Wafatnya KGPH Hadiwinoto dan Konsolidasi Suksesi

 

Satu lagi adik Sultan Hamengkubuwono X meninggal dunia. Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto meninggal dalam usia 72 karena penyakit jantung kemarin pagi (31 Maret 2021). Karena Kasultanan merupakan institusi yang berbasis hubungan darah, maka kematian (dan juga kelahiran) akan membawa konstelasi baru di internal kerajaan. KGPH Hadiwinoto adalah satu-satunya adik kandung laki-laki Sultan, adik tertua, adik yang memiliki pangkat tertinggi dan jabatan tertinggi sebagai “Lurah Pangeran” dan bertanggung jawab terhadap urusan paling penting di Kasultanan: Tanah.

Kepergiannya menciptakan tata hubungan baru di Kraton. Pertama, urusan tanah yang ditinggalkan hampir pasti akan digantikan oleh salah satu putri Sultan. Urusan ini terlalu strategis jika diserahkan ke adik Sultan yang lain, atau ke para ponakan Sultan yang jumlahnya puluhan itu.  

Kedua, saat ini tersisa sembilan adik tiri Sultan yang laki-laki dengan pangkat yang semuanya sama: Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH). Tiga dari adiknya tinggal di Yogyakarta yang merupakan keturunan dari Ibu Hastungkoro yaitu GBPH Prabukusumo, GBPH Yudhaningrat dan GBPH Chandraningrat. Enam lainnya tinggal di Jakarta yaitu GBPH Hadisuryo dari istri pertama HB IX Pintokopurnomo dan lima lainnya putra dari istri keempat ibu Ciptomurti. Memang Sultan HB IX lebih banyak berada di Jakarta sejak 1949 sehingga wajar banyak putranya yang tinggal di Jakarta.

Ketiga, kecil kemungkinan Sultan akan menunjuk Lurah Pangeran baru dari kesembilan adiknya dan tidak ada dari mereka yang akan naik pangkat menjadi KGPH. Sultan sudah merubah pangkat GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi, satu dari empat nama yang selama ini digunakan laki-laki sebelum menjadi Sultan.

Keempat, jika dulu hampir semua adik-adiknya sepakat bahwa calon terkuat menggantikan Sultan HB X adalah KGPH Hadiwinoto, maka sekarang ini semua adiknya yang bergelar GBPH memiliki posisi dan kedudukan yang sama menggantikan Sultan dalam perspektif paugeran yang selama ini berlaku. Kemungkinan mereka juga sama dan setara apabila GKR Mangkubumi yang dimajukan. Tentu hal ini membuat konsolidasi dari kubu adik-adik terkait suksesi menurun kekuatannya dibanding sebelumnya karena tidak ada lagi calon terkuat dari kubu adik-adik Sultan.

Kelima, KGPH Hadiwinoto adalah satu-satunya adik yang masih tersisa di dalam struktur keraton Kasultanan Yogyakarta setelah dua adik tiri diberhentikan Desember tahun lalu. Sehingga saat ini tidak ada satupun adik Sultan dan keturunan HB IX yang terlibat dalam urusan keraton. Praktis, seluruh urusan kraton dipegang Sultan, Permaisuri, Putri Keraton dan para loyalist yang tidak lagi ditunjuk berdasarkan hubungan kedekatan darah, tetapi berdasarkan loyalitas. Tanpa keterlibatan keluarga HB IX, keraton adalah murni dikontrol sepenuhnya oleh keluarga inti Hamengkubuwono X.  Penyingkiran adik-adik tiri seperti kondisi saat ini belum pernah terjadi selama Keraton Kasultanan Yogyakarta berdiri dalam 266 tahun.

Terakhir, walaupun sudah berusia sangat tua, Keraton tidak pernah sekalipun memiliki pengalaman untuk mengelola suksesi sendiri. Suksesi di Keraton selalu terjadi karena keinginan Belanda. Jika suka, putra Sultan bisa dijadikan raja, lalu dijadikan pangeran lagi, lalu raja lagi. Ketika suksesi terakhir tahun 1988, Suharto yang didatangi perwakilan keturunan dari keempat istri memberikan kata akhir terkait restu suksesi: Suharto mengijinkan Jogja punya raja baru, tapi tidak mengijinkannya menjadi Gubernur.

Kondisi Keraton Kasultanan Yogyakarta sekarang ini jauh lebih kuat daripada kondisi jaman Belanda. Keraton dan Sultan mempersatukan kekuatan politik, ekonomi, kultural dan sosial sekaligus. Justru saat inilah Keraton menghadapi ujian terberat, bisakah bertahan 260 tahun lagi?

 

Tanah Markaz Syariah

Tulisan ini ingin memberikan sedikit sumbang pikir terkait dengan klaim Muhamad Rizieq Shihab (MRS) terhadap tanah dengan sertifikat HGU PTPN VIII dari perspektif hukum dan ekonomi politik.

Pertama, apabila dilihat secara global dari perspektif internasional, seluruh batas lautan dan tanah yang ada di Republik Indonesia dikuasai oleh negara. Hal ini tercantum dalam klausul Hak Mengusai Negara (HMN) yang terdapat dalam UUPA No. 5/1960. Klausul HMN merupakan perpanjangan dari kebijakan colonial Belanda melalui Agrarische Wet 1870.

Karena dikuasai negara, pada kondisi tertentu, terutama untuk menyangkut kepentingan umum, negara berhak mengambil alih kepemilikan tanah dengan status apapun. Jadi, kepemilikan individu yang tercermin dalam hak tanah tertinggi yaitu Sertifikat Hak Milik (SHM), tetap dapat dibatalkan atas nama kepentingan umum. Contoh misalnya para pemegang SHM yang menolak pembangungan Yogyakarta International Airport tetap dapat dibatalkan hak miliknya oleh pengadilan. Di dalam sertifikat itu terdapat lambang Garuda Indonesia, yang berarti negara memberikan hak tertentu kepada seseorang/badan hukum. Artinya pula, sewaktu-waktu dapat diambil kembali oleh negara.

