Dimas Kanjeng Abal Abal

Kolom Kompas, 4 Oktober 2016

Pada 11 Januari 2016, Dimas Kanjeng Taat Pribadi yang sekarang ini merajai berita nasional karena kasus penggandaan uang dan pembunuhan, dinobatkan sebagai Raja Anom. Gelar yang dipilih adalah “Sri Raja Prabu Rajasa Negara” yang mengigatkan kita pada gelar-gelar jaman Majapahit. Salah satu istrinya, diberi kedudukan permaisuri dengan gelar “Nyi Ageng Rahmawati” yang dekat dengan gelar kebangsawanan di Banten. Tulisan ini akan mengupas tentang kedudukan Taat Pribadi sebagai raja abal-abal, seabal-abal demonstrasi penggandaan dan pengadaan uang yang dilakukannya.

Sejak reformasi, bermunculan puluhan bahkan ratusan orang yang mengaku-aku sebagai raja dan sultan di seluruh Indonesia. Jumlahnya semakin lama semakin banyak. Sebagian besar dari mereka kemudian bergabung dalam organisasi-organisasi raja dan sultan yang sengaja mereka dirikan untuk memperkuat legitimasi para pengaku-aku bangsawan ini.

Pemerintah tidak bisa berbuat banyak. Konstitusi kita mengatur bahwa setiap orang punya hak untuk berkumpul, berorganisasi dan menyampaikan pendapat. Mereka juga menempuh jalur hukum sehingga mendapatkan akta notaris dan pengesahan dari instansi pemerintah yang menaungi organisasi kemasyarakatan. Pemerintah juga tidak bisa melarang jika ada warga negaranya yang menjahitkan baju warna-warni dan sedikit norak, membuat beberapa pin besar-besar yang terbuat dari emas atau kuningan yang di beberapa sisinya dipenuhi batu zirconia, dan kemudian mengaku sebagai Raja Madangkara misalnya. Sekali lagi, itu adalah ekspresi individual dan kebebasan konstitusional yang diatur undang-undang. Tapi sebenarnya, berapa jumlah kerajaan yang memiliki perjanjian panjang (lange contraact) dan pendek (korte verklaring) dengan Belanda sebelum Jepang datang?

Dokumen Belanda (Staatblad) mengatur terdapat 14 kerajaan/kesultanan di Indonesia yang memiliki kontrak panjang dengan Belanda dan 268 yang memiliki kontrak pendek. Di Jawa terdapat empat kesultanan yang berada di Yogyakarta dan Surakarta. Cirebon sudah menjadi bagian dari pemerintahan langsung (direct-rule) sejak diambil alih Inggris. Probolinggo, tentu saja tidak ada. Beberapa bagian di Jawa Timur adalah bagian dari Kasunanan Surakarta dan pemerintahan langsung. Selain kontrak panjang, ke 268 kontrak pendek yang diatur melalui Staatblad 1919/822 lebih banyak terdiri dari kepala-kepala desa maryoritas berada di wilayah Timur. Para kepala adat setingkat desa ini, misalnya di Maluku, Tapanuli dan Flores, juga disebut sebagai “Raja”.

Asosiasi Keraton Kesultanan Indonesia (AKKI) yang menobatkan Taat Pribadi menjadi Raja Anom mengklaim memiliki 147 anggota yang tidak terdaftar dalam Staatblad Belanda 1919. Continue reading “Dimas Kanjeng Abal Abal”

Partai yang Gaduh

Kompas, 17 Januari 2013. Versi Pdf bisa didownload disini.

Ritual menjelang pemilu hampir selalu mirip. Seluruh partai politik, termasuk partai kecil dan partai baru, optimistis dapat memenuhi syarat menjadi peserta pemilu saat Undang-Undang Pemilu disahkan.

Setahun kemudian, mereka gaduh karena tidak lolos persyaratan dan gagal menjadi peserta pemilu. Sasaran kegaduhan adalah penyelenggara pemilu. Mereka tak mungkin mengutuk partai pesaingnya di DPR karena telah telanjur optimistis. Mereka juga tidak mungkin menerima begitu saja karena kehormatan dan terutama uang telah telanjur ditanamkan.

