Kraton Agung Sejagat

Kedaulatan Rakyat, 15 Januari 2020

Kedaulatan Rakyat, Selasa 14 Januari menulis tentang berdirinya Kraton Agung Sejagat (KAS) di Purworejo Jawa Tengah. Pemimpin KAS, Toto Santoso Hadiningrat mengatakan, “Kraton tersebut merupakan perwujudan berakhirnya perjanjian 500 tahun yang ditandatangani penguasa terakhir Majapahit Dyah Ranawijaya dengan Portugis di Malaka tahun 1518.” Tulisan ini akan melihat fenomena raja abal-abal yang marak di Indonesia belakangan ini.

Sebelumnya, saya ingin mengingat interview saya dengan ‘Sultan Demak’ Sri Sultan Suryo Alam Joyokusumo di Bima, NTB 2014. ‘Sultan Demak’ berangkat menggunakan mobil Fortuner dari Demak ke Bima. Berbekal puluhan spanduk dan seragam ‘kerajaan’, dia berhasil mendapatkan 25 pelajar SMA di Bima yang diberi seragam sebagai peserta kirab Festival Kraton Nusantara VII. Spanduknya tersebar di seluruh penjuru kota dan entah bagaiamana, dia berhasil mendapatkan undangan di welcoming dinner.

Sultan Demak mungkin beruntung, tetapi temannya tidak. KRMH Abdul Hakim Prodoto Kusumo, SH, Spl. hadir dengan tutup kepala dari kuningan yang beratnya saya kira tiga kilogram, persis seperti raja-raja Syailendra. Metal detector menyala keras ketika dia melewatinya. Sang raja mengaku sebagai perwakilan dari Kasunanan Surakarta. Panitia yang bingung mempersilahkannya di deretan kursi depan yang sudah diduduki Gusti Moeng dan saudaranya. Sempat ada keributan kecil sebelum ‘Sultan Demak’ menariknya di kursi paling belakang untuk duduk di mejanya. Tanpa undangan, raja yang dalam spanduknya mengaku sebagai ‘Notaris Founding Fathers Nasional-Internasional’ yang ‘membawahi kerajaan Padjajaran, Mataram dan Majapahit,’ ini mungkin harus menanggung malu jika tidak ditolong ‘Sultan Demak’.

‘Sultan Demak’ sendiri dulunya adalah tukang pijat keliling bernama Mbak Minto. Karena wangsit kakeknya yang mukso, hilang, dia mendirikan ‘Keraton Demak’, lengkap dengan pendopo berukuran 10 x 10 meter persegi. Atraksi-atraksi Jawa sering dipentaskan di keratonnya.

Continue reading “Kraton Agung Sejagat”

Menegakkan UUK

KR, Analisis, 10 Oktober 2017

Pemerintah akhirnya melantik Gubernur dan Wagub DIY sesuai dengan berakhirnya masa jabatannya yaitu hari ini pada tanggal 10 Oktober 2017. Kebijakan ini berbeda dengan ucapan Dirjen Otda Sumarsono yang mengatakan bahwa Sultan dan PA akan dilantik pada 16 Oktober 2017 bersamaan dengan Gubernur DKI dan jeda waktu pelantikan akan diisi Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur. Persoalan ini bukan persoalan sepele karena menyangkut penegakan UUK. Mengapa Jakarta akhirnya berganti haluan dan mempercepat pelantikan?

Keistimewaan Yogyakarta memiliki lima kewenangan khusus yaitu: penetapan Gubernur/Wagub, tanah, tata ruang, kebudayaan dan kelembagaan. Kewenangan istimewa terkait penetapan Gubernur yang sekaligus Sultan Hamengku Buwono yang bertahta dan Wagub yang sekaligus Paku Alam yang bertahta tidak ditemukan di provinsi manapun.

Oleh karena itu, proses pelantikan Gubernur/Wagub DIY tidak dapat serta merta disamakan dengan provinsi lain yang dikenal Plt yang memiliki otoritas politik dan Pelaksana Harian (Plh) yang terbatas pada fungsi administratif. Sehingga jeda pelantikan antar Gubernur bisa diisi dengan Plt/Plh yang bisa diambil dari siapa saja sesuai keinginan pemerintah pusat. Tetapi di DIY, Gubernur dan Wagub dikunci dalam diri Sultan dan PA.

UUK memang memberikan ruang bagi seseorang diluar Sultan dan PA menjadi Pejabat Gubernur DIY dengan syarat yang sangat spesifik. Pertama, hal ini hanya terjadi apabila baik Gubernur atau Wakil Gubernur DIY tidak memenuhi syarat menjadi kandidat, misalnya karena faktor usia. Kedua, Pejabat Gubernur tersebut telah mendapat persetujuan dari Kasultanan/Pakualaman. Ketiga, Pejabat Gubernur tersebut berhenti ketika Sultan dan PA yang bertahta dilantik menjadi Gubernur/Wagub. Continue reading “Menegakkan UUK”

Pelantikan Gubernur

KR, Analisis, 6 Oktober 2017

Tempat untuk melantik Gubenur DIY minggu depan menjadi isu yang menarik di masyarakat Yogyakarta. Tulisan ini ingin melihat dampak kultural dan politik apabila pelantikan dilakukan di Jakarta.

Sebenarnya UUK hanya mengatur bahwa pelantikan Gubernur dan Wagub DIY dapat dilakukan oleh Presiden, Wapres atau Menteri. Hanya saja, Jokowi membuat cara baru pelantikan Gubernur dengan mengundang Gubernur dan Bupati di istana negara pada awal tahun ini. Bagi pejabat daerah yang biasanya dilantik oleh Mendagri, mekanisme baru ini tentu disambut dengan bangga karena mereka dilantik langsung oleh Presiden di Istana Negara Jakarta. Bagaimana dengan DIY? Mari kita lihat prosesnya sejak 1998.

Pada 3 Oktober 1998, Mendagri Syarwan Hamid melantik Gubernur DIY di Yogyakarta seperti gubernur lainnya dan menolak aspirasi masyarakat DIY yang menghendaki Sultan dilantik oleh Presiden Habibie. Ketika habis masa jabatannya, Sultan ditetapkan dan dilantik oleh Mendagri Hari Sabarno pada 9 Oktober 2003 sebagai Gubernur setelah sebelumnya menjadi Pjs untuk enam hari. Jabatan ini diperpanjang dua kali (2008-2011; 2011-2013), hingga disyahkannya UUK pada 2012.

