Saya mendengar kata sosialita pertama kali ketika kasus Nunun Nurbaeti mencuat. Setelah itu, kata ini sepertinya sangat populer (atau mungkin notorious) digunakan. Tidak jelas siapa yang dirujuk pada kata “sosialita”. Ini adalah kata baru yang merekam perubahan kelas sosial baru di masyarakat kelas menengah dan menengah atas Indonesia. Jadi karena masih multitafsir, saya mencoba mendefinisikannya, dari pengamatan tidak terstruktur yang saya lakukan.
Kata “sosialita” lebih dahulu dipakai secara “official” dalam paket BlackBerry milik Telkomsel. Paket ini membedakan paket “bisnis” yang hanya bisa BBM dan Email, atau “full features” yang dapat digunakan untuk BBM, Email, jejaring sosial dan surfing. Paket sosialita hanya bisa digunakan untuk BBM, Jejaring Sosial dan Surfing, tanpa email. Menurut definisi Telkomsel, sosialita kira-kira adalah sekelompok orang (biasanya perempuan yang perlu untuk BBM dan update status di Facebook atau Twitter tetapi tak pernah mendapatkan kiriman email. Jaringannya biasanya lokal, atau maksimal interlokal dan BB serta seluruh jejaring sosialnya disetting dengan bahasa Indonesia.
Pengamatan lainnya seorang kolega kemarin “terpaksa” harus mengantar anaknya pentas di Hari Kartini 21 April, kolega ini mengeluh karena istrinya sedang sibuk, tetapi keluhan bukan karena ketidakiklasannya mengantar, tetapi kekhawatirannya bertemu “ibu-ibu sosialita” yang rajin nongkrong di sekolah anaknya. Dari sekelumit persepsi tentang ibu-ibu sosialita ini, mari kita coba definisikan. Tak semuanya tepat, tapi bisa menjadi petunjuk.
Pertama, dari ciri-ciri fisik, ibu-ibu sosialita ini umurnya kira-kira ibu muda 25 tahun sampai tidak terbatas. Pakaiannya selalu modis tetapi lebih sering overacting. Berdandan merupakan kewajiban utama. Rujukannya siapa lagi kalau bukan artis.Lebih senang berdandan di luar rumah daripada sebaliknya. Bedaknya hampir selalu tebal dengan segenap fasilitas kosmetik. Kira-kira, waktu untuk berdandan saat mengantarkan anak sekolah dua kali lebih lama dari anaknya yang mau sekolah. Jika berjilbab, berbagai model dicoba, mulai model Manohara sampai model tidak jelas yang harus menggunakan rambut palsu hingga tonjolan rambutnya melebihi tiang bendera sekolah.
Kedua, dari kelas sosial, mereka tentu bukan golongan miskin seperti yang dikeluhkan presiden. Mereka adalah kelas menengah, sampai kelas sangat kaya. Kekayaan umumnya didapatkan dari perjuangan hidup, jodoh dan pendidikan. Hidup mapan dan menjaga pergaulan dengan penampilan. Sebagian besar adalah kelas yang habis merangkak dari kehidupan yang tak bergelimang harta, istilahnya: orang kaya baru. Karena perjuangan kelas yang berhasil, kekayaan ditunjukkan dengan tour kuliner ke seluruh penjuru kota, sebuah impian yang tak pernah terlaksana pada masa kecil. Selalu bermobil ke sana kemari, tidak harus mewah, tetapi paling tidak cukup baru. Anehnya, menjadi pemburu diskon yang militan.
Ketiga, pekerjaan. Ibu-ibu sosialita biasanya tidak bekerja, atau paling tidak pura-pura bekerja. Kesuksesan lebih dari para suami daripada pekerjaan ibu sosialita. Jika membuka butik, tanpa kemampuan wirausaha dan lebih sering tomboknya. Konsumennya sebagian besar teman-teman sesama sosialita. Sebenarnya sebagian besar tak mampu membayar sopir, tetapi sekaligus juga keberuntungan. Tanpa sopir, mereka punya alasan untuk membunuh waktu. Sayangnya, arena untuk membunuh waktu tersebut adalah sekolah anak, tempat les, salon, pusat kuliner dan mall. Statusnya di BBM dan FB tak jauh-jauh dari belanja, di sekolah anak, bisnis yang hampir tutup atau mencoba baju baru, tentu dibumbui foto diri yang selalu update, atau foto makanan hasil tour kuliner.
Keempat dari sisi psikologis bisa dibedakan menjadi dua. Sosialita yang sangat kaya justru lebih tampil biasa saja, berbeda dari sosialita yang baru lepas dari kesrakat. Secara psikologis mereka sedang mencari identitas, menempatkan dirinya dalam konteks sosial dan ekonomi yang berubah. Tidak nyaman lagi disebut miskin, tetapi juga belum terlalu percaya diri disebut kaya. Seluruh impian masa kecil tentang ketentraman dan kenyamanan hidup telah diraih: rumah bagus, mobil baru dan sekolah (anak) bergengsi. Dengan berlimpahnya rupiah, perilakunya bisa tidak diduga, membuat arisan dengan tema: minggu ini arisan berbaju kuning, minggu depan berbaju biru, depannya lagi arisan Bollywood. Tentu saja, baju-baju itu tak sampai dipakai sepuluh kali. Tiap arisan, bikin baju.
Bagaimana memanfaatkan kelas sosialita?
Mereka adalah kelas menengah, memiliki uang dan butuh identitas. Cara paling jitu untuk memanfaatkan kelas sosialita adalah melibatkannya dalam kerja-kerja sosial. Kerja sosial bisa sangat banyak, mulai bakti sosial yang penuh publikasi sampai pengurus pengajian dan komite sekolah. Secara pergaulan, mereka membutuhkan recognisi dan identitas yang ditempelkan lingkungan kepada mereka. Disisi lainnya, banyak kerja sosial yang membutuhkan dukungan donasi mereka. Masalah iklas atau tidak, itu urusan individual dengan Allah. Jika dimanfaatkan dengan baik, kelas sosialita bisa digunakan untuk Indonesia lebih baik.
Foto diambil dari: http://pedagangkakilima.wordpress.com/2010/08/14/bukan-sosialita/