KR, Analisis 11 Agustus 2011
Hari-hari ini bergulir isu bahwa Partai Serikat Rakyat Independen (Partai SRI) yang mengusung Sri Mulyani (SMI) untuk menjadi Capres adalah bentukan SBY. Jika sukses, SMI rencananya akan dipasangkan dengan Hatta Rajasa sebagai pengganti SBY di 2014. Termasuk Golkar yang mengunggulkan Ical.
Menurut saya isu ini tidak dapat dimengerti secara politik, waluapun direspon positif di masyarakat. Fenomena kemunculan para kandidat Capres oleh media, walaupun terlalu dini tetapi mengisyaratkan sesuatu jika kita tahu bahwa langkah masih sangat panjang.
Pertama, sampai saat ini Undang-undang pemilu dan pilpres belum disyahkan. Perdebatan klasik tentang parliamentary threshold (PT) menyita perhatian partai. Partai besar ingin PT dinaikkan, partai kecil ingin sebaliknya. Inilah tiket pertama untuk bisa mencalonkan diri menjadi presiden. Gagal di ujian pertama ini, hilanglah cita-cita untuk dapat mencalonkan menjadi Capres.
Partai baru, termasuk SRI, akan semakin sulit untuk bisa berada di Senayan. Selain PT, partai besar akan menahan langkah partai baru dengan memperbanyak daerah pemilihan. Hal ini berimplikasi pada semakin sedikitnya kandidat di suatu Dapil. Konsekuensinya, suara hilang dalam konversi suara ke kursi akan makin besar dan partai besar akan semakin mudah memperoleh kursi.
Jangankan partai baru, bahkan partai lama selain Golkar, PDIP, Demokrat dan PKS tetap akan bertarung mati-matian agar bisa melenggang ke Senayan. Proses konversi dari suara ke kursi akan menjadi topik politik marak jika rencana memperbanyak Dapil benar terlaksana.
Kedua, Capres hanya dapat dicalonkan oleh partai politik yang memenuhi prosentase tertentu dalam pemilu legislatif. Hal ini akan mengurangi secara signifikan peluang partai-partai untuk dapat mencalonkan kandidatnya sendiri. Pilihan terbaiknya adalah koalisi seperti kita lihat di pentas politik daerah.
Sayangnya, koalisi bukanlah persoalan sederhana. Ibarat barter, setiap partai harus memiliki sesuatu yang dipertukarkan antar partai. Sesuatu itu bisa suara di pemilihan legislatif, dukungan, uang dan lain sebagainya.
Ketiga, dibutuhkan dana yang sangat besar untuk dapat bertarung dalam Pilpres. Hal ini terjadi karena sistem pemilu kita yang cenderung transaksional dan memanjakan pemilih. Pemilih, sayangnya, juga mudah berganti pilihan politik karena sebab-sebab yang sifatnya pragmatis dan jangka pendek. Semakin sulit untuk menemukan pemilih yang betul-betul ideologis. Itu sebabnya saat ini partai semakin sulit dibedakan jalur ideologisnya. Semua partai akan menyanyikan koor seragam untuk menarik pemilih, misalnya pendidikan dan kesehatan gratis.
Masalahnya, walaupun sadar perjalanan masih sangat panjang untuk dapat mencalonkan diri menjadi presiden, isu ini mendapat respon positif dari rakyat.
Hal ini mengisyaratkan meningkatnya kesadaran politik bahwa presiden harus berganti, sesuai amanat UUD. Selain itu, diluar masalah yang sedang membelit partai Demokrat, rakyat mendambakan sosok presiden yang cekatan dalam menentukan kebijakan politis.
Munculnya bursa Capres di media dapat pula dipahami sebagai upaya untuk mengetes daya terima dan daya serap masyarakat yang nantinya akan dimunculkan di media. Tidak perduli bagaimanapun kelam dosa yang bersangkutan di masa lalu, toh masih punya waktu untuk bersolek dan membersihkan diri. Politik pencitraan membutuhkan waktu untuk dapat diterima rakyat.