Interview by Tirto.id: “Urusan Tanah di DIY Seperti Nagara dalam Negara”

UU Keistimewaan Yogyakarta bukan hanya soal suksesi, tapi juga soal demokrasi menghadapi kekuasaan yang (mencoba tetap) absolut.

tirto.id – Politik daerah di Indonesia pascareformasi menarik perhatian banyak peneliti. Dalam topik mengenai penguasa lokal, penguatan pengaruh para pewaris bekas swapraja (Sultan dan Raja) di politik lokal memicu diskusi menarik.

Dalam ulasannya pada 2008, Indonesianis asal Belanda, Gerry van Klinken menulis, “Apa ini hal yang baik karena tradisi mengintegrasikan masyarakat yang terpukul angin perubahan sosial? Atau pertanda buruk sebab merepresentasikan feodalisme?”

Dosen Fisipol UGM, Bayu Dardias, sejak 2014 lalu, meneliti manuver politik para aristokrat itu. Bayu―kini di Australia untuk studi doktoral di Australian National University (ANU)―mewawancarai puluhan Sultan dan Raja di 10 provinsi. Mayoritas, kata dia, membidik Pilkada atau Pemilu Legislatif. Namun, hanya sebagian yang berhasil.

Di antara semua bekas swapraja itu, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ialah kasus khusus. Aturan semacam UU nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY (UUK) tak berlaku di daerah lain. Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman menjadi satu-satunya institusi aristokrasi penerima kewenangan besar dari pemerintah pusat dalam urusan pemerintahan hingga tanah.

“Mereka semua ingin seperti DIY. Gak perlu susah payah ikut pemilu bisa jadi pejabat publik,” kata Bayu kepada Tirto (10/9/2017).

Tapi, menurut Bayu, UUK masih menyimpan dua persoalan penting terkait polemik suksesi dan penguasaan tanah-tanah keprabon. Berikut wawancara Tirto bersama Bayu mengenai hal itu. Redaksi menambahkan sejumlah hal untuk memperjelas konteks jawabannya.

Polemik Suksesi

Apakah putusan MK soal pasal 18 UUK melapangkan jalan calon Sultan perempuan?

Politik di DIY terbagi menjadi dua proses yang berurutan, suksesi di Kasultanan dahulu, lalu suksesi gubernur kemudian. Putusan MK membuka peluang bagi perempuan untuk menjadi Gubernur DIY apabila memenangkan kontestasi suksesi di Kasultanan. Dalam kontestasi di Kasultanan, banyak yang harus diganti jika Ratu yang bertakhta karena Yogyakarta adalah kerajaan Mataram Islam.

Keris untuk putra mahkota, misalnya, bernama “Joko Piturun” yang artinya “laki-laki yang diturunkan terus menerus” dan juga mitos Sultan adalah pasangan Ratu Kidul. Hambatan-hambatan dasar ini coba dihilangkan oleh Sultan HB X pada 2015.

Redaksi: Pada 2015, Sultan Hamengkubuwana X mengeluarkan Sabda Raja dan Dawuh Raja. Berdasar bisikan leluhurnya, Sultan mengubah gelarnya yang melenyapkan simbol raja laki-laki. Gelarnya menjadi Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengkubuwana Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati ing Ngalogo Langengging Bawono Langgeng, Langgenging Toto Panotogomo.Proses menjadi gubernur masih ada hambatan bagi perempuan di penyebutan gelar yang lengkap di Pasal 1 Poin 4 UUK DIY. Kata “Sayidin Panatagama Khalifatullah” (gelar lama Sultan) identik dengan laki-laki, dan menurut UUK gelar itu adalah warisan budaya yang harus dilestarikan.

Saya kurang sepakat bahwa suksesi di Kasultanan adalah persoalan internal seperti di Keraton lainnya yang saya teliti karena sultan akan otomatis menjadi pejabat publik (Gubernur DIY). Persinggungan antara aristokrasi dan demokrasi terletak pada keleluasaan Kasultanan memilih pemimpin dalam koridor yang diatur UUK sebagai implementasi negara demokrasi.

Artinya, keraton berhak memilih pemimpinnya, tetapi publik juga harus tahu prosesnya. Nah, perubahan aturan suksesi seharusnya diumumkan ke publik seperti diatur di Pasal 43 UUK. Tapi, Sultan menolak mengumumkannya 2 tahun lalu.

