Kedaulatan Rakyat, Analisis, 10 Desember 2016
MAULUD Nabi, upaya untuk memperingati hari lahir Baginda Rasulullah Muhammad SAW memang tidak dikenal dalam fase awal penyebaran Islam. Acara Mauludan pertama kali dilakukan oleh dinasti Fatimiyah di Mesir pada akhir abad ke-11. Mulanya hanya un- tuk kalangan terbatas tetapi kemudian menyebar dan menjadi acara yang dinanti masyarakat umum.
Di beberapa tempat, Maulud sayangnya justru dijadikan ajang untuk mereproduksi kembali nilai-nilai paganisme yang menjadi alasan utama turunnya agama Islam. Tetapi tidak demikian yang terjadi di Indonesia.
Beberapa sejarawan, seperti Ricklef dan De Graff memperkirakan bahwa tradisi Maulud Nabi sudah ada sejak awal Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke-13. Setelah beberapa perang yang meruntuhkan Majapahit dan mengorbitkan Demak, Maulud digunakan sebagai media dakwah penyebaran Islam yang wujudnya masih terasa di Kasultanan Yogyakarta dengan peran besar para Wali.
Wali Sanga terbelah menjadi dua kategori, mereka yang menyebarkan Islam di daerah pesisir dan mereka yang masuk ke pedalaman. Penyebaran di pedalaman jauh lebih sulit karena masyarakatnya homogen dan teguh memegang adat. Oleh karena itu, para Wali, termasuk Sunan Kalijaga, Sunan Bonang dan Sunan Muria menggunakan budaya sebagai medium dakwah. Sekaten adalah contoh paling indah dari perpaduan ini. Mereka menarik sebanyak-banyaknya umat lewat seni yang sudah berkembang.
Tujuh hari menjelang 12 Rabiul Awal, dua gamelan Kraton, Kiai Nagawilaga dan Kiai Guntur Madu dibunyikan terus-menerus kecuali waktu salat. Ada juga tradisi Udhik-udhik dimana Sultan membagikan koin kepada rakyat. Jika dibandingkan saat ini adalah konser terus menerus bintang pop seperti Noah, Iwan Fals, Raisa dan lainnya.
Bedanya, tembang-tembang yang dibunyikan sarat ajaran Islam dengan makna mendalam bagi kehidupan. Disitulah nilai-nilai agama disisipkan. Setelah tertarik bunyi gamelan, pelan-pelan masyarakat diajak untuk masuk Islam dan salat di Masjid. Itulah mengapa, dua gamelan dikeluarkan dari Kraton dan diletakkan di halaman Masjid Gedhe.
Udhik-udhik adalah membagikan koin yang waktu itu bernilai tinggi sebelum hadirnya uang kertas. Nilai nominal koin sama dengan nilai intrinsiknya. Siapa yang tidak tertarik dibagikan uang, apalagi oleh Sultan dan kerabat? Bahkan ketika nilai intrinsik koin menjadi semakin tidak bermakna, Udhik-udhik tetap menarik minat masyarakat. Mereka umumnya percaya bahwa koin yang didoakan oleh Sultan dapat menjadi berkah untuk kehidupan dan pekerjaannya.
Puncak dari acara Sekaten adalah Grebeg Mulud. Grebeg Maulud yang lebih besar daripada Grebeg Sawal dan Grebeg Besar, merupakan bukti paling penting legitimasi Kraton Yogyakarta dan Sultan yang bertahta. Mark Woodward (2011) misalnya, membandingkan beberapa Grebeg sejak tahun 1980an. Pada tahun 1988, Grebeg Maulud kurang peminat karena Sultan Hamengku Buwono IX mangkat hanya beberapa minggu sebelumnya. Tahun berikutnya, 1989, Grebeg Maulud merupakan tes legitimasi bagi Sultan Hamengku Buwono X yang dinobatkan 7 Maret 1989. Lukisan foto diri Sultan yang besar diletakkan di depan Alun-alun Utara. Waktu itu, khalayak membludak.
Tahun ini adalah kali kedua Grebeg Maulud diadakan setelah Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan Sabda Raja dan Dhawuh Raja. Pada Grebeg Maulud lalu, antusias memasyarakat tetap tinggi. Tiket seharga Rp 10 ribu yang dijual 7 ribu lembar untuk dapat melihat kirab di dalam Pagelaran habis tiga jam sebelum acara dimulai. Pendeknya, puluhan ribu orang berkumpul menyaksikan Grebeg Maulud.
Sudah dalam beberapa tahun terakhir Sultan Hamengku Buwono X mewakilkan tradisi Udhik-udhik kepada adik-adiknya. Menariknya, Putri-putri Sultan mulai hadir dalam acara budaya yang sebelumnya didominasi laki-laki. Udhik-udhik beberapa hari lalu misalnya, empat putri Sultan juga hadir untuk membantu tiga pamannya membagikan koin. Kebersamaan juga muncul dalam tradisi Mubeng Beteng beberapa bulan lalu. Ini dapat dimaknai bahwa setidaknya semua sepakat bahwa tradisi harus tetap dilanjutkan meskipun ada perbedaan pendapat terkait suksesi. Karena tradisi adalah basis untuk eksistensi Kraton.
Ringkasnya, Sekaten bagi masyarakat Jawa tidak hanya merupakan upaya untuk berdakwah. Tetapi juga perwujudan legitimasi.