Kedaulatan Rakyat 3 Februari 2016 download PDF
Sejak 21 November 2015 sampai dengan hari ini, DIY tidak memiliki wakil gubernur. Walaupun seluruh tatacaranya sampai hal yang bersifat teknis sudah diatur dalam UUK, ternyata aspek birokratis, administratif dan politis masih menghambat penguasa baru Pakualam menggantikan ayahnya menjadi Wagub.
Hambatan pertama terkait dengan surat pemberhentian Wakil Gubernur yang harus ditandatangani presiden. Dalam prakteknya, institusi politik baik di Yogyakarta maupun di Jakarta gagal menciptakan proses yang cepat seperti yang selama ini didengungkan pemerintah Jokowi. Surat surutnya PA IX disampaikan Pakualaman ke DPRD DIY lalu ke Kemendagri sebelum akhirnya sampai di meja Mensesneg untuk ditandatangani presiden. Surat dari Kemendagri baru sampai di Mensesneg sehari sebelum Jumenengan (6/1) dan sampai di DPRD DIY tanggal 17 Januari.
Mengapa butuh waktu 55 hari hanya untuk menerbitkan surat pemberhentian sebagai Wakil Gubernur yang disebabkan oleh surutnya yang bersangkutan? Sebabnya terlebih karena administratif birokratis yang lambat merespon perubahan. Surutnya PA IX merupakan hal baru yang belum pernah diujicoba sebelumnya dalam praktek UUK. Pendeknya, lamanya proses tersebut menunjukkan bagaimana birokrasi dan institusi politik bekerja dan tampaknya, rapornya tak begitu mengesankan.
Setelah 17 Januari, proses pengangkatan wagub baru bisa dilakukan. Tak belajar dari kesalahan sebelumnya, hampir bisa dipastikan, rakyat Jogja akan menunggu lebih lama dibandingkan proses sebelumnya karena adanya proses politik yang berlangsung, tidak hanya sekedar administratif birokratis.
UUK telah mengatur secara penggantian kepala daerah di DIY apabila terjadi perubahan kepemimpinan di Kasultanan untuk Gubernur dan Pakualaman untuk Wakil Gubernur. Perdais tentang pengisian jabatan tidak cukup memberikan petunjuk yang lebih teknis karena isinya lebih banyak hanya menyalin apa yang sudah diatur dalam UUK.
Berbeda dengan proses pemberhentian, proses pengisian Wagub lebih kental dengan unsur politis dibandingkan dengan administratif-birokratis. DPRD DIY seolah ingin menunjukkan taringnya terhadap proses pengisian karena inilah posisi tawar terakhir yang bisa mereka diberikan. Praktis setelah dilantik, hanya proses membosankan terkait perpanjangan jabatan tiap lima tahun akan terjadi.
Kentalnya proses politik tersebut bisa dilihat dari indikasi antara lain; pertama, terjadi perdebatan terkait dengan wagub yang berhenti karena surut. Kedua, perlu tidaknya penyampaian visi misi ketika melanjutkan masa jabatan. Ketiga perlu tidaknya pembahasan tata tertib sebelum pembentukan Panitia Khusus dan terakhir upaya untuk merevisi Perdais tentang pengisian jabatan.
Seluruh perdebatan politik tersebut adalah proses yang tidak perlu apabila anggota dewan membaca secara seksama UUK. Terlebih, bukankah seluruh perdebatan tersebut seharusnya sudah dibahas ketika DPRD DIY menyusun Perdais? Sekarang saatnya mengeksekusi aturan main yang mereka buat sendiri, bukan mendiskusikannya kembali.
Proses politik ini menunjukkan dinamika yang terjadi di antara fraksi-fraksi di DPRD DIY tetapi kontraproduktif terhadap upaya untuk mematuhi undang-undang. UUK memang secara diskriminatif hanya memberikan kesempatan bagi penguasa kerajaan untuk menduduki posisi tertinggi di DIY. Tetapi sampai saat ini, tidak ada satupun dari 250 juta lebih rakyat Indonesia yang merasa hak konstitusionilnya terzalimi sehingga tak ada yang melakukan review ke Mahkamah Konstitusi. Jika ada satu saja anggota DPRD DIY yang tidak sepakat dengan UUK atau tidak setuju dengan PA X, cara jantan yang harus dilakukan adalah mengajukan review ke MK, bukan dengan menyandera proses pelantikan yang proses dan syaratnya sudah diatur rinci di UUK.
Namun demikian, proses politik yang berlangsung saat ini, dimana seharusnya yang terjadi adalah proses administratif, bisa menjadi indikator bagi penggantian Gubernur DIY suatu saat nanti. Apabila proses pelantikan Wagub PA X dari Puro Pakualaman yang relatif lancar dan legitimate karena Jumenengan yang dihadiri Presiden Kelima, lima menteri dan dua Gubernur butuh waktu yang lama, proses untuk Gubernur tak mungkin lebih singkat.
Siapapun Sultan HB XI nantinya akan melalui jalan terjal kontestasi internal yang miskin legitimasi. Jumenengan akan menjadi ajang kontestasi kekuatan politik internal Kasultanan. Pun seandainya salah seorang lolos kontestasi, yang bersangkutan harus berhadapan kembali dengan DPRD dan kekuatan politik yang ada, baik di DIY maupun di pusat. Pada kondisi itulah, PA X Suryodilogo akan menjabat Gubernur untuk waktu yang tidak dibatasi. Tentu saja, itu hanya terjadi kalau beliau memang jadi dilantik menjadi Wakil Gubernur, entah kapan.
Baca Juga:
Radar Jogja, DPRD DIJ Diminta tak Hambat Pengisian Wagub, download disini