Suksesi ini jadi polemik elit, belum melibatkan publik DIY secara umum, mengapa?

Karena tidak ada perubahan struktural yang terjadi. Selama ini, masih perang wacana. Gubernur dan sultan tetap sama, walaupun namanya berubah-ubah. Adik-adiknya juga tetap menduduki posisi semacam “menteri koordinator” di Keraton. Hal ini tidak ada hubungan langsung dengan publik.

Sekarang publik banyak yang berteriak persoalan tanah dan tata ruang, misalnya terkait SG/PAG (Sultan Ground dan Pakualaman Ground), apartemen dan air tanah. Tetapi, sulit mencari kaitannya dengan suksesi politik.

Apakah polemik suksesi akan berpengaruh ke legitimasi politik Keraton Yogyakarta?

Saya kira, tergantung siapa pemenang kontestasi politik suksesi kasultanan. Legitimasi ratu tentu lebih sulit karena membuat sesuatu yang baru dibandingkan sultan laki-laki yang hanya tinggal meneruskan. Sebagai ilustrasi, kalau dulu penobatan putra mahkota selalu disambut dengan suka cita, tapi sekarang penobatan GKR Mangkubumi justru sebaliknya.

Polemik ini sebenarnya bisa diakhiri jika ada urutan suksesi di Keraton Yogyakarta seperti di semua negara yang memadukan sistem darah dan demokrasi. Di Inggris misalnya, line of succession-nya jelas: Pangeran Charles, Pangeran William, Pangeran George dan Putri Charlotte. Di Brunei, Thailand dan bahkan Arab Saudi, yang monarki absolut, semuanya ada dan jelas

Continue reading “Interview by Tirto.id: “Urusan Tanah di DIY Seperti Nagara dalam Negara””

Pertarungan Ahok-Anies Mengelola Isu di Putaran Dua

Jakarta, CNN Indonesia 2  Maret 2017

 Jika bertolak dari exit poll yang dilakukan Indikator Politik Indonesia di putaran pertama, pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno akan memperoleh 52,4 persen dan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat di angka 43,3 persen di putaran kedua. Sementara sisanya masih belum menentukan pilihan.

Berdasarkan hasil survei masing-masing, Direktur Eksekutif Indikator Burhanuddin Muhtadi memprediksi, pertarungan di putaran kedua adalah persoalan emosional versus rasional. Djayadi Hanan, Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), melihat salah satu kunci di putaran kedua terkait persoalan perubahan dukungan partai politik ke kandidat.

Djayadi menegaskan, kedua kandidat memiliki peluang yang setara untuk menang.

Di atas kertas, berdasarkan exit poll, posisi Basuki-Djarot memang kurang menguntungkan. Angkanya hanya naik tipis dari putaran pertama.

Apakah suara Basuki-Djarot mentok di titik itu?

Kalau kembali ke awal pencalonan, tim kampanye kandidat sudah memperhitungkan bahwa pilkada Jakarta yang mensyaratkan 50 persen lebih baik hanya diikuti dua pasang kandidat. Tetapi negosiasi kurang berjalan mulus pada detik-detik akhir.

Setelah koalisi Partai Demokrat memutuskan mengajukan Agus Harimurti Yudhoyono, kubu Prabowo Subianto mencalonkan Anies-Sandi. Pada titik ini, pendukung Ahok-Djarot masih optimistis bisa menang satu putaran.

Namun persoalan menjadi berbeda ketika Ahok ditetapkan tersangka penodaan agama. Pasangan nomor satu dan tiga memperebutkan suara politik massa Islam yang mulai terkonsolidasi. Tidak mudah untuk berkampanye “haram memilih pemimpin non-muslim” bagi orang muslim.

Tetapi begitu ditingkatkan menjadi “dilarang memilih penista agama”, pemilih muslim lebih cepat terkonsolidasi. Sehingga bagi pasangan nomor satu dan tiga, isu putaran pertama adalah “berebut pemilih muslim”, sementara putaran kedua menjadi “konsolidasi pemilih muslim.”

Paslon nomor satu lantas jadi korban dari pertarungan ini.

Agus-Silvy tak punya cukup waktu untuk bersiap. Meski didukung infastruktur politik dan dana mantan presiden, Agus-Silvy hanya meraup 17 persen.

Putaran pertama memberi pelajaran penting di putaran kedua: infrastruktur politik tidak menjamin keterpilihan kandidat.