Kedua, oleh negara, tanah yang dikuasainya dibagikan kepada individu/badan hukum dalam berbagai bentuk hak. Individu dapat memiliki SHM yang merupakan hak terpenuh dan terkuat sementara badan hukum/lembaga dibatasi peruntukannya dengan hak tertentu. Individu yang memiliki tanah juga dibatasi kepemilikan maksimalnya sehingga tidak menghasilkan para tuan tanah. Kepemilikan individu dibatasi 5-15 hektar tergantung populasi dan karakter lingkungan sekitar. Hal ini sudah berlaku sejak 1961.

Ketiga, sisa tanah yang tidak/belum digunakan disebut sebagai tanah negara. Tanah negara dapat diberikan haknya kepada individu/badan hukum setelah melalui syarat-syarat tertentu. Salah satu syaratnya adalah mengolah tanah selama 20 tahun. Tetapi syarat ini hanya berlaku untuk tanah tanpa alas hak/tanah negara, bukan tanah yang sudah memiliki hak tanah.

Jadi misalnya anda mengolah tanah seseorang yang memiliki SHM selama 50 tahun pun, tetap saja tidak bisa mengaku sebagai pemilik tanah. Jika pemilik tanah berkenan, anda bisa mengajukan hak pakai di atas tanah hak milik tersebut. Contohnya, Hak Pakai di atas Tanah Milik Kasultanan Yogyakarta. Sertifikat Hak Pakai biasanya memiliki batasan waktu tertentu dan dapat diperpanjang sesuai kesepakatan.

Pada kasus lain, tidak mudah mendapatkan hak walaupun sudah menguasai, tidak hanya 20 tahun, bahkan ratusan tahun. Contohnya ada pada komunitas adat.

Keempat, untuk tanah-tanah yang luas, di atas 25 hektar, negara memberikan Hak Guna Usaha (HGU) bagi badan hukum untuk mengelolanya dengan batas waktu maksimal 25 tahun dan dapat diperpanjang kembali. Kenapa HGU? Karena ada pembatasan kepemilikan dalam bentuk SHM. Coba anda bayangkan apabila Prabowo Subianto yang memiliki HGU 220.000 hektar di Kalimantan Timur sebagai Hak Milik, maka akan terjadi negara dalam negara karena memiliki tanah yang luasnya tiga kali Singapura yang hanya 72.800 hektar.

Kelima, untuk menjamin rasa keadilan, negara harus memastikan tanah yang bisa ribuan hektar itu, dimanfaatkan dengan baik untuk kepentingan negara dan masyarakat. Apabila tanah dibiarkan terlantar, sertifikat HGU badan hukum tersebut dapat dibatalkan dan diambil alih kembali menjadi milik negara. Sekali lagi, haknya kembali ke Negara.

Bagaimana menyikapi klaim MRS terkait tanah Markaz Syariah di Megamendung?

Melalui video di Youtube yang banyak tersebar di media, MRS mengatakan beberapa hal berikut. Tanah yang sekarang digunakan sebagai Markaz Syariah adalah tanah dengan sertifikat HGU PTPN VIII. MRS kemudian ‘membeli’ tanah tersebut dari petani penggarap. Sebelum digarap petani, tanah tersebut ‘ditelantarkan’ PTPN VIII. Para petani sudah menggarap lahan tersebut lebih dari 30 tahun. Proses ‘jual beli’ dilakukan dengan berbagai saksi dan prosedur. MRS berharap dengan proses tersebut, proses sertifikasi tanah menjadi milik Markaz Syariah bisa dilakukan atas dasar sudah ditelantarkan PTPN VIII.

Berikut beberapa catatan saya:

Pertama, tanah tersebut, seperti diakui oleh MRS adalah tanah dengan sertifikat HGU yang diberikan negara kepada PTPN VIII. PTPN VIII adalah pemegang sah hak guna tanah tersebut.

Kedua, definisi ‘ditelantarkan’ dan kemudian digarap oleh petani selama 30 tahun harus dibuktikan di pengadilan. Pada banyak kasus, tanah yang digarap penduduk sekitar tidak dianggap sebagai ‘ditelantarkan’. Tanah yang ditelantarkan adalah tanah yang dibiarkan setelah diambil kayu atau sumber daya di dalam tanah. Sementara, tanah yang digarap masyarakat bentuknya bisa sebagai mitra perusahaan pemegang HGU. Di Sumatera dan Kalimantan, masyarakat mengolah lahan sawit milik perusahaan pemegang HGU sebagai bagian dari plasma karena tidak dapat diolah sendiri  pemegang hak dan mendukung kemajuan ekonomi masyarakat.

Ketiga, apabila toh terbukti PTPN VIII menelantarkan tanah, yang berwenang mengambil alih

Hak Guna Usaha adalah Negara, bukan individu. Tanah tersebut harus dikembalikan lagi ke negara untuk kemudian dikelola lagi oleh negara.

Keempat, lalu MRS membeli apa dari petani? Yang dibeli adalah hak pengelolaannya. Namun demikian, patut ditelusuri lagi jual-beli hak pengelolaan tersebut. Pertanyaan pentingnya adalah: Apakah PTPN VIII sebagai pemegang HGU tanah tersebut dilibatkan dalam alih pengelolaannya?

Dugaan saya, ‘jual-beli’ antara MRS dengan petani tidak melibatkan PTPN VIII selaku pemegang hak HGU. Tanpa melibatkan pemegang hak, maka kesepakatan antara sesama pengelola tanah tidak ada pengaruhnya terhadap status hukum dan hak tanah. Jadi tidak ada manfaatnya melibatkan aparat mulai Kepala Desa sampai Presiden sekalipun, kalau tidak melibatkan pemegang hak tanah tersebut. Fungsi mereka hanya sebagai saksi perpindahan pengelolaan, tidak memiliki implikasi apapun terhadap status tanah. Jadi pendeknya, yang terjadi bukan ‘jual-beli hak’ tetapi ‘perpindahan pengelolaan’ dari petani ke MRS.

Kelima, karena dilakukan tanpa melibatkan PTPN VIII selaku pemegang HGU, maka PTPN VIII dapat membatalkan pengelolaan yang dilakukan MRS. Selama ini, PTPN VIII ‘diam saja’ tanahnya dikelola sebagai kebun olah masyarakat karena masih sesuai dengan peruntukannya. Apabila saat ini tanah tersebut digunakan sebagai pesantren, terserah pemegang hak untuk tidak setuju dengan pengelola baru yaitu MRS.

