Kompas, 3 September 2011
Banyak pihak, termasuk lembaga internasional, menganggap demokrasi di Indonesia telah berhasil menginstalasikan institusi politik dengan sukses.
Lembaga politik baru diciptakan untuk menyebarkan veto politik sehingga kondisi otoriter tidak kembali terulang. Saat ini, tugas kita sekadar memastikan bangunan demokrasi ini semakin tegak berdiri.
Menurut catatan institusi internasional semacam Freedom House dan Economist Intelligence Unit, Indonesia menjadi satu-satunya negara demokratis di Asia Tenggara sejak 2005. Maka, investasi pun masuk begitu gencar. Secara politik, kita adalah demokrasi yang stabil dan ekonomi kita berprospek cerah.
Masalah demokrasi
Gambaran semacam ini terlihat menyenangkan, tetapi sesungguhnya mengkhawatirkan karena jika dilihat lebih dalam fundamental demokrasi kita rapuh dan dirapuhkan.
Pertama, demokrasi kita dibajak oleh elite politik, baik di tingkat pusat maupun daerah (Mietzner, 2011). Sistem pemilu kita yang kompetitif ini ternyata tidak mampu menghasilkan elite yang dapat membawa suara rakyat. Pemilih tidak percaya terhadap wakil yang mereka pilih sendiri dengan tingkat kepercayaan terendah.
Lembaga yang masih relatif dipercaya, seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemberantasan Korupsi, dihadapkan pada tantangan berat untuk mencari penerus yang bersih. Sayang proses pemilihannya harus melewati DPR.
Hal yang sama terjadi di tingkat daerah. Elite lokal memanfaatkan celah sistem pemilu langsung agar terus berkuasa. Solusi bagi perbedaan etnis dan budaya diselesaikan dengan membentuk daerah otonomi baru.
Kedua, negara yang lemah berhadapan dengan daerah yang labil menciptakan krisis identitas keindonesiaan. Identitas warga negara melorot hanya sebatas kabupaten/kota. Kesejahteraan diukur dalam batasan kabupaten/ kota. Surga bagi penduduk dengan kepala daerah yang memiliki visi melayani, neraka bagi yang tidak.
Negara dengan kekuatan pemaksa sering menjadi bagian dari masalah. Kekacauan pelayanan di daerah kerap diakibatkan oleh inkonsistensi peraturan antarlembaga.
Jika telah ada desentralisasi, mengapa struktur kementerian justru semakin gemuk? Logika efisiensi pemerintahan mandek ketika dihadapkan pada realitas politik.
Ketiga, korupsi tak pernah terselesaikan. Indeks korupsi kita tetap tinggi, seolah tak terimbas dampak demokratisasi.
Irasionalitas kolektif
Kondisi kita ini mirip dengan apa yang dibayangkan Hardin (1968) sebagai tragedy of the commons. Seandainya nelayan menghadapi overfishing—ikan di sebuah danau yang menjadi tumpuan hidupnya akan habis dalam lima tahun—nelayan itu bukannya menciptakan sistem penangkapan yang berkelanjutan, melainkan justru mengambil ikan sebanyak-banyaknya. Jika ikan habis, nelayan itulah yang ”untung” dengan porsi tangkapan terbanyak. Rasionalitas individual menyebabkan irasionalitas kolektif.
Elite kita yang menduduki posisi kunci berperilaku seperti nelayan tadi. Ketika sadar ”sumber daya” akan habis dalam lima tahun, seluruh potensi akan diambil. Kepentingan rakyat tentu bukan prioritas.
Sayang gejala ini berada pada tiap level kehidupan kita. Setiap elite mengambil sebanyak mungkin yang dapat diraihnya.
Sebenarnya, demokrasi kita adalah demokrasi limbung, tampak masih kuat berdiri, tetapi rawan jatuh. Langkah penyelamatan harus dilakukan pada fundamental demokrasi kita.
Media menjadi kekuatan penting yang harus memberikan keseimbangan informasi yang menjadi harapan baik golongan ”putih” maupun golongan ”hitam”. Kisah kisruh Anggodo dijawab Mahkamah Konstitusi dengan menayangkan secara langsung sadapan telepon lewat media. Nazaruddin, yang merasa dikhianati koleganya, mengandalkan media untuk mendapatkan dukungan publik.
Peran media
Keluasan jangkauan media masih menjadi sumber informasi yang layak dipercaya. Paling tidak, masyarakat memiliki pilihan terhadap dua argumen kontradiktif yang berkembang.
Selanjutnya, elemen masyarakat sipil masih menjadi kekuatan penyangga demokrasi walaupun dihadapkan pada tantangan untuk mandiri secara finansial.
Masyarakat sipil yang berkonsentrasi terhadap isu spesifik secara berkelanjutan memiliki kemampuan argumentatif dan korektif terhadap pemerintah. Akibatnya, upaya dominasi kebenaran gagal dilakukan.
Sekali lagi, salah besar melepaskan kontrol demokrasi kepada elite walaupun dipilih dalam sistem pemilihan yang demokratis. Rakyatlah yang harus rajin- rajin melakukan koreksi terhadap perilaku elite yang tak pernah berubah.