Raja Para Milenial

Setiap raja akan menghadapi tantangan jamannya sendiri. Tetapi, Sultan Hamengku Buwono X yang dalam hitungan kalender Jawa genap bertahta selama 31 tahun pada 7 Maret 2020, mungkin salah satu Raja Yogyakarta yang paling lengkap tantangannya.

Memulai menjadi raja di rezim Orde Baru, pilihan negoisasi politik Sultan adalah dengan menekankan fungsi keraton sebagai pusat budaya. Penantang politik di era itu sangat besar resikonya. Toh demikian, selama sepuluh tahun menjadi Sultan, Suharto tak pernah memberi peluang Sultan menjadi Gubernur DIY, hingga Suharto lengser tahun 1998.

Setelah Suharto jatuh, gerakan reformasi di Yogyakarta tidak berhenti dan terus menyuarakan keinginan untuk menjadikan Sultan sebagai Gubernur DIY. Massa di DPRD DIY berganti dari mahasiswa menjadi elemen rakyat Yogyakarta. Di tengahg gejolak politik tersebut, Sri Paduka Paku Alam VIII yang menjadi de-fakto gubernur sejak 1949, mangkat, meninggalkan Yogyakarta tanpa pemimpin. Sultan menjadi Gubernur DIY pada Oktober 1998 di tengah gejolak disintegrasi yang melanda Indonesia.

Langkah Ngarso Dalem di dunia politik tidak berhenti. Kebudayaan dijadikan salah satu pertimbangan pengajuan aturan jangka panjang bagi DIY. Di ditengah proses negoisasi itu, beberapa peristiwa penting sempat terjadi: Sultan sumpat menolak menjadi Gubernur DIY berikutnya di 2007, perpanjangan jabatan gubernur di 2008 dan 2011.  Gerakan rakyat mendorong Sultan menjadi Presiden pada 2009 yang gagal dan suksesnya UUK terutama menyangkut pengembalian tanah SG/PAG di tahun 2012.

Dengan pengalaman berinteraksi dengan empat presiden, saat ini Sultan berhubungan dengan Jokowi yang menuntut perubahan cepat terutama terkait dengan infrastruktur. Ada capaian-capaian penting dan beberapa catatan yang patut dipenggalih.

Pertama, pembangunan YIA merupakan salah satu yang tercepat di dunia. Proses terasa lambat pada saat pembebasan lahan, tetapi melesat cepat di proses pembangunan dan rencananya akan beroperasi penuh di akhir bulan Maret. Hal ini merupakan sinergi yang ideal antara pemerintah pusat dan daerah. Harapannya, pertumbuhan ekonomi Yogyakarta tidak lagi hanya berpusat di Utara dan Barat, tapi bisa juga mengangkat Yogyakarta Selatan yang selama ini jauh tertinggal.

Kedua, pembangunan tol akan menambah akses ke Yogyakarta. Setelah tol selesai, jarak Jakarta-Yogyakarta dapat ditempuh hanya dalam 6-7 jam dan ke Surabaya dapat dicapai dalam 4 jam. Hal ini diharapkan mampu menciptakan daya tarik investasi dan pariwisata.

Ketiga, Sultan berada di titik persimpangan antara mempertahankan Yogyakarta sebagai ‘Yogyakarta’ yang dibayangkan sebagai kota yang murah, tradisional dan eksotis, dengan tuntutan modernisasi. Ini bukan pilihan mudah karena dengan hadirnya banyak mall, apartemen dan hotel memberikan tantangan baru bagi warga DIY ataupun turis yang ingin bernostalgia dengan ke-yogyakartaan.

Menghadapi tuntutan kemajuan ekonomi, Sultan mengawal berubahnya sebagian area Yogyakarta dari area rural ke urban. Hal ini membawa konsekuensi tantangan perkotaan yang kompleks. Isu-isu seperti sampah, transportasi, air tanah, polusi dan kemacetan yang 20 tahun sebelumnya tidak ada, mendadak ramai diperbincangkan. Harga tanah melambung, melampaui kemampuan warga Yogyakarta untuk membelinya.

Di tengah arus modernisasi tersebut, Yogyakarta dihadapkan pada persoalan-persoalan baru. Yogyakarta dituntut untuk dapat menjadi daya tarik ekonomi menghadapi ketertinggalannya dengan provinsi lain di Jawa. Sejak tahun 1970an, DIY dikenal sebagai provinsi dengan pertumbuhan yang paling buruk di Jawa. Yogyakarta juga kalah bersaing menarik investasi besar. Investor cenderung memilih Jawa Tengah atau Jawa Timur untuk berinvestasi.

Selanjutnya, ketimpangan sosial tertinggi di Indonesia tentu bukan predikat yang baik di tengah upaya menghadapi bonus demografi. Tren disparitas ekonomi di Yogyakarta melampaui rata-rata nasional dalam beberapa tahun terakhir harus segera diatasi dengan cermat.

Raja Yogyakarta juga dihadapkan pada tantangan menghadapi milenial di era digital 4.0 dimana teknologi menyelesaikan banyak persoalan dasar manusia. Ketiadaan batas yang dijembatani dengan teknologi dapat menjadi peluang Yogyakarta untuk bersaing di era global. Anak-anak muda kreatif yang sukses mengembangkan startup bisnis dari Yogyakarta patut terus diberikan dukungan dan apresiasi. Walaupun belum sebergairah Jakarta atau Bandung, Yogyakarta memiliki peluang untuk bisnis digital. Salah satunya karena daya kreatifnya. Inilah peluang baru yang sayang untuk dilewatkan.