Kartu Kredit dan Neoliberal

Ini cerita sederhana dan bukan tentang sesuatu yang baru. Anda semua saya yakin sebagian besar tengah mengalaminya. Tetapi ditengah kesederhanaan dan “kebiasaan” tersebut, sebenarnya terungkap bagiamana kapitalisme ekonomi bekerja dengan luar biasa.

Beberapa hari yang lalu saya ingin membeli barang dari ebay karena tidak dijual di Indonesia, tepatnya Amazon tidak bersedia mengirimkan Kindle nya ke Indonesia. Beberapa negara lain juga mengalami blockade ini. Tetapi sekarang Krisdayanti bisa membeli Kindle, karena walaupun menolak mengirim ke Indonesia, Amazon bersedia mengirim ke Timor Leste, negara baru yang menurut beberapa literature terancam menjadi negara gagal.

Untuk mendapatkan Kindle, alternative lainnya adalah membeli via ebay. Walaupun lebih mahal, tetapi itu pilihan terbaik yang ada. Ada beberapa toko online di Indonesia yang menjual Kindle, tapi harganya dua kali lipat dari harga resmi Amazon. Masalahnya, uang di paypal  tidak pernah saya gunakan lagi sejak ke Indonesia. Saya mencoba membuat paypal baru, tetapi paypal Indonesia menolak menerima transfer uang dari rekening debit. Bahkan, dari keluhan di media,  beberapa rekening kredit juga ditolak. Pendeknya saya harus memiliki kartu kredit, untuk bisa berbelanja. Singkatnya lagi, walaupun punya uang (debit) saya tetap harus berhutang (kredit).

Hutang ini menjadi tren di dunia yang dikuasai dan dijalankan dengan ekonomi neoliberal yang dalam filosofi ekonomi, disebut neoliberalism. Kaum neoliberalism percaya bahwa negara seharusnya tidak turut campur dalam mekanisme pasar yang akan berlangsung sesuai dengan logika dan cara kerjanya sendiri. Selain itu, negara juga seharusnya tidak mengambil pajak besar yang progressif kepada kaum berpunya. Negara seharusnya menghargai para orang kaya yang sudah bekerja keras untuk mencapai kekayaannya. Negara tidak seharusnya “menghukum” kaum berpunya dengan kewajiban membayar pajak yang besar. Justru orang kaya harus diberi diskon pajak, karena kontribusinya terhadap ekonomi.

Continue reading “Kartu Kredit dan Neoliberal”

Menciptakan Persaingan Monopolistik

Buku teks ekonomi menggambarkan monopoly sebagai sebuah kondisi pasar yang dikuasai oleh satu seller. Seller ini bisa menentukan harga yang berlaku di pasar sementara buyers tidak punya banyak pilihan untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Monopoly berkaitan erat dengan hukum demand and supply, ketika demand tetap dan supply sedikit, harga cenderung naik, atau paling tidak supplier dapat menentukan harga. Deskripsi monopoly jenis ini mudah sekali terlihat. Indonesia pernah memiliki pengalaman panjang dengan monopoly, misalnya ketika crony capitalism berlangsung semasa Soeharto dengan Tata Niaga Jeruk, Tata Niaga Gula, Tata Niaga Cengkeh, yang menjadikan keluarga Suharto menjadi kaya luar biasa. Sayangnya, semua ini pengertian yang basi tentang monopoly.

Pengertian baru tentang monopoly yang tidak mewajibkan hadirnya kekuasaan dalam monopoly, tidak mewajibkan modal yang besar dan telah dipraktekkan bertahun-tahun. Inti dari monopoly jenis baru ini adalah exclusivitas dengan memanfaatkan taste pasar yang dapat dibangun dari kuatnya branding. Selera pasar dimodifikasi sedemikian rupa sehingga memunculkan kesan eksklusif sebuah produk dari produk substitusi di pasar. Ketika pasar baru sudah tercipta, berapapun harga yang dijual seller, tetap akan dibeli. Disinilah monopoly tercipta. Seller menciptakan monopoly nya sendiri terhadap pasar, ia mampu menciptakan pasar baru yang berasas pada eksklusifitas. Demand pada pasar jenis ini berbentuk inelastis (penurunan jumlah pembeli lebih kecil dari kenaikan harga).

Continue reading “Menciptakan Persaingan Monopolistik”

Ceteris Paribus

aus$Judul dari posting ini sudah mengendap sekian lama di draft WordPress. Judul ini datang dari bahasan tentang Introductionary Academic Preparation di Crawford yang mau tidak mau harus bersentuhan dengan ekonomi. Kristen mengajar dengan baik persiapan untuk course microeconomics yang akan dilalui di semester pertama dan macroeconomics yang ada di semester kedua .  Kedua subjects ini begitu mengerikan terdengar setelah sekian lama tidak lagi menggambar grafik, memahami rumus dan melakukan penghitungan matematik. Tapi apa daya, tuntutan untuk segera settle di Canberra dengan mendapatkan akomodasi yang mamadai, menuntut untuk meninggalkan beberapa kelas Kristen dan kelas IAP lainnya ketika dihadapkan pada persoalan inspeksi rumah.

