Tulisan ini ingin memberikan sedikit sumbang pikir terkait dengan klaim Muhamad Rizieq Shihab (MRS) terhadap tanah dengan sertifikat HGU PTPN VIII dari perspektif hukum dan ekonomi politik.
Pertama, apabila dilihat secara global dari perspektif internasional, seluruh batas lautan dan tanah yang ada di Republik Indonesia dikuasai oleh negara. Hal ini tercantum dalam klausul Hak Mengusai Negara (HMN) yang terdapat dalam UUPA No. 5/1960. Klausul HMN merupakan perpanjangan dari kebijakan colonial Belanda melalui Agrarische Wet 1870.
Karena dikuasai negara, pada kondisi tertentu, terutama untuk menyangkut kepentingan umum, negara berhak mengambil alih kepemilikan tanah dengan status apapun. Jadi, kepemilikan individu yang tercermin dalam hak tanah tertinggi yaitu Sertifikat Hak Milik (SHM), tetap dapat dibatalkan atas nama kepentingan umum. Contoh misalnya para pemegang SHM yang menolak pembangungan Yogyakarta International Airport tetap dapat dibatalkan hak miliknya oleh pengadilan. Di dalam sertifikat itu terdapat lambang Garuda Indonesia, yang berarti negara memberikan hak tertentu kepada seseorang/badan hukum. Artinya pula, sewaktu-waktu dapat diambil kembali oleh negara.
Kedua, oleh negara, tanah yang dikuasainya dibagikan kepada individu/badan hukum dalam berbagai bentuk hak. Individu dapat memiliki SHM yang merupakan hak terpenuh dan terkuat sementara badan hukum/lembaga dibatasi peruntukannya dengan hak tertentu. Individu yang memiliki tanah juga dibatasi kepemilikan maksimalnya sehingga tidak menghasilkan para tuan tanah. Kepemilikan individu dibatasi 5-15 hektar tergantung populasi dan karakter lingkungan sekitar. Hal ini sudah berlaku sejak 1961.
Ketiga, sisa tanah yang tidak/belum digunakan disebut sebagai tanah negara. Tanah negara dapat diberikan haknya kepada individu/badan hukum setelah melalui syarat-syarat tertentu. Salah satu syaratnya adalah mengolah tanah selama 20 tahun. Tetapi syarat ini hanya berlaku untuk tanah tanpa alas hak/tanah negara, bukan tanah yang sudah memiliki hak tanah.
Jadi misalnya anda mengolah tanah seseorang yang memiliki SHM selama 50 tahun pun, tetap saja tidak bisa mengaku sebagai pemilik tanah. Jika pemilik tanah berkenan, anda bisa mengajukan hak pakai di atas tanah hak milik tersebut. Contohnya, Hak Pakai di atas Tanah Milik Kasultanan Yogyakarta. Sertifikat Hak Pakai biasanya memiliki batasan waktu tertentu dan dapat diperpanjang sesuai kesepakatan.
Pada kasus lain, tidak mudah mendapatkan hak walaupun sudah menguasai, tidak hanya 20 tahun, bahkan ratusan tahun. Contohnya ada pada komunitas adat.
Keempat, untuk tanah-tanah yang luas, di atas 25 hektar, negara memberikan Hak Guna Usaha (HGU) bagi badan hukum untuk mengelolanya dengan batas waktu maksimal 25 tahun dan dapat diperpanjang kembali. Kenapa HGU? Karena ada pembatasan kepemilikan dalam bentuk SHM. Coba anda bayangkan apabila Prabowo Subianto yang memiliki HGU 220.000 hektar di Kalimantan Timur sebagai Hak Milik, maka akan terjadi negara dalam negara karena memiliki tanah yang luasnya tiga kali Singapura yang hanya 72.800 hektar.
Kelima, untuk menjamin rasa keadilan, negara harus memastikan tanah yang bisa ribuan hektar itu, dimanfaatkan dengan baik untuk kepentingan negara dan masyarakat. Apabila tanah dibiarkan terlantar, sertifikat HGU badan hukum tersebut dapat dibatalkan dan diambil alih kembali menjadi milik negara. Sekali lagi, haknya kembali ke Negara.
Bagaimana menyikapi klaim MRS terkait tanah Markaz Syariah di Megamendung?
