Priyo Waspodo adalah guru sejarah saya ketika bersekolah di SMA Negeri 1 Magelang. Beliau pindahan dari SMA Taruna Nusantara. Masuk ke Smansa tahun 1995 langsung dengan gayanya yang khas dan berani. Langganannya majalah Forum Keadilan yang sempat naik daun menggantikan Tempo yang dibredel Suharto tahun 1994. Pesannya khas dan tak mudah dilupa,”Saya mengajar sejarah agar kita bisa membuat sejarah dalam hidup yang sekali ini.”
Pelajaran sejarah menjadi sesuatu yang sangat mengasikkan, bukan karena berbicara masa lalu, tetapi menghubungkannya dengan masa kini. Anda tahu? Tahun 1994-1996 adalah tahun-tahun puncak kekuasaan Suharto. Dialah orang pertama yang saya dengar menyebut Suharto, bukan Pak Harto atau Haji Muhammad Suharto seperti yang dikatakan para penjilat itu. Dalam pelajaran di kelas, kritiknya tajam terhadap DPR dan Suharto. Sehingga konon ada anak anggota DPRD yang merasa tersinggung dengan perkataannya. Lalu anak ini (kakak kelas saya) mengadu ke bapaknya yang anggota DPRD. Setelah telepon sana-sini, Pak Priyo lalu di suspend untuk mengajar di SMA Negeri 1 Magelang sekitar tiga bulan.
Dasar suspensi itu adalah bahwa SK perpindahannya dari SMA Taruna Nusantara ke SMA Negeri 1 Magelang masih diproses oleh birokrasi yang lelet. Selama SK itu belum keluar, dirinya tidak bisa mengajar di SMA Negeri 1 Magelang. Hal ini tentu berbeda dengan guru mutasi lainnya yang bisa tetap mengajar sambil menunggu SK. Tahun-tahun itu adalah jaman “authoritarian bureaucratic” dimana ketika surat masuk, tak ada yang bisa menjamin kapan keluarnya.
Lalu, kami membuat aksi dan petisi. Beberapa kawan-kawan mengumpulkan tanda tangan untuk mendukung dan mendesak Pak Priyo diijinkan kembali mengajar sejarah. Buat kami, dia adalah guru yang harus dibela. Hampir semua siswa menandatangani petisi ini, yang tersebar dari kelas satu sampai kelas tiga. Posisi Pak Priyo tidak selalu diuntungkan dengan petisi ini. Dia berterima kasih atas dukungan murid-muridnya, waluapun tak ada alasan yuridis yang bisa membuat kepala sekolah Drs. Soekardjo bisa membuatnya kembali mengajar.
Lalu, dua bulan setelah dia menganggur di rumahnya di Pakelan, saya menemuinya. Seperti biasa, dirinya selalu ramah dan menginspirasi ketika didatangi. Kulit tubuhnya yang putih telah berubah menjadi kecoklatan. Untuk mengisi kekosongan hari, dia membantu tukang memperbaiki rumah barunya, yang luasnya tak seberapa. Selama masa tersebut dia tetap mendapatkan gaji. Tetapi yang membuat batinnya perih adalah tak bisa bertemu dengan murid-muridnya. Tak ada yang lebih menyengsarakan bagi seorang guru selain halangan untuk bertemu murid-muridnya. Tak lupa, saya meminjam Forum Keadilan yang saya baca sembunyi-sembunyi.
—000—
Saya kembali mendapat kabar beberapa tahun setelah lulus SMA Negeri 1 Magelang, lulus dari UGM dan menyelesaikan master yang pertama, kira-kira tahun 2007. Ibu saya menelepon bahwa Pak Priyo berjualan pisau dan menawarkannya ke kampung-kampung. Kata ibu saya, pisau-pisau yang dijual Pak Priyo, yang diambil dari Surabaya, selain harganya terjangkau, juga tajam dan awet.