Keenam,: Prosedur pengajuan hak atas tanah tersebut adalah: tanah diambil alih negara karens PTPN VIII ‘menelantarkan’, lalu MRS mengajukan hak milik dari tanah negara tersebut. Persoalannya, MRS bukan sebagai pengelola tanah selama 30 tahun sehingga tidak bisa mengajukan hak milik tanah dari tanah negara yang diambil dari HGU PTPN VIII. Pengajuan hak milik dari tanah negara melekat kepada individu yang mengolah selama 20 tahun. Jika mau, MRS harus menunggu dulu selama 20 tahun setelah HGU diambil alih negara.

Dari proses yang terjadi, muncul pertanyaan saya mengapa MRS tidak membeli saja dari individu-individu yang memiliki Hak Milik atas tanah yang legal dan dijamin undang undang? Mengapa malah beresiko mengambil hak pengelolaan di atas tanah yang sudah jelas alas haknya dimiliki PTPN VIII?

Entahlah..

https://20.detik.com/detikflash/20201224-201224029/penjelasan-habib-rizieq-terkait-kasus-tanah-ponpes-markaz-syariah 

KLARIFIKSI BERITA terkait Menkopolhukam Mahfud MD dan M. Rizieq Shihab

 
Dalam beberapa media-media, ada framing yang tidak sesuai dengan apa yang saya sampaikan di acara Refleksi Akhir Tahun di Dept. Politik Pemerintahan pada 18 Desember 2020. Gatra.com menampilkan judul “Dosen UGM: Polisi Harusnya Periksa Mahfud MD Sebelum Rizieq.” Pikiran Rakyat menampilkan judul, “Dosen UGM Sebut Mahfud MD Lebih Layak diperiksa Terlebih Dahulu.” Demokrasi.co.id menampilkan judul, “Dosen UGM: Polisi Harusnya Periksa Mahfud MD Sebelum Rizieq.” MBS News menampilkan judul “Dosen UGM: Sebelum Rizieq Shihab, Polisi harusnya periksa Mahfud MD lebih dulu.”
 
Berikut ini beberapa klarifikasi saya:
 
Pertama, saya tidak pernah menyampaikan bahwa Menkopolhukam Mahfud MD harus diperiksa terlebih dahulu sebelum Muhammad Rizieq Shihab. Saya bahkan tidak menyebut sama sekali tentang pemeriksaan Rizieq Shihab. Kata “Rizieq” hanya saya ucapkan dua kali terkait dengan “penjemputan Rizieq”, dan sama sekali tidak berkaitan dengan pemeriksaannya.
 
Apa yang dipelintir dari pernyataan saya tersebut?
 
Menurut saya memang ada kecenderungan pelanggaran protokol kesehatan diubah menjadi motif politik yang dibuktikan dengan pemanggilan Gubernur DKI dan Gubernur Jabar. Ini berbahaya ketika kita bersama-sama berusaha untuk menangani pandemi. Jika ingin adil terkait penengakan protokol dengan melibatkan kepolisian dan bukan dengan koordinasi antar pemerintahan pusat-daerah, Menkopolhukam seharusnya diperiksa sebelum Gubernur DKI dan Gubernur Jabar. Jadi bukan sebelum Rizieq, tetapi sebelum Anies Baswedan dan Ridwan Kamil. Hal ini saya sampaikan dalam rangka melihat disharmoni hubungan pusat-daerah.
 
Sekali lagi, pernyataan saya terkait Menkopolhukam sama sekali tidak berhubungan dengan pemeriksaan Rizieq Shihab.
 
Kedua, pernyataan bahwa kalimat “Indonesia bukan yang terbaik, tapi juga bukan yang terburuk. Kapasitas kita setara Negara-negara terbelakang di Afrika” tidak berdiri sendiri. Kapasitas negara tersebut diukur dari kapasitas tes per sejuta populasi dimana pada 31 Agustus 2020 Indonesia hanya mampu melakukan 8.118/sejuta populasi dan pada 18 Desember 2020 meningkat menjadi 24.038/sejuta populasi (menurut wolrdometers.info). Angka ini memang setara dengan negara-negara seperti Zambia, Ethiopia dan Zimbabwe dan kritik tentang hal ini sudah banyak disampaikan sejak awal pandemi.
 
Penulisan berita sekolah-olah terkesan ada evaluasi terhadap semua negara di dunia, padahal karakter tiap negara sangat berbeda. Pada pilihan kebijakan Rem dan Gas yang dilakukan Pemerintah, terlihat capaian ekonomi Indonesia yang cukup baik di Asia Pasific yang saya sampaikan sebelumnya, tidak dimasukkan dalam kutipan berita. Padahal keduanya adalah bagian integral.
 
Silakan anda dengarkan kembali pernyataan saya tersebut disini:
 
Bahan Presentasi dapat anda download disini:
 
https://simpan.ugm.ac.id/s/agtbOUWuSf6EYWx 

Rumitnya Seleksi SMA Kita

Selama beberapa hari ini saya mempelajari proses seleksi SMA di Yogyakarta yang otoritasnya berada di Provinsi. Saya membaca aturan-aturan hukum, mulai keputusan menteri sampai petunjuk teknis Kadinas Dikpora DIY. Tetapi tetap saja ada beberapa ketidakjelasan yang bisa ditutupi dengan penjelasan sederhana berikut.

