APABILA anda merangkum empat minggu berturut-turut selama pemerintahan SBY (2004-2014) lalu mencari tindakan SBY yang lebih reaktif dibandingkan empat minggu terakhir, anda akan kesulitan. Satu sisi, ini aneh karena biasanya seseorang diterpa kritik ketika berada pada puncak kuasa penentu kebijakan. Di sisi lain, bisa dipahami melihat karakter pribadi SBY.
Sedikit mundur ke belakang, pada 2 November 2016, SBY berpidato di luar kebiasaan. Gaya pidato SBY yang selama sepuluh tahun terjaga, terkonsep dan dilatih berulang-ulang, tiba-tiba berantakan menanggapi isu aktor intelektual aksi 411. SBY terlihat emosional dan sering berbicara di luar teks. Ujung-ujungnya, bukan penampikannya terhadap isu, tetapi justru guyonannya tentang ‘lebaran kuda’ yang menguasai media sosial. Seminggu kemudian, istilah ‘lebaran kuda’dilaporkan alumni HMI ke polisi.
Sejak akhir Januari, SBY semakin rajin mentweet, seiring dengan penurunan hasil survey AHY di Pilkada. Pada 20 Januari, SBY mencuit. ” Ya Allah, Tuhan YME. Negara kok jadi begini. Juru fitnah & penyebar hoax berkuasa & merajalela. Kapan rakyat & yg lemah menang?” Berikutnya pada 4 Februari, SBY menanggapi proses persidangan Ahok dimana ditengarai teleponnya ke ketua MUI sekaligus mantan Watimpresnya KH Ma’ruf Amin menyebabkan ke luarnya Sikap Keagamaan MUI. SBY kemudian melakukan jumpa pers tentang bahayanya penyadapan ilegal. Padahal tim kuasa hukum Ahok sama sekali tidak menyebut penyadapan, hanya ‘kami memiliki bukti’. Masih ada beberapa cuitan. Pada semua peristiwa ini, SBY selalu mengaitkan dengan penguasa, terutama presiden.
Masa Pensiun
Para pemimpin eksekutif umumnya menikmati masa pensiun yang indah. Lihatlah Obama yang minggu lalu berlibur di Karibia, menikmati ombak, laut dan papan selancar. Tapi sepertinya, SBY mengikuti jalan Megawati. Bertanggung jawab terhadap para penggemarnya yang memutuskan mendirikan Partai Demokrat.
Seorang presiden biasanya akan menghadapi gelombang terpaan ketika menjabat. Waktu berkuasa, dirinya bertanggungjawab terhadap kebijakan yang mengubah nasib ratusan juta orang dan menentukan arah ribuan triliun rupiah. Di antara yang berubah nasibnya, ada yang berubah menjadi lebih baik, ada yang lebih buruk. Mereka yang dirugikan (atau yang merasa ada yang salah dan kurang) akan berteriak dan mengkritik presiden. Seluruh proses ini wajar dalam demokrasi.
Tetapi tidak bagi SBY. SBY lebih reaktif terhadap serangan politik akhir-akhir ini dibandingkan dengan saat dirinya menjadi presiden. Pertanyaannya, apakah SBY berubah kepribadian menjadi ahli curhat setelah tak lagi berkuasa? Mengapa netizen tidak menjadi iba tetapi justru menjadikannya lelucon nasional seperti kasus ‘lebaran kuda?’
Sebenarnya tidak ada yang berubah dari SBY. Dari sejak sebelum menjadi presiden, SBY mahir menghimpun simpati publik dengan jurus playing victim, merasa menjadi korban. Pada 1 Maret 2014, karena SBY sering mengadu ke wartawan, Taufik Kemas menyebutnya sebagai ‘jenderal kekanak-kanakan’. SBY mundur dari kabinet Megawati sepuluh hari kemudian. Dalam beberapa bulan, popularitasnya meningkat tajam dan akhirnya memenangkan Pilpres 2004.
Selama masa kepresidenannya, SBY tak terhitung memainkan jurus menjadi korban. Pendeknya, dari dulu sampai sekarang SBY ya seperti itu, tidak ada yang berubah. Apabila saat ini jurus itu tak lagi ampuh ada dua penyebabnya: pertama, tak ada lagi instrumen, baik institusional maupun personal yang siap memperbaiki citra mantan Presiden. Kedua respons netizen yang berubah selera.
Baik kawan maupun lawan politik paham betul bahwa kelemahan politik SBY ada di upaya citra individualnya. SBY akan lambat merespons kritikan terkait kebijakan, tapi sigap merespons isu yang menyerang pribadi. Kawan politiknya akan menyanjungnya sedemikian rupa karena sadar SBY senang ketika dipuja dan dicitra. Di kongres PD misalnya, ada berjam-jam bagian acara yang ditujukan hanya untuk menunjukkan betapa hebatnya SBY. Tentu saja ada musik karya SBY yang totalnya 40 lagu di lima album yang menjadi hiburan peserta kongres.
Lawan politiknya demikian juga, akan menyerang sisi-sisi yang akan menurunkan citra SBY secara personal, karena disitulah reaksinya muncul. Saking pentingnya citra ini, sampai muncul istilah ‘pencitraan’ selama pemerintahannya. Jika dilanjutkan dan direspons terlalu emosional, saya khawatir akan habis warisan politik SBY. Sekarang semakin banyak yang tahu, bahwa untuk membunyikan jangkrik, hanya ujung bunga rumput dan putaran yang tepat.