Bersikap Adil Kepada Ahok: Perspektif Komparatif

wakil_gubernur_dki_basuki_tp

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Q.S Al Mumtahanah (60): 8)

Penistaan dan penghinaan terhadap agama, khususnya Islam di Indonesia, mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Mulai yang bersifat keras dan tegas menista di awal tahun 1900an bergeser menjadi multi-interpretasi di tahun-tahun belakangan. Tulisan ini mengurai beberapa kasus penistaan agama Islam dan melihat konsekuensi politik terhadap Ahok.

Saya tidak memasukkan seluruh kasus penistaan terhadap Islam. Beberapa kasus membuat saya tak sanggup menuliskannya. Bahkan dalam proses menulis ini pun, beberapa kali saya berhenti sambil menata hati. Sebabnya sederhana, saya tak rela Agama dan terutama Nabi Muhammad ﷺ dihina sedemikian rupa. Beberapa sengaja tidak saya terjemahkan karena saya tak sampai hati melakukannya. Saya juga tidak bermaksud menyebarluaskan kebencian dan penodaan. Semoga Allah yang Maha Kuasa mengampuni dosa-dosa saya.

Muhammad Cheng Ho (2015) mencatat, salah satu penistaan Islam tertua dilakukan tahun 1915 dalam surat kabar Djawi Hiswara terbitan 11 Januari. Dalam Disertasi Takashi Shiraishi, yang kemudian diterjemahkan menjadi buku Jaman Bergerak, dalam sebuah naskah berjudul,“Pertjacapan antara Marto dan Djojo” tertulis sebuah kalimat,”Highness the Prophet (Goesti Kandjeng Nabi Rasoel) drank A.V.H. gin, drank opium, sometimes also liked to smoke opium”(Shiraishi, 1986, p. 188). Kalimat ini berasal dari “Suluk Gatoloco” yang anti-Islam dan anti-Arab yang terbit di akhir 1800an. Sebagai bentuk respon dan protes bagaimana colonial tidak memperdulikan Islam, Tjokroaminoto menginisisasi terbentuknya Tentara Kandjeng Nabi Muhammad (TKNM) di Surabaya yang bertujuan untuk “to defend the honor of Islam, The Prophet and Muslims.” Demonstrasi yang dilakukan TKNM 42 tempat di Jawa dan Sumatra mampu mendatangkan massa yang banyak. Cabang TKNM dibuka di beberapa kota di Jawa termasuk Yogyakarta dan Semarang.

Kedua, pada tahun 1930, Majalah Soeara Ooemum yang diterbitkan oleh Studieclub Indonesia menghina proses ibadah haji. Dalam tulisannya Ho, mengutip dari Ajip Rosidi, “Penulis mempertanyakan manfaat naik haji, menganggap orang-orang yang dibuang ke Digul karena membela bangsa, lebih mulia dari orang-orang yang naik haji karena hanya “menyembah berhala Arab”, serta menganjurkan orang Islam untuk pergi ke Demak saja daripada ke Makkah.” Sampai dengan awal abad ke-20, bahkan masih dipercaya oleh beberapa kalangan sampai sekarang, mengunjungi Demak yang merupakan tempat dan kerajaan pertama di Jawa yang memeluk Islam, sama saja dengan beribadah haji ke Mekkah (Graaf & Pigeaud, 1989). Haji di masa itu, dibatasi oleh pemerintah colonial, karena para ulama yang kembali dari Mekkah (yang disertai belajar agama selama beberapa tahun), dicurigai akan memberikan perlawanan ke pemerintah colonial.

Ketiga, pada masa Orde Lama, di tahun 1962, segerombolan masa PKI dan Gerwani menyerbu masjid Kembangkuning Surabaya. Konflik terjadi antara NU-PKI yang ingin menjadikan masjid sebagai markas Gerwani. Konflik terhenti setelah ada proses pengadilan terhadap beberapa oknum PKI. Tetapi, ketegangan terus memanas karena PKI mementaskan beberapa kesenian traditional seperti ludruk dan wayang yang bertema anti keTuhanan (Sumber disini).

Keempat, semasa awal Orde Baru tahun 1967, beberapa gereja di Makassar dibakar karena perkataan seorang guru, HK Mangunbahan. Dalam desertasi Mujiburrahman yang bisa didownload gratis (lihat bawah), dia merulis, “H.K. Mangunbahan, a Christian religious teacher at the Economic High School, Makassar, who said to his students that Muhammad was a stupid person because he was illiterate, and that Muhammad only married his nine wives and lived in adultery with other women” (Mujiburrahman, 2006, p. 38). Berikutnya, Mujiburrahman menulis: “On the day of 1 October, the Muslim high school student organization, PII, gathered in front of a Muhammadiyah health centre in Makassar where they made a declaration stating that they were ready to die as martyrs to defend Islam. Moreover, on the same day, through the HMI radio stations, the HMI leader, Jusuf Kalla (who later, in 2004, was to become Indonesia’s vice-president), instructed all members of HMI and other Muslim organizations to come to nearby mosques at 8 p.m. After the evening prayer (‘ishā’), the Muslims started attacking the Christian buildings, and the loud-speakers of the mosques shouting out “Allahu Akbar, defend your religion, be a martyr!” The Christian buildings attacked in the incidents were 9 Protestant churches, 4 Catholic churches, 1 nuns’ dormitory, 1 Academy of Theology, 1 office of the Catholic student organization, PMKRI, and 2 Catholic schools.”