  1. Seleksi untuk SMA dibagi menjadi tiga jalur: Reguler, Olahraga dan Seni. Ada beberapa sekolah yang dikhususkan untuk menampung bakat Olahraga dan Seni. Semuanya dilaksanakan secara online. Saya hanya ingin membahas yang Reguler. Masing-masing jalur masih bersinggungan dengan penduduk DIY dan luar DIY.
  2. Seleksi Reguler terdiri dari lima jalur yang harus dipilih salah satu:Zonasi (minimal 55%), Afirmasi (maksimal 20%), Perpindahan Orangtua (maksimal 5%), Prestasi (maksimal 20%). Di dalamnya bersinggungan dengan kuota disabilitas dan status anak guru. Anak guru diprioritaskan dan bisa mendaftar di dua jalur sekaligus perpindahan orang tua dan zonasi.
  3. Pendaftaran Reguler berlangsung selama 3 hari: 29 Juni-1 Juli 2020. Pendaftaran untuk tiga jalur lainnya dibuka lebih dahulu. Pada tiga hari tersebut, seleksi berlangsung secara realtime (langsung).
  4. Peserta memilih tiga sekolah, tetapi system akan memasukkan enam pilihan sekolah sesuai Zonasi. Setiap calon siswa berdasar kelurahan memiliki empat pilihan Zona 1 dan dua pilihan Zona 2.
  5. Selama seleksi berlangsung, system otomatis akan menyeleksi berdasarkan kriteria seleksi setiap jalur. Masing-masing pendaftar dapat berpindah jalur dan pilihan sekolah selama tiga hari tersebut. Misalnya, apabila kalah di jalur prestasi, harus segera berpindah ke jalur Zonasi. Untuk jalur afirmasi dan perpindahan orang tua kuotanya dibuat tetap dan apabila tidak terpenuhi, akan diambilkan dari jalur Zonasi.
  6. Seleksi Reguler (Zonasi) menggunakan kriteria Zonasi-Nilai-Pilihan-Waktu mendaftar. Artinya, kuota Zonasi akan diprioritaskan terlebih dahulu. Jadi, walaupun nilainya lebih tinggi tetapi memilih sekolah di Zona 2, akan kalah dengan pendaftar yang nilainya lebih rendah tetapi memilih sekolah di Zona 1.
  7. Seluruh seleksi transparan dan dapat dilihat tanpa login.
  8. Selain bisa dilihat dari nilai, sekolah-sekolah favorit akan penuh dengan siswa “Pilihan 1” sementara sekolah non favorit akan menjadi pilihan kesekian.
  9. Dengan sistem ini, walaupun basisnya Zonasi, sekolah favorit tetap akan menjadi favorit. Pemerataan sekolah dan penghapusan sekolah favorit tidak terjadi karena:
    1. Terdapat enam sekolah pilihan dalam Zonasi calon siswa.
    2. Nilai masih digunakan sebagai mekanisme seleksi.
    3. Beberapa siswa dengan nilai tinggi yang tidak menggunakan jalur prestasi memang akan sedikit tersebar di sekolah terbaik di zonanya, tetapi mereka yang paling baik nilainya, akan berkumpul di beberapa sekolah favorit di DIY.

Normal Baru

Kedaulatan Rakyat,  1 Juni 2020

Kemarin saya mengantarkan anak saya ke praktek bersama dokter gigi. Begitu sampai, Satpam meminta saya untuk melepaskan sepatu dan menggantinya dengan sandal yang dikemas di dalam kantong plastik. Setelah itu, tangan kami bersihkan dengan hand sanitizer dan baru diijinkan masuk. Di pintu, tertulis pengumuman hanya yang bermasker yang boleh masuk.

Di dalam ruang tunggu, seluruh staf, mulai dari admin, perawat dan dokter gigi mengenakan masker, pelindung wajah dan baju model hazmat yang terbuat dari kain spandbond yang mirip digunakan di kantong belanja. Beberapa kursi tunggu dijaga jaraknya dan pasien tidak boleh ditunggui di dalam. Seluruh alat di ruang periksa dibersihkan untuk pasien selanjutnya. Untuk semua layanan tambahan itu, mereka meminta saya menambah 50 ribu rupiah.

Inilah barangkali apa yang sering disebut belakangan ini sebagai new normal, normal baru atau tata kehidupan baru. Virus Corona belum ditemukan vaksinnya, sementara kehidupan tetap harus berjalan. Ekonomi tetap harus berputar dan manusia mencoba beradaptasi menghadapinya. Pertanyaannya adalah kapan, tahapan dan bagaimana normal baru itu berlangsung.

Pertama, terkait persoalan waktu. Beberapa negara yang memulai normal baru betul-betul memastikan bahwa kurva epidemiologis sudah menunjukkan tren menurun setelah lembah dan puncak. Pembatasan sosial dan lockdown dimaknai sebagai upaya menunda dan menghambat persebaran virus tetapi tidak betul-betul menghilangkannya. Sehingga, ketika lalu lintas manusia dibatasi hanya di negara tersebut, perilaku manusia yang tinggal di dalamnya bisa diarahkan untuk tidak tertular dan menularkan virus. Continue reading “Normal Baru”

Kebijakan Corona

Kedaulatan Rakyat, 17 Maret 2020

Di tengah wabah Corona, kebijakan apapun akan ada kekurangan dan kelebihannya. Dalam studi kebijakan publik, fenomena baru yang terjadi dengan cepat dan membutuhkan respon pemerintah yang cepat seringkali tidak cukup efektif menyelesaikan masalah. Tulisan ini akan memberikan peta pilihan kebijakan masing-masing pemangku kebijakan berikut plus-minusnya.

Sebagai negara dengan sistem politik yang terdesentralisasi, tidak ada kebijakan negara lain yang mudah begitu saja kita tiru. Memang dalam kajian kebijakan publik ada yang disebut lesson drawing yang mengambil pelajaran dari negara lain, tetapi konteks yang berbeda membuat kebijakan yang saat ini dipilih negara lain tidak mudah kita tiru.

Setidaknya di dunia yang terjangkit Covid-19 atau Corona memilih dua pilihan kebijakan. Pertama, China menutup Kota Wuhan dan Provinsi Hubei dan beberapa area lainnya untuk menangggulangi virus. Penduduk dilarang bepergian sama sekali atau hanya untuk kepentingan yang betul-betul penting yang dikenal dengan lockdown. Kebijakan ini efektif menanggulangi virus. Walaupun belum ada obatnya, antibody manusia membuat jumlah yang terinfeksi menurun drastis. Disaat kita memindah sekolah menjadi online, Pemerintah Hubei membuka kembali sekolah yang ditutup sejak Januari.

Kebijakan lockdown, dengan beberapa variasinya ditiru di Italia dan Spanyol yang tingkat penularannya juga eksponensial (meningkat tajam). Warga di Italia dilarang keluar rumah kecuali ke supermarket atau ke apotik. Semua restoran tutup dan interaksi warga dipersulit untuk meminimalisir penularan.