Waktu itu saya mengingat kembali pelajaran-pelajaran pak Priyo. Tokoh-tokoh yang sering diceritakannya ketika SMA, banyak yang sudah saya temui. Kesempatan bekerja menjadi asisten di JPP UGM memberikan ruang untuk bertemu tokoh politik di tingkat lokal dan nasional. Saya sudah bertemu presiden dan membantu tim melakukan presentasi dihadapan presiden di awal tahun 2003, enam tahun setelah lulus SMA. Dan dalam setiap kesempatan itu, saya selalu teringat guru politik saya yang pertama: Priyo Waspodo.
Tak lupa, saya mengirimkan beberapa kartu pos ketika menempuh pendidikan master kedua di ANU, Canberra.
—000—
Beberapa bulan lalu saya mendengar pak Priyo mencalonkan diri menjadi Wakil Walikota Magelang untuk Pilkada serentak besok pagi. Pasangan incumbent Sigit Widyonindito pisah ranjang dengan Wakilnya Joko Prasetyo. Joko Prasetyo mendaftarkan diri menjadi calon Walikota berpasangan dengan Pak Priyo.
Joko Prasetyo dan Priyo Waspodo masuk melalui jalur independen karena gagal memperoleh dukungan PDIP dan koalisi lainnya yang memberikan dukungan ke Sigit. Tentu saja tak mudah mengalahkan kandidat PDIP di Magelang. Dalam tiga pilkada terakhir, pasangan yang menang adalah pasangan dukungan PDIP, walau walikota yang digantikan Sigit, Fahrianto, harus mendekam di bui karena korupsi buku ajar. Tak sulit diduga, Pak Priyo salah satu tokoh yang membongkar praktek korupsi tersebut.
Sulit menduga peluang kandidat independen, walaupun untuk kota kecil seperti Magelang yang terpaksa harus dimekarkan menjadi tiga kecamatan dan harus meminjam satu polsek dari Kabupaten Magelang agar Polresnya tidak dilikuidasi. Mesin partai untuk beberapa kasus bekerja lebih efektif daripada kandidat independen, dan tentu saja, semua itu digerakkan dengan kekuatan uang. Saya lahir dan besar di kampung Bogeman, kantong PDIP, dan tahu persis bagaimana pergerakan uang itu mengerakkan partai lalu selanjutnya menggerakkan kandidat. Jadi uang dari kandidat, digunakan untuk menggerakkan mesin partai, lalu kembali lagi mendukung kandidat, inilah siklus yang selalu terjadi. Atau bagaimana Fahrianto, pembuat roti rumahan di kampung saya, bisa menjadi walikota. Menurut hitungan ICW, anggaran untuk parpol hanya 0,0006% dari APBN dan hanya mampu memenuhi 0,63% kebutuhannya. Atau menurut pendapat supervisor saya Marcus Mietzner, dampak dukungan negara terhadap partai adalah “minuscule”, tak berefek. Jadi berapapun anggaran tambahan yang disediakan kandidat, akan langsung diamini parpol.
Tapi jika mereka menang, tak sedikit yang membawa perubahan, terutama karena tak perlu berhutang ke partai. Saya bertemu Muda Mahendrawan ketika menjadi moderator sebuah seminar di UGM terkait inovasi daerah. Selepas seminar, saya mengobrol panjang dengan bupati Kubu Raya ini. Banyak inovasi yang dilahirkannya di Kubu Raya. Dia menang dari jalur independen tahun 2008 tetapi kalah dalam periode ketua 2013, walau menjadi bupati pilihan Tempo tahun 2012.
Jadi, kembali ke Pak Priyo Waspodo, pemilu selalu ada yang menang dan kalah, tetapi jika ada seorang di Magelang yang memiliki integritas yang terjaga selama ini, ingatan saya selalu kembali ke guru politik saya yang pertama, Priyo Waspodo, lelaki yang selalu waspada.
Foto Guru-Guru SMA saya, tanpa mereka, kita bukan siapa-siapa.