Penetapan UUK ini menandai babak baru hubungan Yogyakarta-Jakarta. SBY yang babak belur dilanda kasus korupsi partai Demokrat dan lemahnya dukungan rakyat DIY atas isu penetapan-pemilihan, memilih melantik Sultan HB X dan PA IX di Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta. Hal ini untuk menarik simpati rakyat DIY menjelang pemilu 2014, tetapi juga menandai “kemenangan” beruntun Yogyakarta atas Jakarta. Untuk pertama kalinya, seorang presiden datang ke provinsi untuk melantik seorang gubernur dan beruntung pula Yogyakarta memiliki Istana Negara. Sejak itu, muncul kebanggaan bagi masyarakat DIY yang istimewa.

Bagi publik Yogyakarta, siapa yang melantik dan dimana tempat melantik dipahami secara simbolis sebagai ukuran hubungan politik dan penghargaan Jakarta atas DIY. Karena Presiden sudah melantik seluruh gubernur dan bupati/walikota di Istana Merdeka, tentunya tidak lagi menjadi kebanggaan jika Gubernur DIY juga dilantik oleh presiden. Kebanggaan atas pelantikan oleh presiden yang dianggap sebagai pengejawantahan Amanat 5 September 1945, tidak lagi bisa diperoleh. Sehingga, lokasi menjadi isu penting.

Masyarakat Yogyakarta ingin jika Gubenur dan Wagubnya dilantik di Yogyakarta, setidaknya karena tiga hal. Pertama itu menjadi simbol penghargaan Jakarta atas jasa Yogyakarta di masa perjuangan. Presiden berkenan “sowan” ke Yogyakarta yang pernah menjadi ibukota republik untuk melantik pemimpinnya. Kedua, rakyat DIY bisa turut merayakan proses tersebut dan menegaskan keistimewaannya. Toh, hal ini hanya dilakukan lima tahun sekali. Ketiga, pelantikan di DIY dapat memperkuat legitimasi kultural pemimpin Yogyakarta yang dibangun salah satunya melalui narasi sejarah.

Continue reading “Pelantikan Gubernur”

Interview by Tirto.id: “Urusan Tanah di DIY Seperti Nagara dalam Negara”

UU Keistimewaan Yogyakarta bukan hanya soal suksesi, tapi juga soal demokrasi menghadapi kekuasaan yang (mencoba tetap) absolut.

tirto.id – Politik daerah di Indonesia pascareformasi menarik perhatian banyak peneliti. Dalam topik mengenai penguasa lokal, penguatan pengaruh para pewaris bekas swapraja (Sultan dan Raja) di politik lokal memicu diskusi menarik.

Dalam ulasannya pada 2008, Indonesianis asal Belanda, Gerry van Klinken menulis, “Apa ini hal yang baik karena tradisi mengintegrasikan masyarakat yang terpukul angin perubahan sosial? Atau pertanda buruk sebab merepresentasikan feodalisme?”

Dosen Fisipol UGM, Bayu Dardias, sejak 2014 lalu, meneliti manuver politik para aristokrat itu. Bayu―kini di Australia untuk studi doktoral di Australian National University (ANU)―mewawancarai puluhan Sultan dan Raja di 10 provinsi. Mayoritas, kata dia, membidik Pilkada atau Pemilu Legislatif. Namun, hanya sebagian yang berhasil.

Di antara semua bekas swapraja itu, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ialah kasus khusus. Aturan semacam UU nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY (UUK) tak berlaku di daerah lain. Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman menjadi satu-satunya institusi aristokrasi penerima kewenangan besar dari pemerintah pusat dalam urusan pemerintahan hingga tanah.

“Mereka semua ingin seperti DIY. Gak perlu susah payah ikut pemilu bisa jadi pejabat publik,” kata Bayu kepada Tirto (10/9/2017).

Tapi, menurut Bayu, UUK masih menyimpan dua persoalan penting terkait polemik suksesi dan penguasaan tanah-tanah keprabon. Berikut wawancara Tirto bersama Bayu mengenai hal itu. Redaksi menambahkan sejumlah hal untuk memperjelas konteks jawabannya.

Polemik Suksesi

Apakah putusan MK soal pasal 18 UUK melapangkan jalan calon Sultan perempuan?

Politik di DIY terbagi menjadi dua proses yang berurutan, suksesi di Kasultanan dahulu, lalu suksesi gubernur kemudian. Putusan MK membuka peluang bagi perempuan untuk menjadi Gubernur DIY apabila memenangkan kontestasi suksesi di Kasultanan. Dalam kontestasi di Kasultanan, banyak yang harus diganti jika Ratu yang bertakhta karena Yogyakarta adalah kerajaan Mataram Islam.

Keris untuk putra mahkota, misalnya, bernama “Joko Piturun” yang artinya “laki-laki yang diturunkan terus menerus” dan juga mitos Sultan adalah pasangan Ratu Kidul. Hambatan-hambatan dasar ini coba dihilangkan oleh Sultan HB X pada 2015.

Redaksi: Pada 2015, Sultan Hamengkubuwana X mengeluarkan Sabda Raja dan Dawuh Raja. Berdasar bisikan leluhurnya, Sultan mengubah gelarnya yang melenyapkan simbol raja laki-laki. Gelarnya menjadi Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengkubuwana Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati ing Ngalogo Langengging Bawono Langgeng, Langgenging Toto Panotogomo.Proses menjadi gubernur masih ada hambatan bagi perempuan di penyebutan gelar yang lengkap di Pasal 1 Poin 4 UUK DIY. Kata “Sayidin Panatagama Khalifatullah” (gelar lama Sultan) identik dengan laki-laki, dan menurut UUK gelar itu adalah warisan budaya yang harus dilestarikan.

