelas, penonton yang duduk akan berdiri. Ini pilihan rasional individualnya. Tetapi jika semua orang berdiri, apa yang akan terjadi? Apakah tercapai keinginan semua orang? Justru akan menyebabkan collective irrationality.

Selain itu, venue di JEC agak kurang representative untuk menampilkan masterpiece Musikal Laskar Pelangi. Posisi yang mendatar tak nyaman bagi yang duduk di belakang atau anak-anak. Ruang yang biasanya untuk pameran komputer itu tak mudah untuk dijadikan pertunjukan Masterpiece. Untuk urusan venue, sirkus keliling mungkin lebih baik. Tetapi adakah tempat lain di Jogja Kota Budaya yang bisa menampilkan hal itu? Sepertinya tidak ada. Pemerintah Yogya tak cukup berani membuat bangunan Theatre yang representative semacam Esplanade di Singapura yang kira-kira cukup untuk 2000 orang.

Well, selain beberapa respon singkat tidak professional itu, seluruh kekurangan itu, ditambah satu jam antri di tengah hari, terbayar lunas pada lima menit pertama pertunjukan. Sebagai pendidik, saya berkali-kali merasa terharu dengan kisah sedih anak-anak Indonesia dengan pendidikannya. Walaupun sudah hafal jalan ceritanya, masterpiece ini tetap saja sebuah masterpiece. Semoga, karya  masterpiece ini akan dikenang anak-anak saya sebelum berangkat ke Australia Insya Allah awal tahun depan. Mereka akan ingat, betapa hebatnya karya artis-artis Indonesia. Dalam perjalanan pulang, anak-anak saya bersenandung: OI   OI    OI    O I    OIOI  Kami ini                  orang asli Belitong.