Kasus yang paling menonjol selama Orde Baru adalah angket yang dibuat Majalah Monitor yang menjadi salah satu bagian dari grup Kompas-Gramedia Oktober 1990. Majalah tersebut memberikan hadiah 5 juta rupiah yang diundi dari pembaca yang mengirimkan “Tokoh yang paling dikagumi beserta alasannya.” Dari 33.963 lembar kartu pos yang masuk, Nabi Muhammad  ﷺ berada di urutan kesebelas. Tentu saja, di tengah kuatnya cengkeraman Orde Baru, nama Rasullullah berdasarkan angket kalah dari Presiden Soeharto (5.003 responden), BJ Habibie (2.975), Soekarno (2.662), Iwan Fals (2.431), KH Zainuddin MZ (1.633), Jenderal Try Sutrisno (1.447), Saddam Hussein (847), Ny Hardiyanti Indra Rukmana (800), Menpen H Harmoko (797) dan Arswendo Atmowiloto (663) (sumber disini). Protes keras muncul, Majalah dibredel  dan Arswendo, Pemimpin Redaksi dipecat dari perkumpulan wartawan dan dihukum lima tahun bui.

Ada banyak kasus penistaan agama di jaman reformasi, mulai dari sampul kaset Iwan Fals dan Ahmad Dhani sampai kasus Wattimury Peter. Peter adalah pensiunan yang merasa terganggu oleh suara sound system masjid ketika sholat Idul Fitri 2013. Dia protes karena berisik. Oleh Rumah Sakit Pertamina, Petrus dinyatakan orang gila (lihat disini). Pun demikian, dia tetap divonis tiga tahun penjara (lihat disini).

Bagaimana dengan Ahok?

Sebaiknya lihat dulu videonya berikut ini. Ada video full (1 jam 48 menit), ada yang dipotong dan ada yang dipotong pendek sekali. Semakin lama melihat video, semakin faham konteks. Ahok, seperti pejabat pada umumnya, berbicara kemana-mana dan tidak fokus ke program perikanan budidaya yang menjadi tema dasar diskusi. 

Berikut Full Video berdurasi 1 Jam 48 Menit  yang saya temukan.

https://www.youtube.com/watch?v=UT6HwAzwKZY

Saya memilih video empat menit yang sebagian saya transkrip berikut ini, yang (saya berharap) tidak menghilangkan konteks, tetapi sepertinya cukup lengkap untuk melihat tema salah satu poin pembicaraan yang sedang dibahas Ahok (Menit 2.20-3.56):

“Jadi Bapak/Ibu juga gak usah khawatir. Ini pemilihan kan dimajuin. Jadi kalau saya tidak terpilihpun, Bapak/Ibu, saya berhentinya Oktober 2017. Jadi kalau program ini kita jalankan dengan baik pun, Bapak/Ibu masih sempat panen sama saya. Sekalipun saya tidak terpilih menjadi gubernur. Jadi saya ingin cerita ini, supaya Bapak/Ibu semangat. Jadi gak usah pikiran, “Ah nanti kalau gak kepilih, pasti Ahok programnya bubar.” Gak, saya sampai Oktober 2017. Jadi jangan percaya sama orang. Kan bisa saja di hati kecil Bapak/Ibu gak bisa pilih saya. Ya kan, dibohongin pakai Surat Al Maidah 51, macem-macem itu. Itu hak bapak/Ibu. Ya. Jadi kalau Bapak/Ibu perasaan, “Gak bisa pilih nih, karena saya takut masuk neraka”. Dibodohin gitu ya, gak pa pa. Karena ini kan panggilan pribadi Bapak/Ibu. Program ini jalan saja. Jadi Bapak/Ibu gak usah merasa gak enak. Dalam nuraninya gak bisa pilih Ahok. Gak suka ama Ahok. Tapi programnya gua kalau terima gua gak enak dong sama dia, hutang budi. Jangan. Kalau Bapak/Ibu punya perasaan gak enak, nanti mati pelan-pelan lho, kena stroke. Jadi ang, bukan anggap, ini semua adalah hak Bapak/Ibu sebagai warga DKI. Kebetulan saya gubernur mempunyai program ini. Jadi tidak hubungannya dengan perasaan dengan Bapak/Ibu mau pilih siapa.”

Para ulama berbeda pendapat terkait penistaan agama dalam kalimat Ahok,”dibohongin pakai Surat Al Maidah 51”. MUI menyatakan Ahok melakukan penistaan agama, beberapa ulama yang lain tidak, atau kalau toh salah, sudah seharusnya dimaafkan. Ahok dianggap menistakan setidaknya salah satu: Al Quran yang merupakan wahyu Allah SWT atau Ulama yang mengajarkan kebenaran Al Quran.