Saya kurang sepakat bahwa suksesi di Kasultanan adalah persoalan internal seperti di Keraton lainnya yang saya teliti karena sultan akan otomatis menjadi pejabat publik (Gubernur DIY). Persinggungan antara aristokrasi dan demokrasi terletak pada keleluasaan Kasultanan memilih pemimpin dalam koridor yang diatur UUK sebagai implementasi negara demokrasi.

Artinya, keraton berhak memilih pemimpinnya, tetapi publik juga harus tahu prosesnya. Nah, perubahan aturan suksesi seharusnya diumumkan ke publik seperti diatur di Pasal 43 UUK. Tapi, Sultan menolak mengumumkannya 2 tahun lalu.

Suksesi ini jadi polemik elit, belum melibatkan publik DIY secara umum, mengapa?

Karena tidak ada perubahan struktural yang terjadi. Selama ini, masih perang wacana. Gubernur dan sultan tetap sama, walaupun namanya berubah-ubah. Adik-adiknya juga tetap menduduki posisi semacam “menteri koordinator” di Keraton. Hal ini tidak ada hubungan langsung dengan publik.

Sekarang publik banyak yang berteriak persoalan tanah dan tata ruang, misalnya terkait SG/PAG (Sultan Ground dan Pakualaman Ground), apartemen dan air tanah. Tetapi, sulit mencari kaitannya dengan suksesi politik.

Apakah polemik suksesi akan berpengaruh ke legitimasi politik Keraton Yogyakarta?

Saya kira, tergantung siapa pemenang kontestasi politik suksesi kasultanan. Legitimasi ratu tentu lebih sulit karena membuat sesuatu yang baru dibandingkan sultan laki-laki yang hanya tinggal meneruskan. Sebagai ilustrasi, kalau dulu penobatan putra mahkota selalu disambut dengan suka cita, tapi sekarang penobatan GKR Mangkubumi justru sebaliknya.

Polemik ini sebenarnya bisa diakhiri jika ada urutan suksesi di Keraton Yogyakarta seperti di semua negara yang memadukan sistem darah dan demokrasi. Di Inggris misalnya, line of succession-nya jelas: Pangeran Charles, Pangeran William, Pangeran George dan Putri Charlotte. Di Brunei, Thailand dan bahkan Arab Saudi, yang monarki absolut, semuanya ada dan jelas

Continue reading “Interview by Tirto.id: “Urusan Tanah di DIY Seperti Nagara dalam Negara””

Kado Buat Ratu

Pada 31 Agustus 2012, DPR mengesahkan RUUK yang diperjuangkan rakyat DIY sejak 1999. Tepat lima tahun kemudian, MK membatalkan Pasal 18 ayat 1 yang membatasi perempuan untuk menjadi Gubernur DIY. Tulisan ini akan membahas dampak putusan MK tersebut terhadap kondisi internal Kasultanan dan peluang GKR Mangkubumi menjadi Gubernur DIY.

Putusan MK menyatakan bahwa pembatasan hanya bagi laki-laki untuk menjadi gubernur bertentangan dengan karakter demokratis masyarakat Indonesia. Mengutip putusan MK, salah satu alasan tidak berlakunya pasal tersebut adalah: “untuk memenuhi tuntutan yang adil dalam masyarakat Indonesia yang demokratis pembatasan yang demikian tidak boleh terjadi”.

Kado MK ini disambut dalam dua reaksi. Bagi “Pejuang Paugeran”, MK dipandang tidak mengindahkan budaya dan tata kepemimpinan Kasultanan yang menyatu dengan pemimpin agama yang harus dipimpin oleh lelaki. Disisi lainnya, para pendukung Sabda dan Dawuh Raja menganggap sukacita putusan MK. Putusan MK membuka peluang pembaharuan yang sedang digagas Sultan. Sebenarnya, bagaimana dampaknya dari sisi internal Kasultanan?

Continue reading “Kado Buat Ratu”

Simalakama Gelar Bawono

Hampir bisa dipastikan, proses penetapan Gubernur dan Wagub DIY 2017-2022 tidak akan menuai persoalan serius. Ketua DPRD DIY Yoeke Laksana mengatakan, “Saya super optimis akan lancar.” (KR 5 Juli 2017). Untuk Wagub jelas tidak ada persoalan, hanya saja, persoalan pergantian nama dan gelar Sultan memunculkan sejumlah pertanyaan. Mari kita urai satu per satu secara kronologis.

Sultan Hamengku Buwono X, atas petunjuk Allah melalui para leluhur, pada 30 April 2015, merubah nama dan gelarnya menjadi “Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati ing Ngalogo Langgengging Bawono Langgeng, Langgenging Toto Panotogomo.” Perubahan nama ini bertujuan untuk melancarkan proses pelantikan putri tertuanya GKR Pembayun untuk menjadi putri mahkota dengan gelar baru GKR Mangkubumi yang diumumkan lima hari kemudian. Gelar lama, terutama terkait dengan khalifatullah tak cocok dipakai perempuan (lihat detail di tulisan saya di jurnal MI disini). Perubahan ini ditentang oleh seluruh 15 putra-putri Sultan Hamengku Buwono IX, klik disini dan disini.

Pergantian nama tidak memikirkan dampak politik dan hukum terkait dengan UU Keistimewaan DIY. UUK jelas mengatur tentang gelar Sultan yaituNgarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah.” Ironisnya, sumber pencantuman gelar ini adalah surat dari keraton sendiri yang menjelaskan gelar yang digunakan pada saat penobatan Sultan terakhir tahun 1989.