Hanya saja, tahun ini kegaduhan semakin menjadi. Tengoklah kegaduhan yang baru lalu, hujan interupsi telah datang bahkan sebelum Komisi Pemilihan Umum (KPU) selesai mendengarkan presentasi KPU daerah. Mirip pasar malam yang penuh pedagang yang memasarkan dagangannya sendiri. Partai-partai yang bersemangat menegakkan demokrasi, tetapi justru membahayakan demokrasi.

Penyebabnya antara lain partai-partai tersebut sudah telanjur diberi hati. Continue reading “Partai yang Gaduh”

Koruptor Pun Menjelma Jadi Singa

Opini KOMPAS, 16 November 2012

Download versi JPG disini

Download Kartun Panji Koming 18 November disini

Mungkin sudah saatnya perumpamaan koruptor dengan tikus diganti.

Selain tak tepat, personifikasi tikus cenderung menyesatkan, terutama bila dikaitkan peristiwa-peristiwa terakhir. Koruptor lebih tepat diibaratkan singa yang berkuasa. Tikus dipersonifikasi sebagai binatang kecil, mencuri remah-remah dan akhirnya lari terbirit-birit saat kepergok manusia. Dengan sapu tikus bisa diusir, dan dengan jebakan tikus bisa dimusnahkan.

Namun, koruptor di negeri ini sama sekali tak mirip dengan personifikasi tikus. Koruptor tak mencuri sisa ikan di tempat sampah, tetapi mengambil porsi utama di meja makan, bahkan di dapur yang belum sempat dihidangkan. Jebakan, seandainya tertangkap, toh hanya sementara. Setelah satu atau dua tahun, koruptor tetap dipromosi menduduki posisi penting sebagai kepala dinas, yang membawahi ratusan bahkan ribuan birokrat.

Jika tikus langsung lari ketika ada suara gerakan kaki manusia, tak demikian dengan koruptor Indonesia. Tak seperti di negara lain, koruptor Indonesia malah menggelar konferensi pers dengan kepala tegak, dengan jas mahal yang dibeli dari hasil korupsi. Didampingi pengacara- pengacara top, yang membentuk tim dengan spesifikasi tugas yang rumit, koruptor kita siap menghadapi proses hukum.

Jika koruptornya perempuan, tiba-tiba hadir dengan jilbab besar dan cadar. Cadar yang selama ini sering dipakai penganut Islam taat di Timteng berubah jadi pakaian utama koruptor perempuan. Lagi-lagi, tetap didampingi tim pengacara andal. Jika lari ke luar negeri, koruptor kita pun tak malu-malu menggelar konferensi pers. Pernyataannya ditayangkan berulang-ulang di stasiun televisi, dianggap sebagai kebenaran.

Jika koruptor yang dibidik adalah orang penting dalam institusi dengan semangat korps kuat, perlawanannya berubah jadi institusional. Akibatnya, proses antikorupsi yang awalnya menyasar oknum berubah jadi konflik antarinstitusi. Lagi-lagi dengan kerumitan hukum yang tak dimengerti oleh masyarakat.

Jika Polri menuntut KPK dan katakanlah menang, tak jelas dana dari mana untuk membayar ratusan miliar rupiah tuntutan. Baik KPK maupun Polri dibiayai oleh APBN. Lalu apakah akan terjadi perputaran uang dari APBN di KPK ke APBN Polri? Lalu, apakah Polri menjadi punya tambahan dana dari keberhasilannya menuntut KPK?

Jika ini benar terjadi, seluruh institusi—termasuk 530 lebih daerah otonom—akan punya alternatif baru menambah anggaran, yaitu menuntut daerah lain. Ratusan konflik perbatasan antardaerah dapat jadi alternatif pundi-pundi anggaran, selain pemasukan daerah dari pendapatan asli daerah. Daerah tak perlu lagi lobi ke pusat untuk menaikkan anggaran. Semua bisa dilakukan melalui proses hukum. Bukankah Indonesia negara hukum? Jadi, semuanya bisa dicapai dengan hukum, termasuk menambah anggaran. Ini tentu berbahaya.