Melalui video di Youtube yang banyak tersebar di media, MRS mengatakan beberapa hal berikut. Tanah yang sekarang digunakan sebagai Markaz Syariah adalah tanah dengan sertifikat HGU PTPN VIII. MRS kemudian ‘membeli’ tanah tersebut dari petani penggarap. Sebelum digarap petani, tanah tersebut ‘ditelantarkan’ PTPN VIII. Para petani sudah menggarap lahan tersebut lebih dari 30 tahun. Proses ‘jual beli’ dilakukan dengan berbagai saksi dan prosedur. MRS berharap dengan proses tersebut, proses sertifikasi tanah menjadi milik Markaz Syariah bisa dilakukan atas dasar sudah ditelantarkan PTPN VIII.
Berikut beberapa catatan saya:
Pertama, tanah tersebut, seperti diakui oleh MRS adalah tanah dengan sertifikat HGU yang diberikan negara kepada PTPN VIII. PTPN VIII adalah pemegang sah hak guna tanah tersebut.
Kedua, definisi ‘ditelantarkan’ dan kemudian digarap oleh petani selama 30 tahun harus dibuktikan di pengadilan. Pada banyak kasus, tanah yang digarap penduduk sekitar tidak dianggap sebagai ‘ditelantarkan’. Tanah yang ditelantarkan adalah tanah yang dibiarkan setelah diambil kayu atau sumber daya di dalam tanah. Sementara, tanah yang digarap masyarakat bentuknya bisa sebagai mitra perusahaan pemegang HGU. Di Sumatera dan Kalimantan, masyarakat mengolah lahan sawit milik perusahaan pemegang HGU sebagai bagian dari plasma karena tidak dapat diolah sendiri pemegang hak dan mendukung kemajuan ekonomi masyarakat.
Ketiga, apabila toh terbukti PTPN VIII menelantarkan tanah, yang berwenang mengambil alih
Hak Guna Usaha adalah Negara, bukan individu. Tanah tersebut harus dikembalikan lagi ke negara untuk kemudian dikelola lagi oleh negara.
Keempat, lalu MRS membeli apa dari petani? Yang dibeli adalah hak pengelolaannya. Namun demikian, patut ditelusuri lagi jual-beli hak pengelolaan tersebut. Pertanyaan pentingnya adalah: Apakah PTPN VIII sebagai pemegang HGU tanah tersebut dilibatkan dalam alih pengelolaannya?
Dugaan saya, ‘jual-beli’ antara MRS dengan petani tidak melibatkan PTPN VIII selaku pemegang hak HGU. Tanpa melibatkan pemegang hak, maka kesepakatan antara sesama pengelola tanah tidak ada pengaruhnya terhadap status hukum dan hak tanah. Jadi tidak ada manfaatnya melibatkan aparat mulai Kepala Desa sampai Presiden sekalipun, kalau tidak melibatkan pemegang hak tanah tersebut. Fungsi mereka hanya sebagai saksi perpindahan pengelolaan, tidak memiliki implikasi apapun terhadap status tanah. Jadi pendeknya, yang terjadi bukan ‘jual-beli hak’ tetapi ‘perpindahan pengelolaan’ dari petani ke MRS.
Kelima, karena dilakukan tanpa melibatkan PTPN VIII selaku pemegang HGU, maka PTPN VIII dapat membatalkan pengelolaan yang dilakukan MRS. Selama ini, PTPN VIII ‘diam saja’ tanahnya dikelola sebagai kebun olah masyarakat karena masih sesuai dengan peruntukannya. Apabila saat ini tanah tersebut digunakan sebagai pesantren, terserah pemegang hak untuk tidak setuju dengan pengelola baru yaitu MRS.
Keenam,: Prosedur pengajuan hak atas tanah tersebut adalah: tanah diambil alih negara karens PTPN VIII ‘menelantarkan’, lalu MRS mengajukan hak milik dari tanah negara tersebut. Persoalannya, MRS bukan sebagai pengelola tanah selama 30 tahun sehingga tidak bisa mengajukan hak milik tanah dari tanah negara yang diambil dari HGU PTPN VIII. Pengajuan hak milik dari tanah negara melekat kepada individu yang mengolah selama 20 tahun. Jika mau, MRS harus menunggu dulu selama 20 tahun setelah HGU diambil alih negara.
Dari proses yang terjadi, muncul pertanyaan saya mengapa MRS tidak membeli saja dari individu-individu yang memiliki Hak Milik atas tanah yang legal dan dijamin undang undang? Mengapa malah beresiko mengambil hak pengelolaan di atas tanah yang sudah jelas alas haknya dimiliki PTPN VIII?
Entahlah..
https://20.detik.com/detikflash/20201224-201224029/penjelasan-habib-rizieq-terkait-kasus-tanah-ponpes-markaz-syariah