Pada tanggal 19 Juni 2015, pihak kraton mengajukan perubahan nama Sultan ke Pengadilan Negeri Yogyakarta. Terkait pengajuan ini Sultan mengatakan,

Ganti nama kan harus di Pengadilan. Saya tidak mau ganti-ganti nama terus-menerus. Nanti kalau untuk perjanjian apa, kan harus terdaftar.” (lihat disini)

Ketika ditanya implikasi perubahan nama tersebut terkait UUK, beliau mengatakan,

“Ya belum tentu (mengubah dalam UU), nanti kita lihat perkembangan politik saja.” (lihat disini)

Namun, sepertinya perubahan politik berlangsung cepat. Setelah sidang pertama tanggal 1 Juli 2015, Pengageng Kawedanan Hageng Panitrapura (Semacam Sekretaris Negara yang menjalankan fungsi administratif) yaitu putri kedua Sultan GKR Condrokirono, atas perintah Sultan, mencabut permohonan nama tersebut menjelang sidang kedua yang diagendakan 8 Juli 2015. Sidang kedua yang berlangsung singkat membatalkan proses penggantian nama ini. Alasan Sri Sultan terkait pencabutan berkas tersebut adalah,

“Tunggu revisi Undang Undang Keistimewaan dulu.” (lihat disini)

Sultan sepertinya sempat lupa, bahwa pergantian nama yang sudah disahkan oleh pengadilan akan membawa konsekuensi legal-administratif yang tidak mudah. Walaupun individunya tetap sama, perubahan tersebut dapat berakibat terjadinya persoalan legal-administratif yang berdampak hilangnya hak prerogratif Sultan sebagai Gubernur DIY yang tak dibatasi  masa jabatan. Setelah muncul kebingungan di publik, Sultan menegaskan gelar baru untuk internal.

“Ya, belum waktunya (disahkan di pengadilan). Kan internal. UU-nya (UU Keistimewaan) belum berubah.” Selanjutnya Sultan mengatakan,

“Nama saya masih yang lama. Untuk keraton yang berubah. Itu urusannya lain.”(lihat disini)

Dua tahun berjalan dan isu ini kembali mengemuka. Pada 2017, saat memberikan berkas ke DPRD DIY untuk pengukuhan Gubernur DIY periode 2017-2022, GKR Mangkubumi kembali menegaskan bahwa,

“Tidak ada masalah kok. Gelar itu sudah dibedakan untuk internal dan eksternal.” (lihat disini)

Lebih lanjut, KPH Yudhahadiningrat yang selalu mewakili Kraton dengan berbagai pihak mengatakan,

“Itu kan (nama Bawono) untuk intern Kraton saja. Untuk abdi dalem, bukan untuk masyarakat umum.” (lihat disini)

Persoalannya sebenarnya tidak sesederhana internal dan eksternal, tetapi menyangkut legitimasi dan proses politik Sultan untuk mempertahankan posisi Gubernur di satu sisi dan menyiapkan GKR Mangkubumi menjadi Sultan di sisi lainnya. Apapun gelar yang digunakan, baik Buwono ataupun Bawono, tetap melahirkan persoalan.

Pertama-tama, mari kita lihat dalam struktur administrasi Kraton. Kasultanan Yogyakarta adalah institusi yang lengkap struktur administrasinya. Pencatatannya sangat detail dan rinci sejak beberapa abad silam. Struktur ini diadopsi oleh Republik Indonesia sejak 1945. Misalnya, di Kraton ada yang disebut Undhang yang merupakan keputusan tertinggi yang diberi penomoran yang kemudian diadopsi menjadi Undang Undang di RI. Hanya saja, Sabda dan Dawuh Raja tidak termasuk dalam administrasi Kraton. Untuk menjadikannya bagian dari administrasi, keduanya harus diadopsi dalam keputusan Kraton yang terbagi menjadi beberapa jenis. Setelah itu, nama Bawono baru dapat digunakan untuk lingkungan internal. Perubahan nama ini kemudian disahkan melalui Undhang Gumantosing Asma pada 4 Mei 2015, lalu secara resmi digunakan dalam berbagai undangan baik untuk internal maupun eksternal.

Persoalannya, salah satu syarat untuk mengajukan diri untuk ditetapkan menjadi Gubernur 2017-2022 adalah surat pencalonan dari Panitrapura (Pasal 19 UUK). Sehingga menjadi pertanyaan apabila dalam surat-surat lainnya yang dikeluarkan oleh Panitrapura menggunakan nama “Bawono”, tetapi surat pencalonan khusus untuk kepentingan Gubernur DIY menggunakan “Buwono”. Belakangan, surat penetapan Sultan dengan nama Buwono tahun 1989 dilegalisir oleh Panitrapura khusus untuk keperluan persyaratan Gubernur. Ini melanggar kaidah administrasi karena melegalisir gelar 1989 yang sudah diamandemen tahun 2015. Pendeknya, administrasi Kraton menjadi tidak konsisten karena tidak ada kaidah yang disepakati.

Berita Acara Verifikasi persyaratan Gubernur DIY 2017-2022

Kedua, pendapat tentang pembilahan internal dan eksternal Kraton terkait gelar sangat membingungkan dan sulit melihatnya sebagai jalan keluar. Ketika UUK disahkan (yang prosesnya melibatkan Kraton), sebenarnya Kraton sudah menyerahkan urusan internalnya kepada NKRI. Tidak ada lagi pembilahan internal dan eksternal dan kasus perubahan gelar ini adalah yang paling konkrit. Sultan bahkan tidak memiliki independensi untuk merubah gelarnya sendiri karena rambu-rambu regulasi yang demikian ketat. DPRD DIY terbelah alot menyikapi isu ini dan berita acaranya membatasi ketat pergantian nama (baca Berita Acara 1, 2, 3).

Selain itu, tiga hari setelah mengumumkan putri mahkota, Sultan memberikan keterangan pers di Ndalem Wironegaran dengan mengundang berbagai media lokal dan nasional baik cetak maupun elektronik dan ditayangkan live di Metro TV. Beliau menjelaskan secara rinci dan detail tentang makna Sabdaraja (30/4/15) dan Dawuhraja (5/5/15). Beliau misalnya, menjelaskan dengan detail makna gelar “Ka 10” yang merubah “Kaping Sedasa” di gelar lama. Beliau mengkritisi istilah “kaping” yang berarti perkalian berbeda dengan “ka” yang berarti “lir gumanti” (terus-menerus), dan tentu saja disamping menjelaskan dihapuskannya “khalifatullah”. Apabila perubahan gelar hanya untuk urusan internal, mengapa perlu klarifikasi publik? Selain itu, muncul juga pertanyaan, jika “Ka 10” memang betul digunakan untuk internal, mengapa berbagai media sosial resmi yang dikelola Kraton menggunakan “Ka 10” ?
Continue reading “Simalakama Gelar Bawono”

Penggarap Tanah PA

Kedaulatan Rakyat, Analisis, 13 Oktober 2016

screen-shot-2016-10-13-at-4-03-14-pmscreen-shot-2016-10-13-at-4-07-40-pmSEJAK Kemerdekaan (atau mungkin sejak didirikan), dalam catatan saya, belum pernah terjadi rakyat menggeruduk berdemonstrasi ke Pura Pakualaman Yogyakarta, apapun sebabnya. Urusan tanah yang menjadi sumber ekonomi dan politik, selalu menjadi persoalan penting seluruh kerajaan. Walaupun sebagian orasi demo disampaikan dalam bahasa Jawa Krama, spanduk bernada keras dan belum pernah terjadi dalam tradisi protes terhadap institusi tradisional dalam masyarakat Jawa. Yang menilai segala sesuatu menggunakan rasa.