Kita jadi kehilangan semangat berbangsa dan bernegara. Indonesia raya mengerdil menjadi institusi, institusi kita. Itulah yang sekarang dipraktikkan Polri sebagai penegak hukum di Indonesia ketika menggugat KPK.

Rasional dan institusional

Koruptor di negeri ini sudah menjelma kuasa. Terlalu lama tikus-tikus itu dibiarkan sehingga tak hanya menguasai keranjang sampah dan sisa remah-remah, tetapi dia sudah menguasai seluruh rumah. Koruptor itu jadi tuan di rumah Indonesia setelah setahap demi setahap menguasai dapur, meja makan, ruang keluarga, kamar, dan ruang tamu.

Koruptor berpikir dengan sangat rasional. Mereka mengalkulasi untung-rugi melakukan korupsi. Jika risiko korupsi (jika tertangkap) lebih kecil dibandingkan keuntungan yang didapat, korupsi terus terjadi. Biaya modal yang diperhitungkan koruptor adalah biaya pengacara, kepala rutan agar bisa izin berobat, hakim, dan jaksa. Beda ceritanya jika hukuman koruptor adalah hukuman mati. Berapa pun keuntungan korupsi, tak ada gunanya jika toh akhirnya mati.

Institusi-institusi telah dikuasai koruptor yang menciptakan pola kerja institusional yang mendukung korupsi. Mereka yang tak terlibat akan terlihat aneh dan unik dan menyalahi norma korupsi yang telah menjadi norma institusi. Masyarakat antikorupsi kemudian tersingkir dan terus coba merebut kembali rumah Indonesia yang telah dikuasai tikus-tikus pemimpin yang menjelma singa kuasa. Usaha ini tidak mudah, tetapi akan terus dikenang sejarah.

Indonesia pernah punya cerita indah pemimpin yang tak mengeruk keuntungan pribadi. Bung Hatta tak memberi tahu Bu Rahmi tentang kebijakan sanering sehingga uang yang dikumpulkan jadi tak cukup membeli mesin jahit. Bung Karno, ketika di luar negeri, pernah berurusan dengan ongkos taksi yang jumlahnya tak besar. Sudah saatnya kita singkirkan tikus-tikus kuasa dari rumah Indonesia.

Bayu Dardias Ketua Klaster Penelitian Governance dan Korupsi, Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fisipol UGM

Menakar Otonomi Khusus Aceh dan Papua

Dimuat di Opini Kompas, 3 Juli 2012. Tulisan dapat didownload disini. Versi PDF disini

Membaca di situs asli Kompas disini

Salah satu cara untuk melihat gagal-berhasilnya desentralisasi asimetris yang dilekatkan ke Papua sejak 2001 dan Aceh sejak 2008 adalah dengan mengukurnya dengan kacamata kesejahteraan.

Kesejahteraan dilihat dari beberapa aspek dasar -pendidikan dan kesehatan-. serta design dan praktek kewenangan, kelembagaan dan keuangan yang melekat dalam Otonomi khusus. Kesejahteraan diletakkan sebagai tujuan akhir, sementara otsus merupakan upaya mencapainya.

Desentralisasi asimetris yang dikenal dengan sebutan otonomi khusus dan daerah istimewa, merupakan pola relasi unik antara pemerintah pusat dan daerah karena sebab-sebab khusus. Sebuah daerah menerima wewenang, lembaga dan keuangan yang berbeda dengan mayoritas daerah lain. Pola relasi ini lazim terjadi dalam negara kesatuan. Indonesia mempraktekkannya sejak 1950 yang mengatur tentang Yogyakarta.

Hanya saja, asimetrisme yang telah diberi ruang dalam semua konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia tidak menunjukkan perkembangan berarti pada masa Orde Baru. Tuntutan asimetrisme menguat sebagai alternative sejak reformasi.

Penelitian Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM dengan Yayasan TIFA (2009) mengindikasikan setidaknya terdapat lima model daerah yang kedalamnya dapat dilekatkan asimetrisme. Kelima model tersebut adalah model yang didasarkan atas pertimbangn konflik dan separatisme (Aceh dan Papua), pengembangan ekonomi (Batam), perbatasan (Kalbar), kultural (Yogyakarta) dan ibukota negara (DKI Jakarta). Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa karakteristik Indonesia yang beragam akan sulit hanya diwadai dengan satu pola relasi pusat-daerah yang seragam.

