Malutpost, Opini, 7 April 2016
Kasultanan dan Kerajaan di Indonesia dapat dibagi menjadi dua kategori: Pesisir (coastal) dan agraris/pedalaman (inland). Kedua karakter ini berbeda secara sangat substansial, baik pada aspek ekonomi maupun politik termasuk di dalamnya tradisi pergantian Raja/Sultan.
Aristokrasi pesisir struktur ekonomi kerajaan didasarkan pada ekonomi perairan yang terutama diderivasi dari kerjasama perdagangan dan sumber daya laut. Struktur ekonomi dagang dan laut ni menentukan karakter-karakter lainnya. Secara geografis, letak Kedaton menghadap laut dengan Bandar/Pelabuhan yang biasanya letaknya persis di depan Kedaton. Sumber ekonomi yang didapatkan dari perdagangan bersifat bergerak seperti emas, perak dan sutra dan memiliki karakter penduduk yang relatif heterogen yang adaptif menerima perubahan. Bentuk kendaraan khas berupa kapal, penting untuk basis legitimasi. Penguasaan tanah yang subur tidak menjadi prioritas, dibandingkan dengan penguasaan simpul-simpul perdagangan. Kasultanan Ternate, Tidore dan Gowa merupakan contoh kasultanan persisir.
Sementara aristokrasi agraris mengandalkan sumber daya ekonomi pada tiga hal penting: tanah, irigasi dan tenaga kerja. Kekayaan tidak bergerak ini membuat penguasaan wilayah menjadi penting. Letak kerajaan masuk ke pedalaman yang mengandalkan pada pertanian dan kondisi tanah yang subur. Saluran irigasi dibuat memanfatkan aliran air sungai adalah kebutuhan sentral dan dijadikan alasan untuk membangun Keraton. Penduduknya relatif homogen dan dibutuhkan pemimpin yang kuat untuk mengontrol tenaga kerja agar tidak berpindah ke kerajaan lainnya. Aristokrasi agraris mengandalkan kereta untuk transportasi seperti ditemukan di Yogyakarta dan Surakarta. Kedua Kasultanan ini tidak memiliki Kapal, seperti Kapal Kora Kora.
Di Kasultanan Ternate, struktur politik tidak seperti di Kasultanan Yogyakarta yang mengerucut seperti piramida dengan Sultan berada di posisi puncak piramida. Di aristokrasi perairan, struktur politik terbagi dan tersebar ke dalam unit-unit yang lebih kecil. Di Kasultanan Ternate, kekuasaan politik disebar ke Bobato 18 yang secara riil berkuasa di daerah dan menentukan Sultan selanjutnya. Di Kerajaan Gowa, struktur politik didistribusikan kepada 9 Bate yang disebut Bate Salapang.
Sementara di Kasultanan Yogyakarta atau Surakarta, Sultan merupakan pucuk pimpinan piramida yang menentukan semua urusan. Posisi politik di Yogyakarta ditentukan oleh jauh-dekatnya hubungan darah dengan Sultan HB X. Pada aristokrasi pedalaman, Sultan menentukan siapa penerus tahta melalui tradisi putra mahkota (walaupun saat ini berusaha diganti dengan putri mahkota). Sementara pada aristokrasi pesisir termasuk Ternate, Sultan ditentukan melalui pertimbangan Bobato 18.
Hanya saja, perkembangan menarik di Ternate terjadi ketika dipimpin oleh Alm. Sultan Mudaffar Syah. Sultan Mudaffar mampu menghidupkan kembali Kasultanan sejak tahun 1980an yang telah vacuum sejak awal kemerdekaan karena Sultan Djabir Syah dianggap terlalu dekat dengan sekutu dan menjadi pendukung utama negara federal. Dalam buku Sekitar Tradisi Ternate (B. Sularto, 1977) misalnya, foto-foto Kedaton dan Kadato Ici sangat memprihatinkan. Rumputnya sangat tinggi dengan plafon bolong di sana-sini. Keberhasilan Sultan Mudaffar Syah membangkitkan Kasultanan Ternate meningkatkan kebanggaan dan identitas diri suku Ternate di tengah persaingan dengan suku-suku lainnya secara ekonomi dan politik. Masyarakat Ternate mencintai Sultan Mudaffar sangat dalam sehingga tetap mendukung beberapa perubahan yang secara adat tidak pernah dilakukan sebelumnya.
Sehingga, konflik di interal keluarga Kasultanan Ternate yang membawa Boki Nita menjadi pesakitan disebabkan kegagalannya mengintegrasikan adat kasultanan agraris ke dalam kasultanan pesisir. Beberapa perubahan antara lain: menggunakan gelar “RATU” dalam namanya. Menariknya, gelar Ratu dalam tradisi Mataram tidak pernah berdiri sendiri. Gelar Permaisuri Sultan Yogyakarta adalah “Gusti Kanjeng Ratu/GKR”, gelar tertinggi perempuan di Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta. Seseorang juga tidak bisa langsung memperoleh GKR, tetapi harus melalui beberapa tahap gelar sebelumnya (misalnya GBRay). Boki Nita juga selalu menyebut dirinya sebagai permaisuri, yang tidak dikenal dalam tradisi Kasultanan Pesisir karena Sultan dipilih oleh Bobato 18. Pada aristokrasi agraris, keturunan dari permaisuri lebih berhak atas tahta. Kedua, Memperkenalkan tradisi arak-arakan menggunakan “Kereta Kencana” yang menjadi ciri khas kasultanan agraris. Ketiga, dan paling fenomenal adalah memperkenalkan putra mahkota.
Konsep putra mahkota yang dipinjam dari aristokrasi agraris tidak hanya tidak tepat, tetapi bertentangan dengan struktur politik dan ekonomi kerajaan perairan. Konsep putra mahkota mengeliminasi peran politik Bobato 18 dan desa-desa yang berada di bawah kontrol Kasultanan menjadi tidak memiliki perwakilan politik. Hanya saja, Boki Nita diuntungkan oleh kecintaan bala kepada Sultan Mudaffar. Sehingga perlawanan terhadap Boki Nita, diibaratkan sama dengan melawan Sultan.
Kondisi berbeda terjadi beberapa hari menjelang Sultan Mudaffar tutup usia. Pendulum kekuasaan yang dikendalikan oleh Boki Nita hancur dan struktur politik berbalik menyerangnya. Investasi politik yang dibangun sejak 2004, tidak hanya di Ternate tetapi di Malut, seolah tidak berbekas. Jasa dan peran Boki Nita memperkenalkan dan membuka Kedaton untuk masyarakat luas, menginisiasi Festival Legu Gam dan menjadikan Kasultanan Ternate sebagai institusi politik penting di Malut seolah tak mampu menyelamatkannya dari jeratan hukum yang tidak pandang bulu.
Boki Nita kurang perhitungan melihat konstestasi dan kekuatan politik dari pihak-pihak yang menentangnya. Disamping itu, sulit untuk merubah tradisi kasultanan pesisir menjadi kasultanan agraris. Kasultanan Ternate adalah bagian dari NKRI, sehingga tindakan setiap warga negara memiliki konsekuensi hukum. Tes DNA sudah jamak dilakukan dan menjadi bukti utama di persidangan. Mari kita berdoa agar kasus ini segera berlalu dan Kasultanan Ternate yang telah dibangun kembali oleh Sultan Mudaffar Syah tetap menjadi Kasultanan paling bengaruh di Timur Indonesia.