Protes paling keras yang secara tradisional dikenal hanyalah tapa pepe, berjemur bertelanjang dada di antara beringin kurung meminta keadilan Sultan. Sehingga, protes besar 15 September lalu yang salah satu spanduknya antara lain berbunyi “Paku Alam Jangan Pelit“, perlu disikapi dalam konteks masyarakat yang berubah.

Institusi tradisional seperti Pura Pakualaman dan Kasultanan Yogyakarta berbeda dengan pemerintah dan institusi modern lainnya. Keduanya ditegakkan dan didirikan dengan mekanisme patron-client yang dihubungkan melalui tanah. Raja sebagai patron, mendapatkan kesetiaan dan dukungan dari rakyat sebagai client yang hidupnya bergantung pada tanah sebagai sumber ekonomi masyarakat agraris.

Secara berkala setiap tahun, Raja menerima ungkapan terima kasih berupa hasil bumi dan ternak yang jumlahnya selalu kurang dari keuntungan yang diterima penggarap. Rakyat merasa dirinya harus ikut nyengkuyung sang Raja lewat momen penting seperti Grebeg, Jumenengan dan Mubeng Beteng. Hal ini berbeda 180 derajat dengan konsep negara modern dimana hubungan dibangun dengan logika impersonal yang menempatkan setiap orang sama, setara dengan perlakuan yang sama.

Karenanya, hubungan yang terjadi antara Panitia Ganti Rugi Bandara dengan pemilik dan penggarap tanah adalah hubungan putus. Hubungan itu selesai ketika masing-masing pihak merasa sudah mendapatkan dan memberikan rupiah yang disepakati. Tidak ada rasa ewuh pakewuh yang bermain, semuanya sudah digantikan melalui nominal transfer. Bagi yang tidak puas, ngganjel atau mangkel, silakan menempuh keadilan di pengadilan.

Kompensasi transaksional tidak serta merta bisa diterapkan dalam mekanisme ganti rugi penggarap tanah PA. Di satu sisi, pihak PA tidak akan rela dengan mekanisme ganti putus karena akan kehilangan basis pendukungnya, meskipun sebagian besar akan menempati tanah magersari sebagai tempat tinggal pengganti. Di sisi lain, petani penggarap merasa butuh rupiah karena kehilangan mata pencaharian yang dalam kondisi masyarakat yang semakin konsumtif, semakin besar tentu semakin baik. Selain itu, ganti rugi yang diterima Pakualaman juga meningkat karena tanah itu sudah diolah menjadi tanah produktif. Terlepas apakah petani penggarap pernah meminta izin atau menyerahkan bagian panen ke Pura yang mereka yakini sebagi pemilik tanah. Continue reading “Penggarap Tanah PA”

Dimas Kanjeng Abal Abal

Kolom Kompas, 4 Oktober 2016

Pada 11 Januari 2016, Dimas Kanjeng Taat Pribadi yang sekarang ini merajai berita nasional karena kasus penggandaan uang dan pembunuhan, dinobatkan sebagai Raja Anom. Gelar yang dipilih adalah “Sri Raja Prabu Rajasa Negara” yang mengigatkan kita pada gelar-gelar jaman Majapahit. Salah satu istrinya, diberi kedudukan permaisuri dengan gelar “Nyi Ageng Rahmawati” yang dekat dengan gelar kebangsawanan di Banten. Tulisan ini akan mengupas tentang kedudukan Taat Pribadi sebagai raja abal-abal, seabal-abal demonstrasi penggandaan dan pengadaan uang yang dilakukannya.

Sejak reformasi, bermunculan puluhan bahkan ratusan orang yang mengaku-aku sebagai raja dan sultan di seluruh Indonesia. Jumlahnya semakin lama semakin banyak. Sebagian besar dari mereka kemudian bergabung dalam organisasi-organisasi raja dan sultan yang sengaja mereka dirikan untuk memperkuat legitimasi para pengaku-aku bangsawan ini.

Pemerintah tidak bisa berbuat banyak. Konstitusi kita mengatur bahwa setiap orang punya hak untuk berkumpul, berorganisasi dan menyampaikan pendapat. Mereka juga menempuh jalur hukum sehingga mendapatkan akta notaris dan pengesahan dari instansi pemerintah yang menaungi organisasi kemasyarakatan. Pemerintah juga tidak bisa melarang jika ada warga negaranya yang menjahitkan baju warna-warni dan sedikit norak, membuat beberapa pin besar-besar yang terbuat dari emas atau kuningan yang di beberapa sisinya dipenuhi batu zirconia, dan kemudian mengaku sebagai Raja Madangkara misalnya. Sekali lagi, itu adalah ekspresi individual dan kebebasan konstitusional yang diatur undang-undang. Tapi sebenarnya, berapa jumlah kerajaan yang memiliki perjanjian panjang (lange contraact) dan pendek (korte verklaring) dengan Belanda sebelum Jepang datang?

Dokumen Belanda (Staatblad) mengatur terdapat 14 kerajaan/kesultanan di Indonesia yang memiliki kontrak panjang dengan Belanda dan 268 yang memiliki kontrak pendek. Di Jawa terdapat empat kesultanan yang berada di Yogyakarta dan Surakarta. Cirebon sudah menjadi bagian dari pemerintahan langsung (direct-rule) sejak diambil alih Inggris. Probolinggo, tentu saja tidak ada. Beberapa bagian di Jawa Timur adalah bagian dari Kasunanan Surakarta dan pemerintahan langsung. Selain kontrak panjang, ke 268 kontrak pendek yang diatur melalui Staatblad 1919/822 lebih banyak terdiri dari kepala-kepala desa maryoritas berada di wilayah Timur. Para kepala adat setingkat desa ini, misalnya di Maluku, Tapanuli dan Flores, juga disebut sebagai “Raja”.