Kebijakan partial lockdown ini membawa konsekuensi ekonomi yang luar biasa besar. Di Hubei saja, 50 juta orang mengalami isolasi dan pabrik-pabrik elektronik tutup memberi dampak ke seluruh dunia. Bahkan, citra satelit menunjukkan polusi udara yang biasa menyelimuti China, berkurang signifikan.

Kebijakan kedua dengan memberikan kebebasan bergerak bagi masyarakat seperti diterapkan di Singapura dan Korea Selatan. Pemerintah menyarankan pergerakan dibatasi atau social distancing tetapi tidak ada larangan bepergian. Kebijakan ini telah membuat pengidap Covid-19 di dua negara tersebut terkendali. Dampak ekonomi tetap ada tetapi tidak separah lockdown. Tetapi karena dianggap kurang efektif, mulai hari ini, Singapura mewajibkan karantina mandiri 14 hari bagi yang baru pulang dari luar negeri. Sebagai negara transit, Singapura dihadapkan pada banyak pilihan sulit.

Indonesia menghadapi beberapa pilihan yang tidak mudah karena kondisi yang ada. Fasilitas kesehatan kita tidak semaju Singapura dan Korsel, tetapi juga tidak seotoriter China dengan penduduk yang tidak setaat dan sepercaya Jepang pada pemerintahannya. Continue reading “Kebijakan Corona”

Raja Para Milenial

Setiap raja akan menghadapi tantangan jamannya sendiri. Tetapi, Sultan Hamengku Buwono X yang dalam hitungan kalender Jawa genap bertahta selama 31 tahun pada 7 Maret 2020, mungkin salah satu Raja Yogyakarta yang paling lengkap tantangannya.

Memulai menjadi raja di rezim Orde Baru, pilihan negoisasi politik Sultan adalah dengan menekankan fungsi keraton sebagai pusat budaya. Penantang politik di era itu sangat besar resikonya. Toh demikian, selama sepuluh tahun menjadi Sultan, Suharto tak pernah memberi peluang Sultan menjadi Gubernur DIY, hingga Suharto lengser tahun 1998.

Setelah Suharto jatuh, gerakan reformasi di Yogyakarta tidak berhenti dan terus menyuarakan keinginan untuk menjadikan Sultan sebagai Gubernur DIY. Massa di DPRD DIY berganti dari mahasiswa menjadi elemen rakyat Yogyakarta. Di tengahg gejolak politik tersebut, Sri Paduka Paku Alam VIII yang menjadi de-fakto gubernur sejak 1949, mangkat, meninggalkan Yogyakarta tanpa pemimpin. Sultan menjadi Gubernur DIY pada Oktober 1998 di tengah gejolak disintegrasi yang melanda Indonesia.

Langkah Ngarso Dalem di dunia politik tidak berhenti. Kebudayaan dijadikan salah satu pertimbangan pengajuan aturan jangka panjang bagi DIY. Di ditengah proses negoisasi itu, beberapa peristiwa penting sempat terjadi: Sultan sumpat menolak menjadi Gubernur DIY berikutnya di 2007, perpanjangan jabatan gubernur di 2008 dan 2011.  Gerakan rakyat mendorong Sultan menjadi Presiden pada 2009 yang gagal dan suksesnya UUK terutama menyangkut pengembalian tanah SG/PAG di tahun 2012.

Continue reading “Raja Para Milenial”

Keraton Lama, Baru dan Abal-Abal

Dimuat di DETIK, 4 Februari 2020.

Sejak kasus Kraton Agung Sejagat viral, muncul keraton-keraton lainnya. Netizen cerdik mencari konten Youtube Sunda Empire di Bandung, Keraton Djipang di Blora dan Selaco di Tasikmalaya. Bagaimana melihat fenomena ini?

Sejak demokratisasi dan desentralisasi, muncul puluhan bahkan ratusan keraton-keraton baru di seluruh Indonesia. Diantara mereka ada yang memperkuat eksistensi, memiliki jejak masa lalu atau sekedar keraton abal-abal. Ada dua indikator utama untuk melihat hal ini.

Pertama, secara geografis Indonesia adalah negara kepulauan. Oleh karena itu, kerajaan-kerajaan di Indonesia umumnya bercirikan dua hal: Pertama, terfragmentasi hanya menjadi kerajaan kecil-kecil karena terbatas geografis lautan. Kerajaan di Indonesia mauyoritas hanya berada pada lingkup kecamatan atau kabupaten. Bahkan di Maluku atau Tapanuli, kepala desa juga disebut raja. Kerajaan yang luas wilayahnya misalnya Mataram, juga terfragmentasi menjadi empat kerajaan di Solo dan Yogyakarta.

Kedua, memiliki tingkat institusionalisasi yang rendah. Alur dan struktur organisasinya tidak terpola dan tersistem. Sehingga Belanda menerapkan Korte Veklaring (kontrak pendek) untuk keraton-keraton di tingkat kabupaten/kecamatan. Untuk yang besar, seperti Deli dan Surakarta, diterapkan kontrak panjang.

Akibatnya, di Indonesia tidak muncul monarki tunggal seperti di Rusia, China, Jepang atau Thailand, tetapi muncul para bangsawan yang sering berkonflik dengan cakupan wilayah yang rendah yang disebut aristokrasi. Majapahit yang diklaim menguasai nusantara misalnya, terus menjadi perdebatan para sejarawan karena sulit menemukan jejak Hindu-Budha di Ternate, Nusa Tenggara atau Papua.

Sehingga, klaim sebagai pusat dunia, atau empire jelas abal-abal.

Kedua, dari sisi waktu, cukuplah kita tarik ke belakang sejak Indonesia merdeka tahun 1945. Penjelasan UUD 1945 menyebutkan lebih dari 250 Zelfbestureende Landschappen  atau wilayah yang mengatur rumah tangganya sendiri. Cribb dan Brown (1995) menulis 278 kerajaan di tahun 1945. Jumlahnya menyusut drastis menjadi 154 di awal tahun 1950an (Ranawijaya, 1955).

