Kebijakan Corona

Kedaulatan Rakyat, 17 Maret 2020

Di tengah wabah Corona, kebijakan apapun akan ada kekurangan dan kelebihannya. Dalam studi kebijakan publik, fenomena baru yang terjadi dengan cepat dan membutuhkan respon pemerintah yang cepat seringkali tidak cukup efektif menyelesaikan masalah. Tulisan ini akan memberikan peta pilihan kebijakan masing-masing pemangku kebijakan berikut plus-minusnya.

Sebagai negara dengan sistem politik yang terdesentralisasi, tidak ada kebijakan negara lain yang mudah begitu saja kita tiru. Memang dalam kajian kebijakan publik ada yang disebut lesson drawing yang mengambil pelajaran dari negara lain, tetapi konteks yang berbeda membuat kebijakan yang saat ini dipilih negara lain tidak mudah kita tiru.

Setidaknya di dunia yang terjangkit Covid-19 atau Corona memilih dua pilihan kebijakan. Pertama, China menutup Kota Wuhan dan Provinsi Hubei dan beberapa area lainnya untuk menangggulangi virus. Penduduk dilarang bepergian sama sekali atau hanya untuk kepentingan yang betul-betul penting yang dikenal dengan lockdown. Kebijakan ini efektif menanggulangi virus. Walaupun belum ada obatnya, antibody manusia membuat jumlah yang terinfeksi menurun drastis. Disaat kita memindah sekolah menjadi online, Pemerintah Hubei membuka kembali sekolah yang ditutup sejak Januari.

Kebijakan lockdown, dengan beberapa variasinya ditiru di Italia dan Spanyol yang tingkat penularannya juga eksponensial (meningkat tajam). Warga di Italia dilarang keluar rumah kecuali ke supermarket atau ke apotik. Semua restoran tutup dan interaksi warga dipersulit untuk meminimalisir penularan.

Kebijakan partial lockdown ini membawa konsekuensi ekonomi yang luar biasa besar. Di Hubei saja, 50 juta orang mengalami isolasi dan pabrik-pabrik elektronik tutup memberi dampak ke seluruh dunia. Bahkan, citra satelit menunjukkan polusi udara yang biasa menyelimuti China, berkurang signifikan.

Kebijakan kedua dengan memberikan kebebasan bergerak bagi masyarakat seperti diterapkan di Singapura dan Korea Selatan. Pemerintah menyarankan pergerakan dibatasi atau social distancing tetapi tidak ada larangan bepergian. Kebijakan ini telah membuat pengidap Covid-19 di dua negara tersebut terkendali. Dampak ekonomi tetap ada tetapi tidak separah lockdown. Tetapi karena dianggap kurang efektif, mulai hari ini, Singapura mewajibkan karantina mandiri 14 hari bagi yang baru pulang dari luar negeri. Sebagai negara transit, Singapura dihadapkan pada banyak pilihan sulit.

Indonesia menghadapi beberapa pilihan yang tidak mudah karena kondisi yang ada. Fasilitas kesehatan kita tidak semaju Singapura dan Korsel, tetapi juga tidak seotoriter China dengan penduduk yang tidak setaat dan sepercaya Jepang pada pemerintahannya.Sehingga, kita tidak bisa serta merta latah lockdown tanpa memikirkan konsekuensi ekonomi tetapi juga tidak bisa gegabah meremehkan persebaran virus sehingga nantinya fasilitas kesehatan kewalahan menampung pasien. Jika ini terjadi, inisiatif untuk mengurung diri akan dengan sendirinya terjadi, tetapi bukan karena anjuran pemerintah, tetapi ketakutan masyarakat. Ujung-ujungnya, ekonomi akan terpukul.

Apabila terjadi lockdown di Jakarta sebagai pusat perputaran 70% ekonomi Indonesia, saham akan rontok, rupiah jatuh dan ekonomi berantakan. Selain itu, bukan para kelas menengah yang akan dirugikan, tetapi kaum miskin atau yang rawan miskin yang akan kembali menjadi miskin. Jumlahnya tidak kurang dari 50 juta penduduk. Kalau ini yang terjadi, bukan kematian karena Corona yang terjadi, tetapi kematian karena kurangnya nutrisi.

Sistem politik kita yang terdesentralisasi juga terlihat tidak efektif saat ini. Pemerintah pusat dan daerah berpikiran sendiri-sendiri. Kondisi ini tidak hanya terjadi di tingkat pemerintah. Di unit kecil seperti UGM, sebelum muncul kebijakan kuliah daring, Departemen Teknik Nuklir dan Fisika telah terlebih dahulu mengeluarkan kebijakan kuliah daring secara sepihak.

Jika logika yang tidak seiring dan seirama ini terus berlangsung, kesatuan kita sebagai sebuah bangsa untuk menghadapi Corona secara bersama-sama akan sulit terwujud. Kita harus melangkah seirama seperti baris-berbaris, bukan menciptakan panggung baru di tengah situasi yang keruh. Pemerintah pusat harus mengambil langkah-langkah strategis yang diikuti dan ditaati daerah.

Apapun pilihan kebijakan pemerintah pusat dan implementasinya di daerah saat ini, dampak ekonominya akan tetap terasa. Sayangnya, yang merasakan dampak paling berat adalah mereka yang lemah secara ekonomi.