Asosiasi Keraton Kesultanan Indonesia (AKKI) yang menobatkan Taat Pribadi menjadi Raja Anom mengklaim memiliki 147 anggota yang tidak terdaftar dalam Staatblad Belanda 1919. Continue reading “Dimas Kanjeng Abal Abal”

Kalender Sultan Agungan

Kedaulatan Rakyat, Opini, 28 Juli 2016

screen-shot-2016-09-11-at-7-22-29-pmManusia selalu mendefinisikan dirinya melalui waktu. Oleh karena itu, setiap peradaban besar selalu memiliki hitungan waktunya sendiri. Hitungan waktu dibagi berdasarkan dua prinsip utama yaitu berputarnya bulan dan berputarnya matahari. Dari hitungan tersebut, dibuatlah kelender.

Kalender nasional yang dipakai kita saat ini misalnya, merupakan kalender Gregorian yang diperkenalkan Paus Gregory XII tahun 1582 setelah mengoreksi kalender Julian. Kalender ini menggunakan hitungan matahari. Kalender berdasarkan bulan ditemukan jejaknya pertama kali ditemukan di coretan gua di Lascaux, Perancis yang dibuat sekitar 15,000 tahun lalu. Hitungan bulan secara tradisional digunakan di mayoritas negara di Asia termasuk, China, India, Jepang, Korea, Thailand dll.

Saat Islam mulai kuat di Madinah, dibuatlah kalender Islam yang menggunakan hitungan bulan. Hitungan kalender Islam tidak dimulai dari kelahiran Nabi Muhammad SAW tetapi dimulai dari hijrah beliau dari Mekkah ke Madinah. Metode dan konsep kalender Islam mirip dengan kalender bulan lainnya, hanya penamaannya didasarkan pada budaya dan tradisi Arab ketika itu.

Orang Jawa selalu tertarik dengan waktu. Orang Jawa percaya bahwa perputaran semesta mempengaruhi kehidupan di dunia. Sehingga, sebelum Islam masuk di sekitar abad ke 14, orang Jawa sudah mengadopsi kalender Hindu dan Buddha sekaligus, termasuk segala mistisisme dan kemisteriusan di dalamnya.

Adaptasi Islam di Jawa tidak seperti terjadi di pesisir yang relatif menerima apa adanya. Di Jawa pedalaman misalnya di Mataram yang jejaknya masih ditemukan di Kasultanan Yogyakarta bergabung tiga elemen sekaligus, yaitu Islam, Hindu dan kepercayaan lokal (Woodward 1989). Penanda pokok dari kombinasi ini bisa ditemukan di arsitektur masjid (Aryanti 2013).

Penanda Islam-Keraton, sekaligus justifikasi kebudayaan Jawa terletak pada Kelender yang diciptakan oleh Sultan Agung pada 1633 M. Menurut sejarawan Merle Ricklef dalam tulisannya di Jurnal History Today (1999), Kalender Sultan Agungan merupakan salah satu kalender paling rumit di seluruh dunia. Continue reading “Kalender Sultan Agungan”

Menggugat UUK

Capture1 Kedaulatan Rakyat, Analisis, 6 Juni 2016

UUK 13/2012 digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh Muhammad Sholeh, advokat dari Surabaya. Jika seluruh pasal yang digugat dimenangkan MK, maka mekanisme pemilihan untuk Gubernur dan Wakil Gubernur DIY akan melalui Pilgub sama seperti 33 provinsi lainnya. Sebelum panik, mari kita kaji persoalan ini secara jernih.

Pertama, terkait dengan penggugat. Penggugat adalah advokat muda yang berambisi untuk menjadi politisi. M. Sholeh pernah mencoba peruntungan Bupati Sidoarjo dan Wakil Walikota Surabaya. Keduanya layu sebelum berkembang. Terakhir, dia menjadi Caled DPR RI di Pemilu 2014 melalui Gerindra Dapil I Jawa Timur dengan nomor urut 6. Gerindra hanya punya satu wakil di Dapil tersebut dan menambah kegagalan M Sholeh untuk kesekian kalinya.

Menariknya, M Sholeh ini memang hobi menggugat. Bahkan dalam Pemilu 2014, taglinenya adalah “Sholeh Gugat”. Di kasus gugat menggugat, dia cukup punya prestasi, antara lain menggagalkan mekanisme nomor urut yang digunakan di pemilu 2009, sehingga merubah sistem pemilu dari daftar tertutup menjadi daftar terbuka murni. Sistem ini yang diteruskan di Pemilu 2014 yang banyak memunculkan politik uang, karena kompetisi berlangsung bukan antar partai, tetapi juga antar kandidat. Pendeknya gugat-menggugat menjadi sarana ybs untuk mendapatkan popularitas, yang belum bisa ditransformasi ke elektabilitas sehingga bisa menduduki posisi politik di legislatif dan eksekutif.

Kedua persoalan penggugat yang berdomisili di Surabaya. Selain DIY, Papua dan Papua Barat, semua WNI berhak berkompetisi di Pilgub. Di Papua dan Papua Barat, UU Otsus Papua membatasi hanya penduduk asli Papua yang bisa menjadi Gubernur dan Bupati/Walikota. Sehingga, gugatan M.Sholeh memiliki legal standing yang kuat karena hak konstitusionalnya tercerabut lewat UUK. MK memberikan azas keadilan bagi setiap individu WNI yang merasa hak konstitusionalnya tercerabut oleh sebuah UU. Continue reading “Menggugat UUK”

Dwitunggal Baru DIY

Kedaulatan Rakyat, Analisis, 26 April 2016

Wakil Gubernur Yogyakarta Paku Alam X Suryodilogo akhirnya ditetapkan. Inilah untuk pertama kalinya, UUK 13/2012 digunakan untuk memilih pemimpin politik di Yogyakarta.  Tulisan ini ingin menelusuri beberapa persoalan terkait proses penetapan, sekaligus melihat kemungkinan dwi tunggal Sultan-Paku Alam memimpin Yogyakarta.