Upaya mengukur kesejahteraan dapat dibaca pada tiga indikator yaitu kewenangan, kelembagaan dan keuangan. Karakteristik geografis, sejarah, kultur dan karakter individu yang berbeda antara Aceh dan Papua diasumsikan sudah terwadahi dalam UU 21/2001 untuk Papua dan UU 11/2006 untuk Aceh. Salah satu amanat penting dalam perumusan kedua UU tersebut adalah akselerasi pembangunan. Idealnya, UU Otsus dan turunannya yang bermuara kepada kesejaheraan, harus memberikan kewenangan khusus, kelembagaan khusus dan keuangan khusus.

Di tingkat provinsi, penggunaan kekhususan yang terwujud dalam regulasi daerah harus dilihat agar tidak melenceng dari tujuan peningkatan kesejahteraan. Hal ini terutama dilihat dari pola relasi provinsi-kabupaten/kota. Otsus diletakkan di level provinsi. Ia tak hanya menciptakan hubungan yang berbeda antara Jakarta-provinsi tetapi juga provinsi-kabupaten/kota.

Regulasi yang berwujud perdasus dan perdasi di Papua dan qanun di Aceh dipandang sebagai upaya praktek desentralisasi asimetris dan pengejawantahan otsus. Dengan tiga indikator itu, perbandingan otsus Aceh dan Papua sangat dimungkinkan.

Aceh dan Kesejahteraan

Otsus Aceh menemukan titik ideal dalam UUPA 11/2006 setelah sebelumnya sempat berusaha menemukan pola sejak awal reformasi melalui TAP MPR IV/1999 yang diwujudkan dalam UU 18/2001. Pada pelaksanaan UU sebelumnya, Otsus Aceh tak berjalan dengan baik karena konflik bersenjata masih tinggi dan masalah identitas belum tuntas. Hal ini terasa sangat berbeda dengan pelaksanaan UUPA yang disepakati semua pihak. Sekitar 87 persen kesepakatan dalam MoU Helsinki tercantum dalam UUPA dengan beberapa penyesuaian.

Keberhasilan terbesar pelaksanaan otsus Aceh adalah tertransformasinya kekuatan GAM dalam struktur pemerintahan modern dalam NKRI. Seluruh elemen sepakat bahwa UUPA adalah titik pijak untuk menciptakan Aceh yang sejahtera. Tak ada lagi yang menginginkan kondisi sebelum UUPA.

Pertarungan politik yang terjadi di Aceh antarfaksi yang semula bersatu di bawah GAM adalah sebuah fenomena wajar seperti juga terjadi di provinsi lain. Kisah sukses Pilkada Gubernur Aceh menunjukkan bahwa terjadi proses yang baik dari masyarakat konflik ke masyarakat demokratis. Pertarungan tidak lagi dilakukan di gunung dengan senjata di bahu, tetapi melalui bilik suara.

Dari sisi kewenangan, pemerintah pusat lalai memberikan PP yang menjadi turunan UUPA, terutama terkait dengan pengelolaan sumber daya. Rakyat Aceh menunggu PP tentang Badan Pertanahan Nasional Aceh yang menjadi bagian dari Pemerintah Aceh yang berbeda dengan provinsi lain. PP yang seharusnya diterbitkan tahun 2008 sampai sekarang belum ada drafnya. Isu lain yang ditunggu terkait dengan migas dan kehutanan. Muncul kesan kuat Otsus yang dijanjikan mirip dengan analogi kepala dilepas, ekor tetap dipegang. Terggangulah upaya percepatan kesejahteraan.

Continue reading “Menakar Otonomi Khusus Aceh dan Papua”

Demokrasi Limbung

Kompas, 3 September 2011

Banyak pihak, termasuk lembaga internasional, menganggap demokrasi di Indonesia telah berhasil menginstalasikan institusi politik dengan sukses.

Lembaga politik baru diciptakan untuk menyebarkan veto politik sehingga kondisi otoriter tidak kembali terulang. Saat ini, tugas kita sekadar memastikan bangunan demokrasi ini semakin tegak berdiri.