Di tingkat kelurahan, hampir setiap warga dapat mengidentifikasi tim pemenang Agus-Silvy, tetapi toh, suaranya tidak tak sampai separuh dari dua kandidat lain. Artinya, koalisi partai pendukung bisa jadi tidak terlalu signifikan menjadi penentu pemenang.

Lantas, apa yang menentukan?

Pertama, ada faktor yang sulit dikontrol: salah satunya partisipasi pemilih. Misal, jika sebagian besar pemilih yang sudah jatuh hati pada pasangan Agus-Sylvi tak mau ke lain hati atau pemilih sudah jenuh dan tak lagi datang ke putaran kedua.

Kedua, dari berbagai survei periode November 2016-Februari 2017, ada tiga pola berbeda.

Agus-Silvy mengawali langkah dengan hasil survei tinggi dan terus menurun. Basuki-Djarot berawal dari survei yang tinggi, turun drastis terkait isu penodaan agama dan gerakan massa, lantas kembali naik pada bulan terakhir.

Anies-Sandi menunjukkan kenaikan yang stabil terus-menerus. Dari ketiga tren itu, ada dua hal yang cukup menentukan hasil pilkada DKI: faktor emosional dan sosiologis, terutama tekait agama dan performa debat.

Ketiga, bagi tim Basuki-Djarot, mengampanyekan kinerja adalah cara terbaik, sambil tetap menjaga emosi pemilih dengan tidak melakukan sesuatu yang kontroversial. Peluang kandidat ini dapat diperoleh dengan menggandeng kaum Nahdliyin yang relatif lebih moderat.

Islam modernis apalagi fundamentalis, akan lebih mudah digaet paslon nomor tiga. Selain itu, walau permintaan maaf Ahok di sidang dan tangisannya bisa jadi merebut hati pemilih, tetapi apakah efektif jika dilakukan dua kali?

Dalam sebulan terakhir, Ahok-Djarot dapat memaksimalkan status sebagai petahana aktif, berharap birokrasi Jakarta bekerja menghadapi banjir dan terus menghadapi persidangan penodaan agama.

Ada risiko juga yang harus dihadapi yaitu, diberhentikan sementara dari jabatan Gubernur, cuaca kurang bersahabat yang memicu banjir, serta ketukan palu hakim.

Keempat, Anies sudah mencoba cara cerdas dengan berfoto di genangan banjir yang sekaligus menunjukkan kritik terhadap kinerja petahana. Tapi hal tersebut kurang viral di media sosial.

Saat ini, level pertarungan isu lebih menyasar pemilih, bukan kandidat. Pemilih pasangan nomor urut dua dianggap munafik dan kemudian haram untuk disalatkan. Hal ini bahkan lebih viral dibanding strategi politik cerdas.

Namun pilkada seolah menjadi pertarungan sekali seumur hidup yang pemenangnya akan menduduki kursi gubernur sampai mati. Padahal dalam demokrasi, segala hal bisa terjadi, dan untuk itulah perlu diingatkan bahwa DKI akan mengadakan pilkada lagi dalam lima tahun mendatang.

Jika salah memilih, masih ada lima tahun lagi untuk bertobat memilih pemimpin baru.

Perlu dicatat bahwa proses demokrasi belum tentu menghasilkan kandidat yang terbaik tetapi melahirkan seseorang yang didukung sebagian orang, dan tidak bagi sebagian lainnya. Lihatlah Amerika Serikat.

Negara adidaya itu sudah menciptakan sistem yang rumit dan dijadikan patron di seluruh dunia, menghasilkan Presiden Donald Trump yang pada beberapa hal dianggap mengancam nilai dasar demokrasi. Tetapi toh, setelah terpilih, publik menghormati walau menatapnya dengan penuh keseriusan.

Pada titik tertentu, demokrasi di Indonesia dihadapkan pada situasi yang menantang. Misal untuk pertama kalinya, hasil pilkada di Kota Yogyakarta akan ditentukan oleh Mahmakah Konstitusi karena selisih yang hanya 1.000-an suara.

Padahal dalam Pemilihan Legislatif 2014, dari ribuan kandidat anggota dewan di Yogya, tak ada satupun yang mengajukan gugatan ke MK.