Berikut fatwa MUI yang menjadi sumber bagi demonstrasi 4 November.

Ada cara untuk melihat kasus Ahok dalam perspektif komparatif melihat masa lalu yang terjadi di Indonesia terhadap kasus Ahok.

Pertama, berbeda dengan kasus penistaan agama yang terjadi jaman colonial atau Orla, dalam beberapa tahun terakhir, sebenarnya relative lebih absurd. Dulu, penistaan jelas diniatkan, ditulis, diedit dan diedarkan dengan tujuan menista. Sementara, dalam kasus Monitor, terjadi ketidakjelasan kriteria tokoh. Apakah tokoh yang dimaksud yang sudah meninggal atau yang masih hidup misalnya? Di kasus Peter, orang gila dipenjara. Iwan Fals dan Ahmad Dhani, seingat saya tak pernah mendekam di penjara.

Kedua, kasus Ahok adalah satu-satunya kasus, kalau boleh disebut, selip lidah. Tidak terlihat niat Ahok untuk menistakan agama, misalnya dibandingkan dengan kasus Djawi Hiswara, Soeara Oemoem dan Mangunbahan. Waktu itu, Ahok sedang menjelaskan tentang perikanan budidaya yang akan tetap jalan apapun hasil pemilihan Gubernur. Bahkan dia menngingatkan untuk tidak memilihnya jika takut masuk neraka dan jangan merasa tidak enak jika tidak memilihnya, nanti bisa terkena stroke. Selain itu, sebagai politisi, Ahok tentu tak berniat menistakan agama yang dianut sebagian besar calon pemilihnya.

Ketiga, acara tersebut dihadiri berbagai orang dengan berbagai latar belakang. Jika terjadi penodaan agama secara terang-terangan, tentu masyarakat yang hadir sudah marah, seperti kasus Mangunbahan. Video Ahok dipotong, translasinya diedit dan diupload beberapa bulan kemudian di social media yang menimbulkan reaksi (lihat disini).

Keempat, perkatan Ahok terkait Al Maidah terjadi di paruh pertama pertemuan. Masih ada lebih dari 20 menit setelah ungkapan tersebut dilakukan. Toh, di video telihat, beberapa orang yang duduk di depan tertawa dan ada suara tertawa dari warga. Jadi menurut saya Ahok lebih kepada selip lidah, yang jika pun menistakan agama, sepertinya tidak ada niatan sejak awal untuk melakukannya.

Persoalannya menjadi lebih rumit karena Ahok saat ini menjadi kandidat, yang terkuat, gubernur DKI yang dicalonkan PDIP. Pada masa kampanye, isu sektarianisme selalu laku menjadi jualan publik. Sebagian besar yang ikut demonstrasi, adalah mereka yang tidak faham konteks dan tidak melihat video secara penuh. Berbekal potongan video dan fatwa MUI, mereka meneriakkan jihad. Padahal, fatwa-fatwa MUI lain, misalnya terkait rokok, tidak diikuti. Secara politik, Ahok akan terhenti di pemilihan gubernur, legitimasinya turun drastis karena ada kemungkinan dia ditahan mengingat ancaman hukuman lima tahun penjara.

Tetapi yang penting menjadi pelajaran untuk kita sebagai anak bangsa, adalah dampak social media yang begitu luas dari kasus Ahok ini. Pertama, kita lebih mudah masuk dalam fitnah. Dalam sebuah pesan Whats App berantai yang ditujukan untuk demonstrasi 4 November, beberapa isinya sudah dikemas dengan tujuan untuk memancing emosi massa. Misal disini.

Kedua, jika dibandingkan dengan seluruh kasus penistaan agama yang pernah ada, terdapat kemunduran serius dalam kehidupan kita sebagai sebuah bangsa yang dibangun di atas pondasi kemajemukan. Sekarang ini, di era social media, kita terlalu cepat reaktif, tidak gampang memaafkan, intoleran dan reaksioner terhadap sesuatu yang belum tentu benar. Semua ini saya kira, adalah pekerjaan rumah paling serius dalam menata Indonesia ke depan. Baik pendukung maupun penentang Ahok menurut saya, akan rugi besar jika pondasi bangsa ini harus ditata ulang.

Bacaan Lanjutan:

Graaf, H. J. d., & Pigeaud, T. G. T. (1989). Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Kajian Sejarah Politik Abad ke-15 dan ke-16 (Vol. 2): Grafitipers.

Ho, M. C. (2015, 20 September 2015). Menista Islam dari Masa ke Masa, Majalah Hidayatullah.

Mujiburrahman. (2006). Feeling Threatened; Muslim-Christian Relations in Indonesia’s New Order. (PhD), University Amsterdam, Amsterdam.  Download disini

Shiraishi, T. (1986). Islam and Communism: An Illumination of the People’s Movement in Java, 1912-1926. (PhD), Cornell University, Cornell.  Download disini (khusus Single Sign On UGM)