Pertama, prinsip penentuan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY adalah administratif dan bukan proses politis. Kewenangan pemerintah dan DPRD DIY berada di level teknis administratif dan bukan pada persoalan subtantif dan politis. Hanya saja, hambatan politis menjadikan proses teknis menjadi berbelit. Proses politis yang berlangsung, hal tersebut terjadi di ranah tradisional di dalam Puro. Ketika jumenengan (6/1) dihadiri oleh mantan presiden Megawati, lima menteri dan dua gubernur, proses politis dapat diasumsikan berakhir. Kehadiran Sultan HB X menjadi penanda penting bahwa Paku Alam X Suryodilogo memililil legitimasi yang cukup.

Kedua, waktu penetapan Wagub tergolong lama. Apabila dihitung dari sejak mangkatnya PA IX, dibutuhkan 5 bulan, 9 hari (161 hari) kekosongan jabatan Wagub DIY atau hampir setengah tahun. Apabila dihitung sejak surat pemberhentian Wagub diterima DPRD DIY tanggal 17 Januari 2016, dibutuhkan 99 hari. Untuk proses administratif, hal ini tergolong lama jika dibandingkan dengan para Gubernur yang terpilih melalui Pilkada 9 Desember 2015 yang dilantik tanggal 12 Februari 2016. Proses penghitunggan suara dan administratif hanya membutuhkan waktu 65 hari atau sekitar dua bulan.

Ketiga, hambatan-hambatan teknis seringkali digunakan untuk kepentingan politis. DPRD memberlakukan kehati-hatian ekstra pada proses penetapan karena keputusannya dapat digugat pihak yang bersengketa, dalam hal ini kubu Anglingkusumo. Beberapa hari lalu, seorang anggota dewan meminta perubahan nama harus dengan ketetapan Pengadilan Tinggi, tidak cukup hanya dengan surat dari notaris. Sebelumnya, persoalan terkait dengan sumber dana pansus dan persoalan lainnya. Continue reading “Dwitunggal Baru DIY”

Boki Nita dan Tradisi Suksesi Kasultanan Perairan

Malutpost, Opini, 7 April 2016

12931246_1292606177417996_8850889466989565679_nKasultanan dan Kerajaan di Indonesia dapat dibagi menjadi dua kategori: Pesisir (coastal) dan agraris/pedalaman (inland). Kedua karakter ini berbeda secara sangat substansial, baik pada aspek ekonomi maupun politik termasuk di dalamnya tradisi pergantian Raja/Sultan.

Aristokrasi pesisir struktur ekonomi kerajaan didasarkan pada ekonomi perairan yang terutama diderivasi dari kerjasama perdagangan dan sumber daya laut. Struktur ekonomi dagang dan laut ni menentukan karakter-karakter lainnya. Secara geografis, letak Kedaton menghadap laut dengan Bandar/Pelabuhan yang biasanya letaknya persis di depan Kedaton.  Sumber ekonomi yang didapatkan dari perdagangan bersifat bergerak seperti emas, perak dan sutra dan memiliki karakter penduduk yang relatif heterogen yang adaptif menerima perubahan. Bentuk kendaraan khas berupa kapal, penting untuk basis legitimasi. Penguasaan tanah yang subur tidak menjadi prioritas, dibandingkan dengan penguasaan simpul-simpul perdagangan. Kasultanan Ternate, Tidore dan Gowa merupakan contoh kasultanan persisir.

Sementara aristokrasi agraris mengandalkan sumber daya ekonomi pada tiga hal penting: tanah, irigasi dan tenaga kerja. Kekayaan tidak bergerak ini membuat penguasaan wilayah menjadi penting. Letak kerajaan masuk ke pedalaman yang mengandalkan pada pertanian dan kondisi tanah yang subur. Saluran irigasi dibuat memanfatkan aliran air sungai adalah kebutuhan sentral dan dijadikan alasan untuk membangun Keraton. Penduduknya relatif homogen dan dibutuhkan pemimpin yang kuat untuk mengontrol tenaga kerja agar tidak berpindah ke kerajaan lainnya. Aristokrasi agraris mengandalkan kereta untuk transportasi seperti ditemukan di Yogyakarta dan Surakarta. Kedua Kasultanan ini tidak memiliki Kapal, seperti Kapal Kora Kora.

Di Kasultanan Ternate, struktur politik tidak seperti di Kasultanan Yogyakarta yang mengerucut seperti piramida dengan Sultan berada di posisi puncak piramida. Di aristokrasi perairan, struktur politik terbagi dan tersebar ke dalam unit-unit yang lebih kecil. Di Kasultanan Ternate, kekuasaan politik disebar ke Bobato 18 yang secara riil berkuasa di daerah dan menentukan Sultan selanjutnya. Di Kerajaan Gowa, struktur politik didistribusikan kepada  9 Bate yang disebut Bate Salapang.

Sementara di Kasultanan Yogyakarta atau Surakarta, Continue reading “Boki Nita dan Tradisi Suksesi Kasultanan Perairan”

Menanti Wakil Gubernur

 Screen Shot 2016-02-03 at 6.00.47 PMKedaulatan Rakyat 3 Februari 2016 download PDF

Sejak 21 November 2015 sampai dengan hari ini, DIY tidak memiliki wakil gubernur. Walaupun seluruh tatacaranya sampai hal yang bersifat teknis sudah diatur dalam UUK, ternyata aspek birokratis, administratif dan politis masih menghambat penguasa baru Pakualam menggantikan ayahnya menjadi Wagub.

Hambatan pertama terkait dengan surat pemberhentian Wakil Gubernur yang harus ditandatangani presiden. Dalam prakteknya, institusi politik baik di Yogyakarta maupun di Jakarta gagal menciptakan proses yang cepat seperti yang selama ini didengungkan pemerintah Jokowi. Surat surutnya PA IX disampaikan Pakualaman ke DPRD DIY lalu ke Kemendagri sebelum akhirnya sampai di meja Mensesneg untuk ditandatangani presiden. Surat dari Kemendagri baru sampai di Mensesneg sehari sebelum Jumenengan (6/1) dan sampai di DPRD DIY tanggal 17 Januari.