Continue reading “Keraton Lama, Baru dan Abal-Abal”

Mar Kempong dan Kuas Gambarnya

Saya punya teman waktu kecil di Bogeman, namanya Maryanto alias Mar Kempong. Tak jelas mengapa dia dipanggil begitu. Konon dia terlambat melepas kempongnya ketika anak-anak yang lain sudah tak lagi tergantung kempongan. Kebiasaan di kampung saya memang begitu, nama dirubah seenaknya sesuai dengan yang paling tampak. Ada Nyah Jambu karena punya pohon jambu, ada Bah Becak karena juragan becak dls. Makanya, tak ada warga kampung yang memelihara monyet aka kethek.

Umurnya selisih empat tahun dari saya, tetapi karena sering tak naik kelas ketika SD, kami dalam kelas yang sama. Mar Kempong adalah anak yang paling sering tidak naik kelas dibanding semua anak di kampung kami. Dia tak sanggup berhitung dan membaca. Tentu saja tak jarang menjadi sasaran olok-olokan. Setiap bulan Juni, adalah waktu yang paling menegangkan untuk Mar Kempong.

Mar Kempong adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Ibunya berjualan gorengan dan ayahnya bekerja serabutan. Kakak-kakaknya juga tak pandai di sekolah, tetapi dibanding Mar Kempong, saudara-saudaranya jauh lebih baik. Mereka tinggal di rumah sangat sempit berlantai tanah. Setelah saya lulus SD mereka pindah karena rumahnya akan dipakai pemilik tanahnya.

Suatu hari, Mar Kempong menggambar di buku kotak-kotak saya yang bisanya digunakan untuk mengerjakan matematika. Luar biasa. Gambar laba-labanya bagus sekali. Saya lalu memintanya menggambar apa saja: kucing, kelereng, gatot kaca, sandal jepit. Saya selalu kagum terhadap gambarnya. Saya, yang tak berbakat sama sekali menggambar, selalu kagum dengan orang yang pandai menggambar. Gambar saya tak lebih dari dua gunung, matahari, satu jalan ditengah dan sebuah rumah. Kadang saya gambar dua ekor burung di tengah awan, yang saya contoh dari gambar pak Guru di papan tulis. Mar Kempong juga jago main kelereng, mengejar layangan. gobak sodor, sundah mandah atau bermain tomprang (kartu). Pokoknya dia jago bermain apa saja selain menghitung dan membaca. Jadi kemampuannya inilah yang membuatnya tidak terlalu diganggu walaupun sering tak naik kelas.

Kakak sulung Mar Kempong, Supri yang menjadi tukang becak di usia akhir 20an ternyata jago basket. Itu baru diketahui setelah umurnya tak lagi remaja. Kemampuannya diketahui setelah beberapa kali menemani dan mengantarkan pelanggannya ke tempat basket. Dia lalu memperkuat grup basket, yang sekali lagi tingkat kampung sampai kemudian terpaksa harus lebih sering menunggu di becaknya yang karatan di beberapa tempat.

Mar Kempong sekarang bekerja menjadi tukang gambar alias desainer di pabrik plastik di kampung tetangga. Nasibnya lebih baik daripada Supri yang menjadi tukang becak atau Maryadi, kakak lainnya yang mengangkut sampah di kampung kami. Paling tidak, Mar Kempong tidak perlu berpeluh dan bersahabat dengan bau sampah. Pada lebaran beberapa tahun lalu, dia tampak sumringah mengenakan baju baru.

Namun demikian, cerita Mar Kempong, memberikan gambaran tentang buruknya sistem pendidikan kita dan betapa parahnya kita sebagai orang tua.

Kemarin saya menghadiri annual speech di SD anak saya yang kedua, di Ainslie School Canberra. Salah satu acara adalah pemberian Awards dan disinilah letak kecemburuan saya terhadap sistem pendidikan di Australia. Di acara itu, beberapa piala dibagikan: Catur, Arts and Creativity, Matematika, Sains, Kepemimpinan, Sosial, Persistence dan Olahraga. Tentu saja, ada jauh lebih banyak anak yang tidak mendapatkan apapun. Tetapi anak dihargai di berbagai bidang yang disukainya. Dua hari berikutnya, saya hadir di awards ceremony di SMP anak saya yang pertama dengan pesan kepala sekolahnya,” find your potentials and work hard to be the best on it.”

Sebaliknya, salah satu ciri paling penting dari cara pandang kita yang salah terhadap anak adalah kita selalu melihat anak dalam kapasitas yang tidak dia kuasai, ketimbang bakat yang dia miliki. Kita melihatnya dalam kapasitas What he/she cannot do daripada What he/she is capable of. Karena selalu melihat kekurangan, kita dipaksa oleh sistem pendidikan dan gengsi lingkungan untuk meningkatkan apa yang anak kita tidak bisa dan bukan sebaliknya, meningkatkan kemampuan/bakat yang dimilikinya. Pendeknya kita lebih sering melihat kekurangan daripada kelebihan. Karena sibuk berupaya untuk memperbaiki kekurangan, hasilnya bakat dan kemampuan anak menjadi kurang berkembang. Lebih buruk lagi, anak sekedar dihargai dalam persoalan Matematika, Bahasa Inggris dan Sains.

Itulah yang terjadi pada Mar Kempong dan Supri. Guru-guru di SD Mar Kempong yang hampir ambruk, atau orang tuanya yang banting tulang mencari utangan untuk makan keenam anaknya, tak pernah menyadari kemampuan luar biasa Mar Kempong. Continue reading “Mar Kempong dan Kuas Gambarnya”

Agar Dokter tak Dipenjara

1

Indonesia kekurangan dokter ini merana ketika dokter-dokter memutuskan untuk turun ke jalan. Mogok dokter yang dipicu eksekusi terhadap dua dokter yang diputus bersalah oleh MA sejak 2012 lalu, mengundang protes. Dukungan Kementrian Kesehatan terhadap mogok dokter juga absurd, di satu sisi mendukung mogok dokter, di sisi lain berharap pelayanan tak berkurang, dua hal yang tak mungkin terjadi bersamaan.