Akhirnya sekali lagi, masih cukup waktu untuk berbenah. Survei itu seperti Anda tes gula darah sesaat di laboratorium. Hasilnya akan berbeda keesokan hari, tergantung makanan yang dikonsumsi.

Boki Nita dan Tradisi Suksesi Kasultanan Perairan

Malutpost, Opini, 7 April 2016

12931246_1292606177417996_8850889466989565679_nKasultanan dan Kerajaan di Indonesia dapat dibagi menjadi dua kategori: Pesisir (coastal) dan agraris/pedalaman (inland). Kedua karakter ini berbeda secara sangat substansial, baik pada aspek ekonomi maupun politik termasuk di dalamnya tradisi pergantian Raja/Sultan.

Aristokrasi pesisir struktur ekonomi kerajaan didasarkan pada ekonomi perairan yang terutama diderivasi dari kerjasama perdagangan dan sumber daya laut. Struktur ekonomi dagang dan laut ni menentukan karakter-karakter lainnya. Secara geografis, letak Kedaton menghadap laut dengan Bandar/Pelabuhan yang biasanya letaknya persis di depan Kedaton.  Sumber ekonomi yang didapatkan dari perdagangan bersifat bergerak seperti emas, perak dan sutra dan memiliki karakter penduduk yang relatif heterogen yang adaptif menerima perubahan. Bentuk kendaraan khas berupa kapal, penting untuk basis legitimasi. Penguasaan tanah yang subur tidak menjadi prioritas, dibandingkan dengan penguasaan simpul-simpul perdagangan. Kasultanan Ternate, Tidore dan Gowa merupakan contoh kasultanan persisir.

Sementara aristokrasi agraris mengandalkan sumber daya ekonomi pada tiga hal penting: tanah, irigasi dan tenaga kerja. Kekayaan tidak bergerak ini membuat penguasaan wilayah menjadi penting. Letak kerajaan masuk ke pedalaman yang mengandalkan pada pertanian dan kondisi tanah yang subur. Saluran irigasi dibuat memanfatkan aliran air sungai adalah kebutuhan sentral dan dijadikan alasan untuk membangun Keraton. Penduduknya relatif homogen dan dibutuhkan pemimpin yang kuat untuk mengontrol tenaga kerja agar tidak berpindah ke kerajaan lainnya. Aristokrasi agraris mengandalkan kereta untuk transportasi seperti ditemukan di Yogyakarta dan Surakarta. Kedua Kasultanan ini tidak memiliki Kapal, seperti Kapal Kora Kora.

Di Kasultanan Ternate, struktur politik tidak seperti di Kasultanan Yogyakarta yang mengerucut seperti piramida dengan Sultan berada di posisi puncak piramida. Di aristokrasi perairan, struktur politik terbagi dan tersebar ke dalam unit-unit yang lebih kecil. Di Kasultanan Ternate, kekuasaan politik disebar ke Bobato 18 yang secara riil berkuasa di daerah dan menentukan Sultan selanjutnya. Di Kerajaan Gowa, struktur politik didistribusikan kepada  9 Bate yang disebut Bate Salapang.

Sementara di Kasultanan Yogyakarta atau Surakarta, Continue reading “Boki Nita dan Tradisi Suksesi Kasultanan Perairan”

Paranormal Politics

Dukun-calegMiftahul Jannah, a Democrat Party candidate for Ngawi district, meditated in the stream of the sacred river of Tempuk Alas Kedonggo—located in the midst of a teak jungle in Ngawi—to achieve her ambition to become an MP.

She is not the only one. Hundreds of parliamentary candidates across Indonesia are following rituals in sacred—and sometimes dangerous—mountains, rivers, beaches and caves following procedures set by dukun (a person with paranormal power).

The cost for these kinds of methods isn’t cheap. Ki Joko Bodo, the leading dukun in Indonesia, said that cost for national parliament is around 1 to 10 billion Rupiah or around US$100,000 to US$1 million, depending on the candidate. For the Indonesian presidency, the cost can go up to US$5 million. Another newcomer in paranormal business, Desembriar Rosyady, uses a different strategy. He guarantees 100% that those who believe in him will be elected. The cost varies, but it’s said to be up to US$100 million for a presidential race. The money is held by a notary and will only be given to him if the candidate is elected.

