Kedaulatan Rakyat, Analisis, 7 Januari 2016
Salah satu hasil positif dari revolusi kemerdekaan 1945-1949 adalah bergabungnya dua kerajaan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta pada 1950, berlawanan dengan tren “pemekaran” Mataram yang terjadi karena konflik internal. Proses ini tidak mudah karena baik HB IX maupun PA VIII harus melepaskan ego. Kasultanan merelakan Pakualaman yang “hanya” kadipaten untuk menduduki posisi sebagai wakilnya, pun Pakualam harus merelakan Kadipaten Adikarto lebur menjadi Kulon Progo tahun 1951.
Namun ketika 15 daerah swapraja dengan kontrak panjang dan 268 dengan kontrak pendek dihapuskan pemerintah tahun 1958, posisi politik Pakualaman terangkat. HB IX mengangkat dan memposisikan PA VIII dalam pemerintahan DIY sebagai wakil gubernur dan secara de facto menjalankan pemerintahan DIY. Sebabnya, HB IX memiliki karier politik yang sangat panjang sehingga lebih banyak berada Jakarta. Jika kita mengurutkan tokoh berpengaruh di masa Sukarno dan Suharto, HB IX mungkin satu-satunya yang bisa masuk dalam daftar sepuluh besar. Dalam kondisi inilah PA untuk pertama kalinya mulai mengatur Yogyakarta melebar dari benteng kecil Pakualaman dan Kadipaten Adikarto.
Sehingga, sejak dibentuk provinsi DIY tahun 1950 sampai dengan reformasi 1998, PA VIII lebih banyak menjadi memimpin DIY dibandingkan Sultan HB IX. Ketika HB IX surut tahun 1988, Suharto enggan melanjutkan jejak politik dengan mengangkat HB X. PA VIII menjabat sebagai Gubernur sampai HB X dikukuhkan DPRD DIY menjadi Gubernur beberapa minggu setelah Suharto jatuh.
Sikap dan kompromi politik HB IX dan PA VIII inilah yang membuat posisi Pakualaman menjadi signifikan sejak dihadiahkan Raffles kepada Pangeran Notokusumo (saudara tiri HB II) tahun 1812. Posisi politik Pakualaman meningkat jauh dibandingkan dengan sumbangan wilayahnya yang hanya sekitar 5,8% total luas DIY, terdiri dari lima dari total 78 kecamatan di DIY atau 179,3 km2 dari 3185,8 km2 total wilayah DIY. Kunci dari meningkatnya posisi politik Pakualaman di DIY adalah sikap PA VIII dan PA IX yang “nderek” sikap politik Kasultanan.
Karena jejak politik 1945-1998, posisi Pakualaman sebagai “wakil” Kasultanan dilegalkan melalui UUK 13/2012 baik secara politik, ekonomi dan budaya. Hamengku Buwono yang bertahta dan Paku Alam yang bertahta diposisikan saling menggantikan satu sama lain dalam posisi pemerintahan DIY. Hak-hak istimewa Pakualaman terkait dengan kepemilikan tanah, disejajarkan dengan Kasultanan. Prosesi budaya di Pakualaman, misalnya terkait dengan Jumenengan, juga mengikuti Kasultanan dalam skala yang lebih kecil.
Secara politik, posisi saling menggantikan antara PA dan HB yang bertahta memberikan keuntungan politik ganda. PA yang hanya setara “adipati” menduduki posisi sebagai wakil gubernur dan berpotensi meningkat menjadi penjabat gubernur, terutama pada kondisi keluarga inti Kasultanan yang masih belum bersepakat terkait penunjukan GKR Mangkubumi sebagai “putri mahkota”. Ditambah lagi, dari tiga calon teratas pengganti HB X yaitu GKR Mangkubumi, KBPH Hadiwinoto dan GPBH Prabukusumo, hanya PA X Suryodilogo yang memiliki pengalaman karier di birokrasi DIY.
Secara ekonomi, selain legalisasi kepemilikan terhadap tanah, Pakualaman juga diuntungkan dengan pemanfaatan tanah-tanah PA Grond yang menemukan nilai ekonomis baru. Perubahan mainstream DIY sebagai kerajaan agraris yang berbasis pada tanah, irigasi dan tenaga kerja (among tani), coba digeser menjadi dagang layar, seperti kerajaan-kerajaan perairan.
Oleh karena itu, PA Grond di pesisir Selatan Yogya yang baru dimanfaatkan dalam skala kecil sejak 1980an melalui pertanian lahan pasir, menjadi bernilai ekonomis tinggi karena dagang layar hanya bisa dilakukan di Selatan DIY. Misalnya, lahan tempat calon lokasi bandara baru menempati lebih dari 70% lahan PA Grond. Jika tanah bandara diganti tanah baru, Pakualaman tetap dapat menjaga basis ekonomi dan dukungan politik yang berbasis tanah seperti yang telah terjadi selama ini.
Pada prosesi budaya, Pakualaman memiliki independensinya sendiri walaupun tetap memiliki ikatan kuat terhadap Kasultanan. Salah satu contoh ikatan keduanya dibuktikan dengan upacara Garebag tiga kali setahun. Pada Garebeg Mulud dua minggu lalu, dua dari tujuh Gunungan yang keluar dari Karaton Kasultanan, dibagikan di depan Pakualaman.
Pendeknya, Pakualaman mendapatkan momentum untuk menjadi bagian dari percaturan politik Jawa justru setelah kemerdekaan republik. Perannya semakin penting setelah reformasi dan akan terus berpengaruh. Dalam kondisi ini dibutuhkan PA yang mampu menjawab tantangan ke depan dan dekat dengan rakyat. Semoga PA X menjawab tantangan tersebut dengan bijak. Selamat Jumeneng PA X, KBPH Prabu Suryodilogo.