Saya punya teman waktu kecil di Bogeman, namanya Maryanto alias Mar Kempong. Tak jelas mengapa dia dipanggil begitu. Konon dia terlambat melepas kempongnya ketika anak-anak yang lain sudah tak lagi tergantung kempongan. Kebiasaan di kampung saya memang begitu, nama dirubah seenaknya sesuai dengan yang paling tampak. Ada Nyah Jambu karena punya pohon jambu, ada Bah Becak karena juragan becak dls. Makanya, tak ada warga kampung yang memelihara monyet aka kethek.
Umurnya selisih empat tahun dari saya, tetapi karena sering tak naik kelas ketika SD, kami dalam kelas yang sama. Mar Kempong adalah anak yang paling sering tidak naik kelas dibanding semua anak di kampung kami. Dia tak sanggup berhitung dan membaca. Tentu saja tak jarang menjadi sasaran olok-olokan. Setiap bulan Juni, adalah waktu yang paling menegangkan untuk Mar Kempong.
Mar Kempong adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Ibunya berjualan gorengan dan ayahnya bekerja serabutan. Kakak-kakaknya juga tak pandai di sekolah, tetapi dibanding Mar Kempong, saudara-saudaranya jauh lebih baik. Mereka tinggal di rumah sangat sempit berlantai tanah. Setelah saya lulus SD mereka pindah karena rumahnya akan dipakai pemilik tanahnya.
Suatu hari, Mar Kempong menggambar di buku kotak-kotak saya yang bisanya digunakan untuk mengerjakan matematika. Luar biasa. Gambar laba-labanya bagus sekali. Saya lalu memintanya menggambar apa saja: kucing, kelereng, gatot kaca, sandal jepit. Saya selalu kagum terhadap gambarnya. Saya, yang tak berbakat sama sekali menggambar, selalu kagum dengan orang yang pandai menggambar. Gambar saya tak lebih dari dua gunung, matahari, satu jalan ditengah dan sebuah rumah. Kadang saya gambar dua ekor burung di tengah awan, yang saya contoh dari gambar pak Guru di papan tulis. Mar Kempong juga jago main kelereng, mengejar layangan. gobak sodor, sundah mandah atau bermain tomprang (kartu). Pokoknya dia jago bermain apa saja selain menghitung dan membaca. Jadi kemampuannya inilah yang membuatnya tidak terlalu diganggu walaupun sering tak naik kelas.
Kakak sulung Mar Kempong, Supri yang menjadi tukang becak di usia akhir 20an ternyata jago basket. Itu baru diketahui setelah umurnya tak lagi remaja. Kemampuannya diketahui setelah beberapa kali menemani dan mengantarkan pelanggannya ke tempat basket. Dia lalu memperkuat grup basket, yang sekali lagi tingkat kampung sampai kemudian terpaksa harus lebih sering menunggu di becaknya yang karatan di beberapa tempat.
Mar Kempong sekarang bekerja menjadi tukang gambar alias desainer di pabrik plastik di kampung tetangga. Nasibnya lebih baik daripada Supri yang menjadi tukang becak atau Maryadi, kakak lainnya yang mengangkut sampah di kampung kami. Paling tidak, Mar Kempong tidak perlu berpeluh dan bersahabat dengan bau sampah. Pada lebaran beberapa tahun lalu, dia tampak sumringah mengenakan baju baru.
Namun demikian, cerita Mar Kempong, memberikan gambaran tentang buruknya sistem pendidikan kita dan betapa parahnya kita sebagai orang tua.
Kemarin saya menghadiri annual speech di SD anak saya yang kedua, di Ainslie School Canberra. Salah satu acara adalah pemberian Awards dan disinilah letak kecemburuan saya terhadap sistem pendidikan di Australia. Di acara itu, beberapa piala dibagikan: Catur, Arts and Creativity, Matematika, Sains, Kepemimpinan, Sosial, Persistence dan Olahraga. Tentu saja, ada jauh lebih banyak anak yang tidak mendapatkan apapun. Tetapi anak dihargai di berbagai bidang yang disukainya. Dua hari berikutnya, saya hadir di awards ceremony di SMP anak saya yang pertama dengan pesan kepala sekolahnya,” find your potentials and work hard to be the best on it.”