In the modern era, why do candidates use ‘irrational’ means to achieve their political goals? The answer might rely on the contradictory understanding of the concept power: between Western rationalities of power versus the Javanese concept of power, nicely presented in a classic text by Benedict Anderson, The Idea of Power in Javanese Culture. Unlike the modern European concept of power that is abstract, of heterogeneous sources, with no inherit limits of accumulation, and morally ambiguous, Javanese believe that power is concrete, coming from a single source, constant in total quantity and doesn’t raise questions of legitimacy. Power, in Javanese culture, can be present in sacred things like keris (dagger), akik (gemstone) and amulets. Candidates follow rituals in order to absorb “power” that resides in sacred places and to accumulate power within them.

Continue reading “Paranormal Politics”

Peti Mati Bernama Hercules

Dimuat di TANDEF

Salah satu pesawat TNI AU terjatuh lagi pagi ini. Belum jelas apa penyebabnya, yang jelas petaka adalah ini musibah berikutnya setelah pesawat Fokker jatuh di Bandung dan menewaskan putra terbaik di PaskhasAU. Saya langsung mengganti status di Facebook menjadi “Audit TNI !!!!”. Banyak komentar masuk. Musibah jatuhnya pesawat TNI AU sangat emosional buat saya. Mengapa?

Salah seorang sahabat, Norman Nugroho, tewas bersama jatuhnya Chopper Superpuma di Wonosobo dua hari sebelum tsunami Aceh di akhir 2004. Waktu itu pangkatnya masih Letnan Satu. Saya berdebar-debar menunggu berita di tagline TV setelah ditelpon kawan-kawan berkali-kali tentang kabar Norman adalah salah satu dari 14 korban. Norman adalah teman baik ketika SMA dan kami mendaki beberapa gunung bersama, termasuk berbagai kegiatan di SMA antara lain Pramuka. Dia Ketua PMR saya ketua Glacial (Pecinta Alam). Kami sering kerja bareng. Bersama teman saya yang lain, kami bertiga pernah ikut Geowisata di Bantul yang diselenggarakan Mapala Geologi UGM selama tiga hari. Ini peristiwa yang sangat mengesankan. Diantara teman tentara yang lain, dia yang paling tidak pelit untuk diajak diskusi. Darinya, saya tahu tentang berbagai posisi “sikap” di AAU. Setiap pesawat jatuh selalu mengingatkan saya pada sosok kalem Norman.

Saat menulis status tersebut di Facebook, saya tidak bermaksud memojokkan TNI AU. Maksudnya adalah, dengan diaudit, akan jelas kebutuhan “standar” TNI. Kalau kurang sebaiknya ditambah, kalau belum beres dibenahi. Kalau standarisasinya masih kurang, mungkin perlu sertifikasi management. Dengan cuaca yang bagus seperti di foto evakuasi (tidak seperti ketika Superpuma jatuh), jelas ada yang tidak beres, baik di internal TNI, maupun di luarnya. Mari diperinci satu-satu.

Secara politis, posisi TNI sangat-sangat jauh berbeda sejak Post-Soeharto Indonesia. Kebetulan, saya sedang membaca buku Marcus Mietzner (2009), dosen saya, Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation. Pemerintah Indonesia pasca Soeharto yang mengusung ideologi Huntingtonian yang menganggap tentara harus militer professional. Dengan pandangan ini, Dwi Fungsi ABRI dihapus, dan dampaknya sungguh sangat luar biasa. Keuangan Prajurit menciut drastis. Saat ini muncul desakan agar bisnis TNI dipreteli yang juga masih berakar pada ideologi Huntingtonian ini. Kini menjadi tentara tidak segagah sebelumnya. Di lain pihak, rakyatpun menolak militer termasuk pensiunan, ke kancah politik. Sekitar 8% pensiunan TNI dan Polri yang berlaga di Pilkada sebagian besar kalah (Mietzner, Inside Indonesia, January 2006). Saat ini sulit mencari Gubernur yang berasal dari TNI/Polri. Di Jawa hanya tersisa di Jateng. Di Jaman Soeharto, seluruh Gubernur di Jawa dari TNI. Dari lebih dari separuh kepala daerah di Indonesia yang berasal dari TNI selama Orba, hanya menyisakan kurang dari 10 orang di 400 lebih kabupaten kota dan 33 Provinsi atau sekitar 2%-3% saja. Posisi TNI di Di DPR/DPRD semakin masuk dalam kategori “endangered species.”

Continue reading “Peti Mati Bernama Hercules”