Pada 11 Januari 2016, Dimas Kanjeng Taat Pribadi yang sekarang ini merajai berita nasional karena kasus penggandaan uang dan pembunuhan, dinobatkan sebagai Raja Anom. Gelar yang dipilih adalah “Sri Raja Prabu Rajasa Negara” yang mengigatkan kita pada gelar-gelar jaman Majapahit. Salah satu istrinya, diberi kedudukan permaisuri dengan gelar “Nyi Ageng Rahmawati” yang dekat dengan gelar kebangsawanan di Banten. Tulisan ini akan mengupas tentang kedudukan Taat Pribadi sebagai raja abal-abal, seabal-abal demonstrasi penggandaan dan pengadaan uang yang dilakukannya.
Sejak reformasi, bermunculan puluhan bahkan ratusan orang yang mengaku-aku sebagai raja dan sultan di seluruh Indonesia. Jumlahnya semakin lama semakin banyak. Sebagian besar dari mereka kemudian bergabung dalam organisasi-organisasi raja dan sultan yang sengaja mereka dirikan untuk memperkuat legitimasi para pengaku-aku bangsawan ini.
Pemerintah tidak bisa berbuat banyak. Konstitusi kita mengatur bahwa setiap orang punya hak untuk berkumpul, berorganisasi dan menyampaikan pendapat. Mereka juga menempuh jalur hukum sehingga mendapatkan akta notaris dan pengesahan dari instansi pemerintah yang menaungi organisasi kemasyarakatan. Pemerintah juga tidak bisa melarang jika ada warga negaranya yang menjahitkan baju warna-warni dan sedikit norak, membuat beberapa pin besar-besar yang terbuat dari emas atau kuningan yang di beberapa sisinya dipenuhi batu zirconia, dan kemudian mengaku sebagai Raja Madangkara misalnya. Sekali lagi, itu adalah ekspresi individual dan kebebasan konstitusional yang diatur undang-undang. Tapi sebenarnya, berapa jumlah kerajaan yang memiliki perjanjian panjang (lange contraact) dan pendek (korte verklaring) dengan Belanda sebelum Jepang datang?
Dokumen Belanda (Staatblad) mengatur terdapat 14 kerajaan/kesultanan di Indonesia yang memiliki kontrak panjang dengan Belanda dan 268 yang memiliki kontrak pendek. Di Jawa terdapat empat kesultanan yang berada di Yogyakarta dan Surakarta. Cirebon sudah menjadi bagian dari pemerintahan langsung (direct-rule) sejak diambil alih Inggris. Probolinggo, tentu saja tidak ada. Beberapa bagian di Jawa Timur adalah bagian dari Kasunanan Surakarta dan pemerintahan langsung. Selain kontrak panjang, ke 268 kontrak pendek yang diatur melalui Staatblad 1919/822 lebih banyak terdiri dari kepala-kepala desa maryoritas berada di wilayah Timur. Para kepala adat setingkat desa ini, misalnya di Maluku, Tapanuli dan Flores, juga disebut sebagai “Raja”.
Asosiasi Keraton Kesultanan Indonesia (AKKI) yang menobatkan Taat Pribadi menjadi Raja Anom mengklaim memiliki 147 anggota yang tidak terdaftar dalam Staatblad Belanda 1919. Selain AKKI, masih terdapat Forum Silaturahmi Keraton Nusantara (FSKN), Silaturahmi Nasional Raja dan Sultan Nusantara (Silatnas), Dewan Adat Nasional (DAN), Yayasan Raja Sultan Nusantara (Yarasutra) dan beberapa lainnya yang sangat longgar terhadap keanggotaan. Semua organisasi ini tidak memiliki tujuan yang jelas dan disepakati, program kerja dan kegiatan yang rutin, teratur dan jelas seperti organisasi kemasyarakatan pada umumnya. Sebagian besar hanya dilegalkan dan digunakan untuk menciptakan pengaruh di masyarakat dan memfasilitasi kepentingan pribadi tokoh-tokoh utamanya. Organisasi Raja dan Sultan ini, tiba-tiba muncul dengan klaim sekian banyak anggota.
Persoalannya, organisasi para Raja dan Sultan semalam jadi ini menjadi ajang para politisi untuk mendapatkan pengaruh. Jokowi, karena persaingan politik dengan pengurus FKIKN ketika menjadi politisi Solo, lebih memilih FSKN untuk mengkoordinir anggotanya berpartisipasi di Festival Keraton Dunia pada Desember 2013. Acara yang hanya dilakukan sekali ini sulit dihindarkan dari upayanya untuk menjadi presiden tahun berikutnya. SBY beberapa kali hadir atau menemui anggota dalam acara Silatnas, FSKN dan Yarasutra.
Satu-satunya organisasi para Raja dan Sultan yang berproses panjang adalah Forum Komunikasi dan Informasi Keraton Nusantara (FKIKN) yang memiliki sekretariat di Kasunanan Surakarta. Diinisiasi semasa menteri Joop Ave dengan mengadakan Festival Keraton se-Jawa di awal 1990an, FKIKN lalu melebarkan sayap dengan mengajak keraton-keraton lainnya. Setiap dua tahun, FKIKN mengadakan Festival Keraton Nusantara (FKN) yang bulan ini akan diadakan di Istana Kuning di Pangkalan Bun, Kalteng untuk yang kesepuluh kalinya.
