Kompas Jateng, 14 November 2008
Makna golput yang lahir atas reaksi terhadap praktik politik Golkar 37 tahun silam tidak dapat dipahami sama dengan golput masa kini.
Selain itu, apabila memilih ketika pemilu dianggap sebagai hak warga negara, memilih untuk tidak memilih pun harus dipahami dalam rangka penyaluran hak tersebut.
Pada masa lalu, golput yang dideklarasikan Arief Budiman dkk diungkapkan sebagai wujud perlawanan terhadap sistem politik yang tidak memberi ruang demokratis untuk memilih. Hal ini berimbas kepada terbangunnya pemerintahan yang tidak demokratis. Pada saat ini, dengan tingkat demokrasi Indonesia sebagai salah satu yang terbaik di Asia, hampir tidak ada alasan untuk memilih golput sebagai reaksi terhadap proses pemilihan. Golput lebih disebabkan karena kekecewaan terhadap elite politik yang dihasilkan dalam pemilu.
Harus dipahami, mencoblos dalam pemilu bukan satu-satunya sarana untuk menyampaikan aspirasi politik dan tidak menunjukkan tingkat budaya politik. Kesadaran politik masyarakat Indonesia sekarang ini sangat tinggi dan cepat tanggap dalam melihat fenomena politik. Tidak sedikit pejabat daerah yang turun dari jabatannya karena gesitnya masyarakat mengawasi roda pemerintahan. Tingginya kesadaran politik inilah yang menciptakan transformasi luar biasa politik Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Budaya politik Indonesia meloncat dari yang tadinya Parokial (tidak peduli) menjadi Subject (pelaku) (Larry Diamond, 1993). Artinya semakin tinggi tingkat golput tidak berarti semakin rendah budaya politik.
Di beberapa negara termasuk Australia, menggunakan hak pilih dalam pemilu adalah sebuah kewajiban (compulsory voting). Untuk pemilihan federal, denda yang dikenakan bagi yang mangkir sebesar 20 dollar Australia atau sekitar Rp 150 ribu. Dengan denda ini pun, masih banyak yang tidak memilih dalam pemilu dan memilih membayar denda.
Pemilu modern dibayangkan seperti menonton pacuan kuda atau balapan mobil. Semua orang tertarik melihat siapa yang akan menjadi pemenang, tanpa harus ikut terjun ke lapangan. Walaupun demikian, tingkat partisipasi pemilih di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu 90 persen dalam Pemilu 1999 dan 87 persen dalam Pemilu 2004 (LP3ES, 2004).
Tingkat partisipasi pemilih juga tidak memengaruhi legitimasi yang dimiliki oleh elite politik yang akhirnya duduk di pemerintahan. Legitimasinya tetap tinggi setelah dinyatakan menang dalam sebuah pemilu yang demokratis.
Sistem presidential murni yang dianut Indonesia saat ini membuat presiden terpilih hampir bisa dipastikan akan memimpin Indonesia dalam periode lima tahun (fix term). Ruang yang tersedia untuk melakukan impeachment untuk menjatuhkan presiden semakin sempit. Mundurnya presiden sebelum habis masa jabatannya seperti pada saat reformasi 1998 yang menjatuhkan Soeharto dan Sidang MPR yang menjatuhkan Abdurrahman Wahid hampir mustahil terjadi kembali. Jadi, seandainya para pengikut Gus Dur yang kecewa dengan PKB Muhaimin memilih golput, perlu dipikirkan akibat dari pilihan tersebut. Akan tetapi, sekali lagi, memilih itu hak, mau di-pake mangga tidak dipakai juga ora patheken.