Ceteris Paribus mengacu pada “all things are being equal”. Ekonom menggunakan hukum ceteris paribus untuk membuat model pada gejala ekonomi, yang menurut para ekonom, hadir dalam setiap sisi manusia. Berbeda dengan political science yang lahir sejak jaman Yunani kuno, dimana hukum Plato masih sering menjadi rujukan (ingat Socrates sebagai Critical thinker pertama), study ekonomi relatif baru hadir di tahun 1776 dari Adam Smith, dewa ekonomi. Menariknya, walaupun baru berumur 250 tahun, ekonom mengklaim manusia tidak pernah lepas dari hukum-hukumnya. Economy berkaitan dengan urusan Scarcity dan Choice. Resources terbatas, keinginan tidak terbatas dan bagaimana pilihan menghadapinya.

Ekonomi kerap dijelaskan menggunakan graph untuk mempermudah pemahaman. Graph dalam ekonomi lebih mudah digambarkan sebagai sebuah cerita dalam novel. Graph dapat dibayangkan sebagai interaksi antar aktor-aktor dalam novel. Sehingga untuk mengerti interaksinya, harus mengenal dulu karakter tiap pemainnya. Kita harus mengenal karakter konsumen, karakter produsen berkaitan dengan -paling tidak- Quantity dan Price untuk mengetahui letak interaksi dalam Supply dan Demand. Pemahaman ini mengeliminasi ketakutan terhadap ekonomi yang melulu tentang tabel, agak berbeda dengan Ilmu Politik dan Pemerintahan yang selama ini saya pelajari dimana angka hanya dapat ditemukan untuk mengidentifikasi halaman dan tanggal peristiwa penting. Artinya memiliki kalkulator sama saja dengan mubazir, karena hanya akan rusak berdebu.

Sebagai orang yang awam ekonomi, kata-kata sepopuler Ceteris Paribus pun membuat saya sempat terhening sejenak, membayangkan buku teks ekonomi SMA yang tidak pernah bisa sepenuhnya terpahami, (apalagi buku jatah Depdikbud (sekarang Diknas). Entah karena kesulitan menggambar grafik elastic demand berikut supply nya dan menentukan Dead Weight Lost, Ceteris Paribus yang menjadi hukum penting ekonomi sepertinya mustahil dalam kenyataan. Berikut kisah mencari rumah di Canberra sebagai sebuah ilustrasi.

Continue reading “Ceteris Paribus”

Rejeki Gusti di Kereta Ekonomi

06kereta.gifBagi pekerja “kontrakan”, masa paling mendebarkan yang berlangsung setiap tahun adalah hari-hari mendekati akhir kontrak. Bagaimana tidak, seringkali keputusan untuk memperpanjang kontrak kerja dilakukan pada saat terakhir yang mendebarkan itu. Setiap tahun pula, sholat lebih dikhusyukkan, doa lebih serius diminta, semata-mata agar rejeki Allah tidak berhenti untuk satu tahun ke depan. Saking mendebarkannya, seringkali doa yang dipanjatkan berbunyi begini bunyinya

 

Ya Allah, yang Maha Kaya dan menguasai segala sesuatu. Janganlah engkau jadikan kami tidak amanah terhadap pekerjaan kami, dan janganlah engkau jadikan majikan kami tertutup pintu hatinya untuk menjadi saluran rizkiMu. Berilah kami kekuatan dan kesabaran untuk bekerja sungguh-sungguh dan amanah dan bukalah pintu hati majikan kami untuk menjadi jalan atas rizkiMu kepada kami. “

 

Kondisi ekonomi dan politik buruh membuat harapan pekerja dan keinginan majikan tidak menemukan titik ideal. Keinginan pekerja untuk amanah terhadap pekerjaannya tidak jarang dibalas dengan PHK dari majikan karena hal itu satu-satunya pilihan yang dapat diambil demi kelangsungan usaha. Alasan majikan sederhana, “hal ini dilakukan demi menjaga rizki pekerja-pekerja lainnya.” Bisa jadi, terdepaknya kita dari sebuah pekerjaan membuat putus asa atas rejeki Allah yang masuk lewat jalan yang tidak terduga, berhembus laksana angin, mengalir melalui air, menetap seperti tanah dan bergelora bagaikan api. Kita luput dari pelajaran Allah tentang rizki yang dapat kita saksikan setiap hari, dalam kereta antar kota kelas ekonomi. Maklum, sebagai pengguna jasa ini, tidak ada hal lain yang bisa dilakukan kecuali mengamati bagaimana kehidupan di kereta berjalan. Continue reading “Rejeki Gusti di Kereta Ekonomi”