FKIKN sendiri mengalami berbagai masalah, terutama karena kurang ketatnya menyeleksi anggota dan keinginan penyelenggara untuk mengadakan festival yang meriah. Bagi FKIKN, penting untuk memastikan mereka yang hadir di FKN bukan raja abal-abal, tetapi bagi penyelenggara yang merupakan kerjasama keraton lokal dan pemerintah daerah, semakin banyak peserta festival, semakin meriah dan semakin baik karena memberi tontonan gratis budaya nusantara. Sehingga, sebagaimana terjadi di FKN IX di Bima, NTB tahun 2014, lolos juga peserta festival abal-abal. Kesultanan Demak misalnya, yang didirikan oleh tukang pijat sekaligus dukun bernama asli Minto, hanya cukup bermodal 25 seragam yang dibawa dari Demak. Di Bima, dia menyewa pelajar lokal untuk bebaris dan berjalan di festival sambil membawa spanduk dirinya yang bergelar “Sri Sultan Surya Alam Joyokusumo”. Untuk Sultan, yang lebih penting adalah namanya diumumkan MC di depan panggung. Sultan Demak ini menjadi salah satu inisiator pengukuhan Dimas Kanjeng Taat Pribadi.
Sebenarnya, FKIKN sudah memberikan syarat yang ketat untuk menyeleksi anggota. Kerajaan setidaknya harus memiliki: raja/sultan dengan garis keturunan yang jelas, istana, adat istiadat dan acara kultural yang diikuti dan rutin dilakukan masyarakat adat, pusaka, regalia dan mekanisme suksesi yang jelas. Hanya saja pada prakteknya seluruh syarat itu tak mudah dipenuhi oleh para kerajaan yang sebagian besar kesulitan bertahan ketika kemerdekaan, gerakan anti swapraja dan PKI tahun 1950-1960an. Paling besar dampaknya terutama adalah pemberlakuan reforma agraria pasca diundangkannya UUPA 1960. Undang Undang ini mengambil aset paling berharga, sekaligus sumber ekonomi kerajaan berupa tanah. Jika diikuti dengan ketat, hanya ada segelitintir kerajaan yang betul-betul eksis antara lain Kasunanan Solo dan Mangkunegaran Solo, Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman, Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan di Cirebon, Ternate, Tidore, Bima, Gowa, Kutai, Kutaringin, Pontianak dan beberapa puri di Bali.
Dengan demikian, fenomena Dimas Kanjeng yang dinobatkan sebagai raja, sepertinya bukan fenomena yang terakhir walaupun segala ketentuan yang umum diterapkan dalam aristokrasi Indonesia dilanggar. Misalnya, bagaimana mungkin gelar “Sri Raja Prabu Rajasa Negara” bersanding dengan “Nyi Ageng”? Atau ketika pengikut-pengikutnya yang mengkoordinasi orang banyak dan menyetorkan uang hingga beberapa milyar, diberi gelar “Sultan”? Beberapa orang yang menyetorkan uang hingga puluhan dan ratusan milyar kemudian diberi gelar “Sultan Agung”. Bagaimana mungkin “Prabu Anom” mengkoordinir “Sultan” dan “Sultan Agung”? Pendeknya, darimana asal cerita gelar Hindu, bisa mengkoordinasi gelar Islam?
Persoalan mendasar dari seluruh fenomena raja dan sultan abal-abal ini sebenarnya terletak dari kultur masyarakat kita yang masih memuja gelar, apapun gelarnya. Tradisi ini dicontohkan oleh para pemimpin yang rajin memburu gelar-gelar akademis, terlepas dari kualitas pendidikan dan proses pendidikan yang berlangsung. Di tingkat bawah, masyarakat memburu dan mengadakan sendiri gelar-gelar kebangsawanan untuk kepentingan dan kepuasan pribadi. Mereka yang tadinya dukun, akan lebih laku dan lebih mahal tarifnya bila di depan namanya ada gelar bangsawan. Gelar sebagai raja dan sultan (walaupun abal-abal) bisa jadi membawa pengaruh ke karir dan bisnis. Masyarakat pun sama halnya demikian, meletakkan dirinya lebih rendah ketika berhadapan dengan orang dengan berbagai gelar. Bahkan sampai menyebut “yang Mulia” sebagaimana sebutan Dimas Kanjeng.
Terakhir, sebenarnya cukup mudah untuk mendeteksi para raja dan sultan abal-abal ini. Secara kasatmata, mereka biasanya selalu tampil glamor dengan seluruh ornamen kebangsawanannya diluar asal wilayahnya. Tujuannya adalah untuk menciptakan pengaruh dan menciptakan gengsi. Padahal, pernahkan mereka melihat Sultan Hamengkubuwono X mengenakan pakaian kebesaran raja diluar keratonnya?