Wafatnya KGPH Hadiwinoto dan Konsolidasi Suksesi

 

Satu lagi adik Sultan Hamengkubuwono X meninggal dunia. Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto meninggal dalam usia 72 karena penyakit jantung kemarin pagi (31 Maret 2021). Karena Kasultanan merupakan institusi yang berbasis hubungan darah, maka kematian (dan juga kelahiran) akan membawa konstelasi baru di internal kerajaan. KGPH Hadiwinoto adalah satu-satunya adik kandung laki-laki Sultan, adik tertua, adik yang memiliki pangkat tertinggi dan jabatan tertinggi sebagai “Lurah Pangeran” dan bertanggung jawab terhadap urusan paling penting di Kasultanan: Tanah.

Kepergiannya menciptakan tata hubungan baru di Kraton. Pertama, urusan tanah yang ditinggalkan hampir pasti akan digantikan oleh salah satu putri Sultan. Urusan ini terlalu strategis jika diserahkan ke adik Sultan yang lain, atau ke para ponakan Sultan yang jumlahnya puluhan itu.  

Kedua, saat ini tersisa sembilan adik tiri Sultan yang laki-laki dengan pangkat yang semuanya sama: Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH). Tiga dari adiknya tinggal di Yogyakarta yang merupakan keturunan dari Ibu Hastungkoro yaitu GBPH Prabukusumo, GBPH Yudhaningrat dan GBPH Chandraningrat. Enam lainnya tinggal di Jakarta yaitu GBPH Hadisuryo dari istri pertama HB IX Pintokopurnomo dan lima lainnya putra dari istri keempat ibu Ciptomurti. Memang Sultan HB IX lebih banyak berada di Jakarta sejak 1949 sehingga wajar banyak putranya yang tinggal di Jakarta.

Ketiga, kecil kemungkinan Sultan akan menunjuk Lurah Pangeran baru dari kesembilan adiknya dan tidak ada dari mereka yang akan naik pangkat menjadi KGPH. Sultan sudah merubah pangkat GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi, satu dari empat nama yang selama ini digunakan laki-laki sebelum menjadi Sultan.

Keempat, jika dulu hampir semua adik-adiknya sepakat bahwa calon terkuat menggantikan Sultan HB X adalah KGPH Hadiwinoto, maka sekarang ini semua adiknya yang bergelar GBPH memiliki posisi dan kedudukan yang sama menggantikan Sultan dalam perspektif paugeran yang selama ini berlaku. Kemungkinan mereka juga sama dan setara apabila GKR Mangkubumi yang dimajukan. Tentu hal ini membuat konsolidasi dari kubu adik-adik terkait suksesi menurun kekuatannya dibanding sebelumnya karena tidak ada lagi calon terkuat dari kubu adik-adik Sultan.

Kelima, KGPH Hadiwinoto adalah satu-satunya adik yang masih tersisa di dalam struktur keraton Kasultanan Yogyakarta setelah dua adik tiri diberhentikan Desember tahun lalu. Sehingga saat ini tidak ada satupun adik Sultan dan keturunan HB IX yang terlibat dalam urusan keraton. Praktis, seluruh urusan kraton dipegang Sultan, Permaisuri, Putri Keraton dan para loyalist yang tidak lagi ditunjuk berdasarkan hubungan kedekatan darah, tetapi berdasarkan loyalitas. Tanpa keterlibatan keluarga HB IX, keraton adalah murni dikontrol sepenuhnya oleh keluarga inti Hamengkubuwono X.  Penyingkiran adik-adik tiri seperti kondisi saat ini belum pernah terjadi selama Keraton Kasultanan Yogyakarta berdiri dalam 266 tahun.

Terakhir, walaupun sudah berusia sangat tua, Keraton tidak pernah sekalipun memiliki pengalaman untuk mengelola suksesi sendiri. Suksesi di Keraton selalu terjadi karena keinginan Belanda. Jika suka, putra Sultan bisa dijadikan raja, lalu dijadikan pangeran lagi, lalu raja lagi. Ketika suksesi terakhir tahun 1988, Suharto yang didatangi perwakilan keturunan dari keempat istri memberikan kata akhir terkait restu suksesi: Suharto mengijinkan Jogja punya raja baru, tapi tidak mengijinkannya menjadi Gubernur.

Kondisi Keraton Kasultanan Yogyakarta sekarang ini jauh lebih kuat daripada kondisi jaman Belanda. Keraton dan Sultan mempersatukan kekuatan politik, ekonomi, kultural dan sosial sekaligus. Justru saat inilah Keraton menghadapi ujian terberat, bisakah bertahan 260 tahun lagi?