Sebaliknya, salah satu ciri paling penting dari cara pandang kita yang salah terhadap anak adalah kita selalu melihat anak dalam kapasitas yang tidak dia kuasai, ketimbang bakat yang dia miliki. Kita melihatnya dalam kapasitas What he/she cannot do daripada What he/she is capable of. Karena selalu melihat kekurangan, kita dipaksa oleh sistem pendidikan dan gengsi lingkungan untuk meningkatkan apa yang anak kita tidak bisa dan bukan sebaliknya, meningkatkan kemampuan/bakat yang dimilikinya. Pendeknya kita lebih sering melihat kekurangan daripada kelebihan. Karena sibuk berupaya untuk memperbaiki kekurangan, hasilnya bakat dan kemampuan anak menjadi kurang berkembang. Lebih buruk lagi, anak sekedar dihargai dalam persoalan Matematika, Bahasa Inggris dan Sains.
Itulah yang terjadi pada Mar Kempong dan Supri. Guru-guru di SD Mar Kempong yang hampir ambruk, atau orang tuanya yang banting tulang mencari utangan untuk makan keenam anaknya, tak pernah menyadari kemampuan luar biasa Mar Kempong. Dia tak pernah mendapatkan penghargaan yang sesuai dengan bakat seninya karena semua orang, hanya melihatnya terbata-bata dalam membaca dan tak pernah bisa menghapalkan perkalian. Bahkan suatu ketika, dia pernah mengatakan bahwa golongan darahnya C. Kita selalu sibuk memperhatikan apa yang tidak dimiliki dan kekurangannya, sambil terus memaksanya mengembangkan sesuatu yang dia tak mampu, tidak suka dan tidak bisa.
Persoalannya, kasus Mar Kempong bukan hanya dialami keluarga miskin, tetapi juga menular ke keluarga yang berkecukupan. Jika dulu orangtuanya tak mahir berhitung, dipaksakanlah anaknya ikut les matematika. Prinsipnya, “Anakku harus lebih baik dari aku.” Atau jika orangtuanya dulu juara kelas, dia akan selalu katakan ,”Anakku, Bapak dulu paling pintar matematika. Bapak yakin, bakat itu menurun padamu.” Pulang sekolah yang sudah full-day sampai jam tiga sore, anak masih harus les Bahasa Inggris karena, “Jamanmu nanti adalah jaman globalisasi, kau harus siap.” Padahal, sampai lulus SMA, ibunya tak paham bedanya simple present dan simple past. Anak tak sempat bermain kelereng dan mengejar layangan; bahkan layanganpun sudah tak lagi dijual. Orangtua sering gagal melihat kemampuan dan kelebihan anak, tetapi bisa berkeluh kesah empat jam atas kekurangannya.
Guru-guru di sekolah swasta yang mahal demikian juga. Anak pintar atau tidak, diukur dari kemampuan mainstream saja. Kalau ditelusur, persoalannya akan merembet sampai di kurikulum nasional. Semua orang, semua anak dipaksa menjadi saintis karena hanya itulah jalan menuju kesuksesan masa depan. Kira-kira demikian.
Sehingga, anak-anak dengan bakat lain, seperti seni, olahraga dan leadership misalnya tak pernah mendapatkan tempat dan fasilitas yang dibutuhkannya untuk berkembang. Karena itu, Mar Kempong tetap hanya menjadi buruh gambar di perusahaan plastik yang tak bisa besar. Dia tak mendapatkan bimbingan memegang kuas gambar dan kanvas, untuk sekedar tidak menggambar di buku kotak-kotak saya. Kita gagal menyediakan guru gambar untuknya. Kita juga gagal menjadikan Mar Kempong maestro gambar karena seluruh masa kecilnya hanya dihabiskan untuk menghapal perkalian, bukan menggores kuas di atas kanvas. Supri, hanya berkarier menjadi tukang becak karena dia baru mengenal basket di umur 20an. Padahal, bangsa ini butuh seluruh bakat yang diberikan Tuhan. Kita butuh karya Sudjojono atau Afandi. Kita butuh melihat gemulai tari Didik Nini Thowok.
Akhirnya toh, setelah dua gol yang dia tandangkan, tak ada yang bertanya ke Boaz Solossa, apakah dia hafal 6 x 8?