Kedaulatan Rakyat, 1 Juni 2020
Kemarin saya mengantarkan anak saya ke praktek bersama dokter gigi. Begitu sampai, Satpam meminta saya untuk melepaskan sepatu dan menggantinya dengan sandal yang dikemas di dalam kantong plastik. Setelah itu, tangan kami bersihkan dengan hand sanitizer dan baru diijinkan masuk. Di pintu, tertulis pengumuman hanya yang bermasker yang boleh masuk.
Di dalam ruang tunggu, seluruh staf, mulai dari admin, perawat dan dokter gigi mengenakan masker, pelindung wajah dan baju model hazmat yang terbuat dari kain spandbond yang mirip digunakan di kantong belanja. Beberapa kursi tunggu dijaga jaraknya dan pasien tidak boleh ditunggui di dalam. Seluruh alat di ruang periksa dibersihkan untuk pasien selanjutnya. Untuk semua layanan tambahan itu, mereka meminta saya menambah 50 ribu rupiah.
Inilah barangkali apa yang sering disebut belakangan ini sebagai new normal, normal baru atau tata kehidupan baru. Virus Corona belum ditemukan vaksinnya, sementara kehidupan tetap harus berjalan. Ekonomi tetap harus berputar dan manusia mencoba beradaptasi menghadapinya. Pertanyaannya adalah kapan, tahapan dan bagaimana normal baru itu berlangsung.
Pertama, terkait persoalan waktu. Beberapa negara yang memulai normal baru betul-betul memastikan bahwa kurva epidemiologis sudah menunjukkan tren menurun setelah lembah dan puncak. Pembatasan sosial dan lockdown dimaknai sebagai upaya menunda dan menghambat persebaran virus tetapi tidak betul-betul menghilangkannya. Sehingga, ketika lalu lintas manusia dibatasi hanya di negara tersebut, perilaku manusia yang tinggal di dalamnya bisa diarahkan untuk tidak tertular dan menularkan virus.
Persoalannya, kurva epidemiologis Indonesia belum menemukan bentuk. Apabila penambahan tertinggi pada 21 Mei dimaknai sebagai puncak, lalu sedikit menurun, tren tiga hari terakhir ini justru meningkat lagi menjadi sekitar 700 kasus/hari. Kurva Indonesia masih fluktuatif. Fluktuasi ini diakibatkan karena kasus yang menurun di sebuah provinsi, tetapi meningkat lagi di provinsi lainnya.
Sehingga, apabila normal baru akan diberlakukan, penting menentukan provinsi dan daerah mana yang seharusnya bisa memberlakukan lebih dulu. Dari daftar 25 kabupaten/kota yang akan memberlakukan normal baru, terdapat beberapa daerah merah. Contoh paling mudah adalah Surabaya yang justru bersiap normal baru ketika berada di puncak penularan.
Kedua terkait dengan tahapan. Berapa tahapan yang dipersiapkan dan apa yang harus dilakukan masih belum jelas. Hal ini berbeda dengan beberapa negara lain. Australia, misalnya menerapkan tiga langkah dan panduan untuk sepuluh sektor publik, mulai perkumpulan, restoran , retail sampai akomodasi. Kumpul-kumpul dibatasi mulai 10 orang (tahap 1), 20 orang (tahap dua) dan 100 orang (tahap 3). Jumlah sama juga berlaku dalam penyediaan kursi di cafe dan restoran. Perpindahan tahap demi tahap akan diumumkan oleh pemerintah dan tahap berikutnya hanya akan dibuka ketika tahap sebelumnya tidak ada peningkatan kasus.
Tahapan ini berhubungan dengan kapan tahap normal baru dimulai. Apabila terlalu cepat memulai dan penularan masih tinggi, perubahan tahap akan sulit dievaluasi. Akibatnya, akan muncul gelombang penularan baru. Hal berikutnya yang patut diperhatikan adalah kedisiplinan warga karena tak mungkin mengandalkan penertiban oleh polisi.
Ketiga terkait dengan bagaimana masing-masing sektor akan menerapkan normal baru yang akan berbeda tergantung pada resiko penularannya. Panduan ini diperlukan agar setiap sektor swasta dan pemerintah mendapatkan gambaran yang mudah dipahami sehingga tidak salah menentukan takaran keamanan. Terlalu ketat akan menyebabkan membengkaknya biaya yang harus ditanggung konsumen, di sisi lain terlalu longgar akan memperbesar resiko penularan.
Satu hal yang pasti, kita tidak mungkin kembali lagi ke masa sebelum Corona melanda dan dipaksa beradaptasi sampai vaksin tersedia untuk banyak orang. Normal baru bisa dimaknai waspada karena semua orang bisa menjadi pembawa dan semua benda bisa menjadi perantara virus.