Anda pernah membaca berita yang dikategorikan tidak penting? Saya yakin sudah. Berita tidak penting ini misalnya berita tentang gantung diri siswi SMU kelas 2 di Bandung yang menunggak 80 ribu untuk biaya sekolah swasta dan hutang 135 ribu ke tetangga. Masak sih ini berita tidak penting?
Nah disinilah masalahnya. Menurut saya ini berita penting. Berita ini mampu mengekspresikan secara nyata kondisi Indonesia. Berita remeh-remeh ini menunjukkan tingkat keberadaban kita sebagai suatu bangsa.
Terdapat dua cara melihat kondisi riil sebuah negara. Cara pertama dengan membaca berita “penting”yang berkaitan dengan bagaimana manajemen negara dijalankan. Berita-berita “penting”menghiasi halaman depan koran, dikirim banyak orang di kolom opini dan menjadi analisis berbulan-bulan kemudian. Misalnya berita carut marut pelayanan masyarakat yang tak kunjung usai, sistem pemilu yang tidak stabil setelah sepuluh tahun reformasi, korupsi (termasuk di dalamnya bribery), penegakan hukum yang tidak selesai, juga operasi preman yang belakangan marak.
Berita ‘penting’ ini menentukan hajat hidup orang banyak. Ketidakberesan pada berita ini membawa implikasi dalam skala yang luar biasa. Maklum, pelaku berita ‘penting’ adalah orang penting. Mereka telah melewati seleksi alam yang ketat untuk dapat menjuluki diri menjadi ‘penting’.
Pada seberangan lainnya, berita ‘tidak penting’ dimainkan oleh orang-orang yang tidak terkenal yang gagal dalam seleksi alam dan memutuskan untuk bunuh diri. Berita ‘tidak penting’ lainnya seperti orang yang meninggal tertindas metromini yang kebut – kebutan, dan lansia yang meninggal di pinggir jalan. Dan lansia itu adalah gelandangan.
Nah, Indonesia bisa dibaca dari perpaduan antara berita ‘penting’ dan berita ‘tidak penting’. Cerita pelajar yang bunuh diri karena kekurangan biaya bukan cerita baru. Korbannya mulai siswa SD hingga mahasiswa yang stress. Kisah ini menegaskan masih buruknya manajemen pendidikan Indonesia yang tak mampu memfasilitasi rakyatnya untuk ingin pintar. Akses bagi sekolah menjadi barang elit dan untuk mendapatkannya harus dengan melewarti seleksi, terutama seleksi material. Pendeknya, aksesabilitas pendidikan sedemikian rendahnya.
Beberapa minggu lalu saya berkunjung ke rumah Ibu lia, orang Indonesia yang bersuami Australian. Dia tinggal di pelosok dan menjadi istri farmer (pemilik peternakan sapi dan sedikit biri-biri) kira-kira 17 km dari Braidwood dan tiga jam perjalanan dari Canberra. Rumahnya benar-benar pelosok untuk ukuran Australia. Saya harus melewati jalan tanah (dirty road) 11 km sebelum memasuki halaman rumahnya. Setelah melewati pagar, masih harus masuk lagi 3 km sampai ke rumah sambil menunggu sapi yang menghalangi jalan minggir. Tetangga terdekatnya 10 km dan setiap hari harus mengantar ketiga anaknya 17 km ke SD terdekat di Braidwood. Braidwood juga kota kecil dengan penduduk hanya 1500 orang. Nah menariknya, untuk menjamin akses pendidikan bagi pelajar, pemerintah memberikan bantuan uang transportasi AU$4,000 setahun kepada keluarga ini. Tentu saja hal ini dilakukan setelah semua sekolah gratis. Nah, bisakan anggaran pendidikan 20% menjamin tidak adanya siswa bunuh diri tahun depan? Mari kita lihat saja.
Berita tentang gelandangan yang mati di jalan dapat juga dipakai untuk melihat bagaimana sistem jaminan social dibangun. Walaupun Undang Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional telah lama disahkan, dampaknya belum banyak terasa. Berita pengendara yang tertidas metromini bisa dipakai sebagai potret managemen transportasi. Lebih jauh, berita ‘tidak penting’ tidak hanya menunjukkan bagaimana hal sepele itu ditangani pemerintah, tetapi dapat juga dibaca untuk melihat prospek bangsa kedepan.
Dari hal-hal yang ringan, sepele dan tidak penting ini, tercermin gambaran fenomena yang tidak sepele.