Mogok dokter menimbulkan ancaman serius terhadap sistem kesehatan di Indonesia. Padahal, jumlah dokter kita masih jauh dari angka ideal. Data dari Health Professional Education Quality (HPEQ) Project, Dirjen Dikti Kemendiknas (2010) menunjukkan adanya kekurangan dokter yang signifikan untuk mencapai Indonesia Sehat 2025. Pada tahun 2010, rasio dokter umum dan penduduk baru 30,39 dokter per 100.000 penduduk. Jauh dari angka ideal 40 dokter umum per 100.000 penduduk atau 1 dokter untuk 2500 penduduk dan baru mencukupi 77,43% dari kebutuhan ideal. Di Jawa Barat, rasio dokter bahkan hanya 4,3 dokter per 100.000 penduduk, terendah di seluruh Indonesia.

Selain jumlah, sebaran dokter juga menjadi persoalan. Dokter-dokter mengumpul di Jawa, Bali, Sumatra Utara dan Sulawesi Selatan. Di luar daerah itu tidak sulit ditemukan dokter yang nyaris tanpa istirahat bekerja untuk kepentingan masyarakat. Sehingga, ketika dokter-dokter yang mengabdi tersebut dipenjara, wajar jika reaksi keras muncul. Apalagi, dokter merupakan profesi yang memiliki organisasi profesi paling kuat di Indonesia di bawah IDI, KKI dan AIPKI, dan organisasi di bawah keahlian spesialis.

Ancaman terhadap system kesehatan nasional ditambah dengan sedikitnya “pasokan” dokter yang dihasilkan perguruan tinggi. Hanya sekitar 6.000 dokter baru yang dihasilkan tiap tahun dari 45 institusi pendidikan dari 71 insitusi pendidikan yang melahirkan dokter umum. Sebanyak 26 institusi pendidikan sedang dalam proses menciptakan dokter baru. Continue reading “Agar Dokter tak Dipenjara”

Elang Riswandha

Pak-RisTahun ini, tujuh tahun yang lalu 4 Agustus 2006, seorang guru saya Riswandha Imawan dipanggil Allah. Waktu itu hari Jumat, mobil berjalan tergesa ke Panti Rini, tempat Pak Ris dirawat setelah pingsan di Bandara Adisucipto. Ketika sampai di Maguwoharjo, SMS duka datang dari kolega yang terlebih dulu sampai.

Dua hari sebelumnya, Rabu sore, Pak Ris yang sangat baik terhadap kami, asisten di Jurusan Ilmu Pemerintahan, mentraktir Mie Pasar Baru bagi semua asisten yang ada di kantor sore itu. Waktu itu, Mie Pasar Baru memang baru dibuka di Yogyakarta. Pak Ris tidak ikut makan mie. Hanya membayar dan pergi. Sambil menunggu pesanan di teras kantor, Pak Ris sempat mengeluhkan sakit pegal di dada sebelah kiri. Saya tak tahu, hanya menyarankan

“Mungkin hanya perlu istirahat dan dipijat Pak Ris.”

Tentu saja, saran yang percuma karena beliau banyak aktifitas.

Dalam empat tahun sebelum meninggal, saya cukup dekat dengan sosok Pak Ris. Saya adalah asistennya asisten untuk proyek penyiapan paket UU Politik yang menjadi kepakarannya. Pernah suatu ketika, karena tak percaya diri melamar sekolah ke luar negeri, saya curhat ke Pak Ris saat sarapan pagi di sebuah hotel di Jakarta. Pak Ris yang selalu memotivasi murid-muridnya itu malah menunjukkan bagaimana dia lebih parah bahasa Inggrisnya ketika sekolah Master di NIU. Mungkin itu cuma caranya memotivasi saya, tapi paling tidak itu berguna. Continue reading “Elang Riswandha”

Penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal

Sudah lama sebenarnya saya ingin menulis tentang penentuan permulaan puasa dan lebaran, walaupun baru kesampaian sekarang di 1 Ramadhan 2013, lebih baik daripada tidak sama sekali. Tadi malam, sidang isbat memutuskan Ramadhan jatuh besok hari Rabu, 10 Juli 2013. Muhammadiyah menentukan Ramadhan adalah hari ini Selasa 9 Juli 2013. Perbedaan ini sepertinya akan terus berlangsung karena dasar yang dipakai berbeda. Walaupun sepertinya merupakan fenomena yang terus berulang, penentuan waktu itu sangat penting.

Seluruh peradaban besar di dunia sadar bahwa waktu merupakan sesuatu yang sangat vital. Daniel J Boorstin dalam dua volume bukunya yang saya beli di toko loak di Montreal menjelaskan bahwa waktu adalah temuan paling penting dalam sejarah umat manusia. Waktu mengatur seluruh elemen kehidupan manusia dan ritual yang dilakukannya. Semuanya berdasarkan hitungan dan waktu-waktu tertentu. Bahasan tentang agama dan peradaban yang ditentukan oleh waktu bisa dilihat disini.

Nah bagaimana dengan penentuan awal Ramadhan dan Syawal? Pertanyaan ini penting terjawab ketika memulai puasa di negara bukan Islam dan sekuler dimana “ulil amri” memisahkan hubungan antara agama dan pemerintahan. Saya mengikuti perhitungan kalender dengan dua alasan:

Pertama, perhitungan kalender tidak pernah salah dan selalu tepat memprediksi berbagai fenomena langit. Kecanggihan ilmu astronomi sejauh ini belum pernah membuat saya kecewa. Ilmu Astronomi selalu akurat mempredikti kapan gerhana akan datang, kapan matahari tepat berada di atas Ka’bah , kapan supermoon terjadi dan lain sebagainya. Bahkan ilmu astronomi dengan tepat memprediksi kapan Komet Helley yang hanya terlihat di bumi tiap 75-76 tahun sekali. Komet Helley bahkan sudah ditemukan 300 tahun lalu. Jika ilmu astronomi tak pernah salah memperkirakan peredaran benda langit yang jauh, mengapa kalender bisa salah menentukan revolusi bulan yang kasat mata dan merupakan benda langit yang paling mudah diamati dan bahkan sudah pernah diinjak manusia 30 tahun lalu? Umat manusia sekarang memiliki teropong Hubble yang bahkan bisa melihat  sampai juta tahun cahaya. Dengan jarak bulan yang paling dekat dengan bumi, permukaan bulan sangat mudah dilihat. Continue reading “Penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal”

Hidup Tergantung Skripsi

 

1661376_20130211071938Tulisan ini ditujukan untuk sebagian kecil mahasiswa yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengerjakan skripsi atau tugas akhir. Karena tidak dikerjakan, bertahun-tahun itu menjadi tahun-tahun yang kurang berharga. Tulisan ini tidak ditujukan untuk mahasiswa yang baru saja mengerjakan skripsi dan terus mengerjakannya. Tetapi jika anda yang sedang bersemangat ingin mengambil hikmah ya silakan saja.