Mengapa butuh waktu 55 hari hanya untuk menerbitkan surat pemberhentian sebagai Wakil Gubernur yang disebabkan oleh surutnya yang bersangkutan? Continue reading “Menanti Wakil Gubernur”

Pakualaman dalam Keistimewaan

Kedaulatan Rakyat, Analisis, 7 Januari 2016

Screen Shot 2016-01-07 at 11.04.17 PMSalah satu hasil positif dari revolusi kemerdekaan 1945-1949 adalah bergabungnya dua kerajaan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta pada 1950, berlawanan dengan tren “pemekaran” Mataram yang terjadi karena konflik internal. Proses ini tidak mudah karena baik HB IX maupun PA VIII harus melepaskan ego. Kasultanan merelakan Pakualaman yang “hanya” kadipaten untuk menduduki posisi sebagai wakilnya, pun Pakualam harus merelakan Kadipaten Adikarto lebur menjadi Kulon Progo tahun 1951.

Namun ketika 15 daerah swapraja dengan kontrak panjang dan 268 dengan kontrak pendek dihapuskan pemerintah tahun 1958, posisi politik Pakualaman terangkat. HB IX mengangkat dan memposisikan PA VIII dalam pemerintahan DIY sebagai wakil gubernur dan secara de facto menjalankan pemerintahan DIY. Sebabnya, HB IX memiliki karier politik yang sangat panjang sehingga lebih banyak berada Jakarta. Jika kita mengurutkan tokoh berpengaruh di masa Sukarno dan Suharto, HB IX mungkin satu-satunya yang bisa masuk dalam daftar sepuluh besar. Dalam kondisi inilah PA untuk pertama kalinya mulai mengatur Yogyakarta melebar dari benteng kecil Pakualaman dan Kadipaten Adikarto.

Sehingga, sejak dibentuk provinsi DIY tahun 1950 sampai dengan reformasi 1998, PA VIII lebih banyak menjadi memimpin DIY dibandingkan Sultan HB IX. Ketika HB IX surut tahun 1988, Suharto enggan melanjutkan jejak politik dengan mengangkat HB X. PA VIII menjabat sebagai Gubernur sampai HB X dikukuhkan DPRD DIY menjadi Gubernur beberapa minggu setelah Suharto jatuh.

Sikap dan kompromi politik HB IX dan PA VIII inilah yang membuat posisi Pakualaman menjadi signifikan sejak dihadiahkan Raffles kepada Pangeran Notokusumo (saudara tiri HB II) tahun 1812. Posisi politik Pakualaman meningkat jauh dibandingkan dengan sumbangan wilayahnya yang hanya sekitar 5,8% total luas DIY, terdiri dari lima dari total 78 kecamatan di DIY atau 179,3 km2 dari 3185,8 km2 total wilayah DIY. Kunci dari meningkatnya posisi politik Pakualaman di DIY adalah sikap PA VIII dan PA IX yang “nderek” sikap politik Kasultanan.

Karena jejak politik 1945-1998, posisi Pakualaman sebagai “wakil” Kasultanan dilegalkan melalui UUK 13/2012 baik secara politik, ekonomi dan budaya. Hamengku Buwono yang bertahta dan Paku Alam yang bertahta diposisikan saling menggantikan satu sama Continue reading “Pakualaman dalam Keistimewaan”

Pura dan Wakil Gubernur

PuroKedaulatan Rakyat, analisis, 23 November 2015 . PDF

DIBANDINGKAN dengan 33 provinsi lain di Indonesia, sepertinya posisi Wakil Gubernur DIY akan terus menjadi posisi cukup krusial dan tidak hanya menjadi ‘ban serep’. Sejak UUK disahkan, posisinya ditegaskan secara legal formal terintegrasi dengan struktur politik tradisional Pakualaman. Keterikatan antara pemerintahan modern dan tradisional ini menempatkan posisi Gubernur dan Wakil Gubernur DIY tidak mudah diintervensi oleh Pemerintah Pusat. Namun juga menuai ancaman terkait konflik internal.

Sehingga tidak aneh, jika posisi ini menjadi ‘gula’ yang menggiurkan yang menarik untuk diperebutkan. Selain itu, karakter Pakualaman yang agraris, menemukan momentumnya setelah lahan di Pesisir Selatan memiliki nilai ekonomis tinggi. Sebelumnya, kerajaan agraris yang bercirikan tanah, petani dan air tak sepenuhnya dimiliki Pakualaman. Pakualaman memiliki tanah kurang produktif dan hanya dihadiahi 4.000 cacah oleh Raffles. Sehingga, sejak didirikan, Pakualaman hanya memainkan peran minimal dalam percaturan politik, dibandingkan dengan tiga kerajaan Jawa lainnya.

Pakualaman yang inferior pada awal kemerdekaan, memilih menggabungkan diri dengan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan merelakan Kadipaten Adikarto bergabung menjadi Kulonprogo tahun 1951. Inilah satu-satunya amalgamasi dalam pemerintahan daerah di Indonesia yang bertahan hingga saat ini. Kunci suksesnya terletak pada kesadaran politiknya untuk selalu mengikuti posisi politik Kasultanan.

Posisi Wakil Gubernur bertambah penting ketika Yogyakarta tidak memiliki Gubernur pascamangkatnya HB IX. PA VIII menjabat Gubernur dari tahun 1989-1998 karena keraguan Soeharto untuk menentukan HB X meneruskan jabatan ayahnya. Bahkan HB X sempat berkata sulit baginya untuk menjadi Gubernur DIY selama Pemerintahan Soeharto.

Dibandingkan dengan ayahnya yang menjadi Wagub DIY selama 53 tahun (termasuk pejabat Gubernur DIY karena belum ada gubernur definitif), KGPAA PA IX (Ambarkusumo) menduduki posisi tersebut cukup singkat, hanya selama 12 tahun. Beliau memulainya sejak 2003 pada usia 65 tahun. Continue reading “Pura dan Wakil Gubernur”