Topi Anyaman Nazarrudin

Kemunculan ketiga Nazarrudin di MetroTV menyita perhatian publik. Bukan karena isu yang diusung, tetapi karena tampil dalam wujud audio-visual melalui Skype. Nazarrudin tidak turun 18 kilogram dan tampak bersemangat, tidak seperti penderita sakit jantung. Seluruh pembelaan Sutan, Ruhut dan petinggi Demokrat lain terhadap Nazarrudin di awal, hanyalah kebohongan untuk menutupi borok Demokrat yang sekarang terkuak.

Hanya saja publik bertanya-tanya, mengapa Nazarrudin lebih memilih berbicara di media daripada kembali ke Indonesia dan menyerahkan bukti-bukti yang dimilikinya? Terlepas dari benar tidaknya ucapan buronan Nazarrudin, penampilan santainya dengan topi anyaman memberikan kita beberapa perlajaran.

Pertama, media adalah cara efektif di tengah demokrasi Indonesia telah berhenti dan dibajak oleh elit. Studi yang dilakukan Mietzner (2011) menunjukkan pengingkaran terhadap semangat reformasi justru dilakukan oleh elit yang saat ini menduduki posisi politik penting baik di pusat maupun di daerah. Akibat, tidak ada lagi elit yang bisa dipercaya. Nazarrudin yang merasa dikhianati elit partai merasa media sebagai instrumen tepat untuk membalas.

Kedua, media dan elemen civil society lainnya adalah sebuah barisan kuat yang mencoba mengembalikan demokrasi dalam rel yang semestinya. Publik dengan kekuatan media telah memberikan pukulan balik terhadap upaya membuat cita-cita reformasi terhenti. Beberapa contoh bisa kita ambil misalnya kasus Bibit-Chandra, Prita dan Anggodo. Masyarakat yang didukung media mewujudkan dukungan maya di Facebook menjadi dukungan riil dalam pentas politik.

Contoh pada kasus Anggodo, keputusasaan mendobrak kongkalikong suap dibongkar Mahkamah Konstitusi dengan memutar secara live, sadapan telepon Anggodo. Ketiga kasus ini telah terbukti berhasil dan membuat Nazarrudin menggunakan cara yang sama untuk tujuan individunya. Bedanya, jika dulu masyarakat yang aktif, sekarang tersangkanya yang aktif.

Ketiga, hampir tidak ada lagi institusi formal yang dapat dipercayai di negeri ini. Jika boleh menunjuk lembaga yang masih relatif kredibel, hanyalah KPK dan MK. Dua lembaga ini menjadi ujung tombak penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Masalahnya, dua lembaga ini tidak memiliki jaminan keberlangsungan. Proses pemilihan ketuanya tetap melalui proses di DPR yang penuh dengan kepentingan politik. Tidak ada satupun yang mampu menjamin kredibilitas kedua lembaga ini ke depan, jika DPR salah dalam memilih ketua.

Keempat, kasus Nazarrudin memperlihatkan bagaimana elit politik saling mengunci. Sekali lagi, diluar benar atau tidak data yang disampaikan Nazarrudin, terlihat bagaimana masing-masing elit politik memiliki “kartu truf” yang membuatnya sulit dikorbankan begitu saja. Kejatuhan seorang elit akan membawa efek domino yang akan menjatuhkan elit-elit lainnya. Setiap elit memiliki dosa sehingga dijadikan senjata untuk tidak membuka dosa lawan politiknya. Efek paling nyata dari proses korupsi berjamaah ini adalah posisi saling mengunci, yang dalam jangka panjang justru membuat korupsi abadi di negeri ini.

Kelima, korupsi menjadi praktik yang diterima seluruh fihak dan menjadi irama dalam proses politik. Baik Anas maupun Aburizal, pemimpin dua partai tertinggi, mengaku memberikan biaya akomodasi untuk peserta konggres pada saat pemilihan keduanya menjadi ketua umum. Berapapun biaya yang dikeluarkan oleh kandidat, tidak bisa dibenarkan karena seharusnya biaya akomodasi dan transportasi menjadi tanggungjawab panitia penyelenggara dan tidak berada di pundak kandidat.

Sayangnya, seluruh DPD atau DPC yang hadir menerima praktek ini dan menunjukkan betapa pengurus partai permisif terhadap praktek politik uang.

Dugaan saya, seluruh sistem busuk ini terjadi karena rakyat juga tunduk pada kekuatan politik uang. Pemilu, Pilpres dan Pilkada menjadi bukti bagaimana kandidat yang menang hampir selalu kandidat yang menggelontorkan uang paling banyak, langsung ke pemilih. Jika ini terjadi, memberikan amanah reformasi pada elit politik adalah omong kosong, karena sesungguhnya kekuatan politik terbesar berada di tangan pemilih, yang digunakan di kotak kecil pemilu.