Menurut catatan institusi internasional semacam Freedom House dan Economist Intelligence Unit, Indonesia menjadi satu-satunya negara demokratis di Asia Tenggara sejak 2005. Maka, investasi pun masuk begitu gencar. Secara politik, kita adalah demokrasi yang stabil dan ekonomi kita berprospek cerah.

Masalah demokrasi

Gambaran semacam ini terlihat menyenangkan, tetapi sesungguhnya mengkhawatirkan karena jika dilihat lebih dalam fundamental demokrasi kita rapuh dan dirapuhkan.

Pertama, demokrasi kita dibajak oleh elite politik, baik di tingkat pusat maupun daerah (Mietzner, 2011). Sistem pemilu kita yang kompetitif ini ternyata tidak mampu menghasilkan elite yang dapat membawa suara rakyat. Pemilih tidak percaya terhadap wakil yang mereka pilih sendiri dengan tingkat kepercayaan terendah.

Lembaga yang masih relatif dipercaya, seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi, dihadapkan pada tantangan berat untuk mencari penerus yang bersih. Sayang proses pemilihannya harus melewati DPR.

Hal yang sama terjadi di tingkat daerah. Elite lokal memanfaatkan celah sistem pemilu langsung agar terus berkuasa. Solusi bagi perbedaan etnis dan budaya diselesaikan dengan membentuk daerah otonomi baru.

Kedua, negara yang lemah berhadapan dengan daerah yang labil menciptakan krisis identitas keindonesiaan. Identitas warga negara melorot hanya sebatas kabupaten/kota. Kesejahteraan diukur dalam batasan kabupaten/ kota. Surga bagi penduduk dengan kepala daerah yang memiliki visi melayani, neraka bagi yang tidak.

Negara dengan kekuatan pemaksa sering menjadi bagian dari masalah. Kekacauan pelayanan di daerah kerap diakibatkan oleh inkonsistensi peraturan antarlembaga.

Jika telah ada desentralisasi, mengapa struktur kementerian justru semakin gemuk? Logika efisiensi pemerintahan mandek ketika dihadapkan pada realitas politik.

Ketiga, korupsi tak pernah terselesaikan. Indeks korupsi kita tetap tinggi, seolah tak terimbas dampak demokratisasi. Continue reading “Demokrasi Limbung”

Memilih itu Hak

Kompas Jateng, 14 November 2008

Makna golput yang lahir atas reaksi terhadap praktik politik Golkar 37 tahun silam tidak dapat dipahami sama dengan golput masa kini.

Selain itu, apabila memilih ketika pemilu dianggap sebagai hak warga negara, memilih untuk tidak memilih pun harus dipahami dalam rangka penyaluran hak tersebut.

Pada masa lalu, golput yang dideklarasikan Arief Budiman dkk diungkapkan sebagai wujud perlawanan terhadap sistem politik yang tidak memberi ruang demokratis untuk memilih. Hal ini berimbas kepada terbangunnya pemerintahan yang tidak demokratis. Pada saat ini, dengan tingkat demokrasi Indonesia sebagai salah satu yang terbaik di Asia, hampir tidak ada alasan untuk memilih golput sebagai reaksi terhadap proses pemilihan. Golput lebih disebabkan karena kekecewaan terhadap elite politik yang dihasilkan dalam pemilu.

Harus dipahami, mencoblos dalam pemilu bukan satu-satunya sarana untuk menyampaikan aspirasi politik dan tidak menunjukkan tingkat budaya politik. Kesadaran politik masyarakat Indonesia sekarang ini sangat tinggi dan cepat tanggap dalam melihat fenomena politik. Tidak sedikit pejabat daerah yang turun dari jabatannya karena gesitnya masyarakat mengawasi roda pemerintahan. Tingginya kesadaran politik inilah yang menciptakan transformasi luar biasa politik Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Budaya politik Indonesia meloncat dari yang tadinya Parokial (tidak peduli) menjadi Subject (pelaku) (Larry Diamond, 1993). Artinya semakin tinggi tingkat golput tidak berarti semakin rendah budaya politik.

Continue reading “Memilih itu Hak”