Sebenarnya pengalaman saya menyelesaikan skripsi juga tidak mudah. Saya lulus dalam lima tahun tiga bulan tetapi menghabiskan dua tahun lebih untuk skripsi. Tepatnya, beberapa bulan penelitian lapangan dan hampir dua tahun tidak menulis skripsi atau dua tahun seolah-olah mengerjakan skripsi. Sampai akhirnya dengan dukungan istri saya, saya bisa menyelesaikannya dalam waktu sekitar enam minggu. Tiga-empat minggu betul-betul menulis skripsi dari materi yang berserakan dan sekitar dua-tiga minggu untuk editing.

Menulis skripsi waktu itu seperti pertarungan tidak hanya intelektual, tetapi lebih kepada psikologis. Terlalu banyak gangguan di luar sana yang membuat skripsi tidak dikerjakan. Sayangnya daya dukung untuk membantu mahasiswa yang bermasalah di skripsi masih harus ditingkatkan, baik dari Universitas, Fakultas maupun Jurusan. Umumnya mahasiswa angkatan “dua ribu tua” akan merasa ketakutan untuk datang ke kampus. Semakin lama, ketakutan ini semakin besar. Jangankan untuk mengirim email ke dosen pembimbing, melihat gedung kampus saja ketakutan. Kalau sudah sampai pada tahap ini, sebaiknya pikirkan lagi niatan anda untuk lulus S1 daripada menghabiskan waktu bertahun-tahun “seolah” mengerjakan skripsi.

Saya punya beberapa kisah untuk diceritakan, semoga yang bersangkutan tidak tersinggung. Saya punya teman yang luar biasa cerdas. Istilahnya dia memiliki apa yang disebut sebagai photographic memory, kalau belajar gampang tahu dan sulit lupa, sebut saja namanya Mr. Cerdas. Matanya berbinar-binar saat berbicara, mirip dengan Prof. Amien Rais. Saking cerdasnya mas Cerdas ini, waktu SMP dan SMA di sekolah terbaik di Magelang, dia selalu berdiri di depan saat upacara kenaikan kelas karena nilainya selalu masuk di sepuluh besar pararel dari ratusan siswa dari lima kelas di SMP dan tujuh kelas di SMA. Mas Cerdas ini kira-kira adalah idaman ibu-ibu muda yang selalu menjadi konsumsi iklan untuk mencari susu terbaik agar anaknya tumbuh cerdas, tampan dan berbadan proporsional.

Setelah lulus SMA, dia diterima dengan mudah di jurusan favorit di Fakultas Ekonomi UGM dan kebetulan kos dekat dengan kos saya. Waktu itu kami tidak terlalu sering bersama. Kuliahnya lancar-lancar saja dalam beberapa tahun pertama. Saya tidak tahu apa yang terjadi semasa akhir kuliahnya, tetapi saya heran dan kaget ketika tahu beberapa tahun setelah saya lulus,  Mr. Cerdas ini tidak juga menyelesaikan skripsinya di UGM. Terakhir ketemu dengannya di tahun ketiga, nilai-nilai kuliahnya cukup untuk meluluskannya dengan cumlaude dengan hampir sempurna, dan perusahaan tentu akan memberi karpet merah untuk lulusan Continue reading “Hidup Tergantung Skripsi”

Sang Pemegang Kunci

DSC05009Anda pernah bergaul selama 300 jam dengan orang gila (psikotik) dan gelandangan? Jika belum cobalah. Hal itu akan menjadi pangalaman yang akan terus anda kenang. Peristiwa itu saya alami tahun 2006 sebagai salah satu matakuliah saat menempuh Master Interdisciplinary Islamic studies on Social Work. Pekerjaan social begini menguji kemanusiaan kita

Walaupun sekarang pekerjaan yang saya lakukan dan bidang ilmu yang ditekuni agak berbeda dengan Sosial Work, pengalaman menjadi pekerja social memberikan bekal hidup yang bermakna. Waktu itu saya ditempatkan di Panti Sosial Bina Karya di daerah Kricak Yogyakarta. Teman satu kelas yang lain ada yang ditempatkan di panti untuk PSK, panti wreda, panti asuhan dls. PSBK terdiri dari dua bagian penting, bagian gelandangan dan bagian psikotik. Bagian psikotik terpisah dengan gelandangan dan ditutup dengan pagar berduri. Selain beberapa kamar, ada satu sel yang mirip penjara yang dipakai untuk mengurung psikotik yang ngamuk.

Saya terlibat di dalam proses di panti, mulai dari rapat-rapat, pemeriksaan psikologi yang dilakukan dua minggu sekali, sampai “sekolah” untuk psikotik. Karena terganggu jiwanya, tentu saja seluruh proses itu menjadi unik dan menarik. Saya juga terlibat di proses penjaringan gelandangan agar mau menetap di Stasiun Lempuyangan dan Tugu yang menjadi kantong gelandangan. Hanya sekedar membujuk mereka untuk tinggal.

psbk2

Psikotik yang ditempatkan di PSBK bisa berasal dari beberapa tempat. Mereka yang terjaring di jalan-jalan ditempatkan dulu di sekitar jalan Sisingamangaraja untuk kemudian, setelah cukup bersih, ditempatkan di PSBK. Psikotik lain adalah “alumni” RSJ Pakem (Sekarang RSU Pakem) yang ditempatkan di PSBK sebelum dikembalikan ke keluarga, jika ada. Pendeknya, ini adalah proyek social yang menjadi tanggung jawab negara yang sering diabaikan. Continue reading “Sang Pemegang Kunci”