Tahun ini, tujuh tahun yang lalu 4 Agustus 2006, seorang guru saya Riswandha Imawan dipanggil Allah. Waktu itu hari Jumat, mobil berjalan tergesa ke Panti Rini, tempat Pak Ris dirawat setelah pingsan di Bandara Adisucipto. Ketika sampai di Maguwoharjo, SMS duka datang dari kolega yang terlebih dulu sampai.
Dua hari sebelumnya, Rabu sore, Pak Ris yang sangat baik terhadap kami, asisten di Jurusan Ilmu Pemerintahan, mentraktir Mie Pasar Baru bagi semua asisten yang ada di kantor sore itu. Waktu itu, Mie Pasar Baru memang baru dibuka di Yogyakarta. Pak Ris tidak ikut makan mie. Hanya membayar dan pergi. Sambil menunggu pesanan di teras kantor, Pak Ris sempat mengeluhkan sakit pegal di dada sebelah kiri. Saya tak tahu, hanya menyarankan
“Mungkin hanya perlu istirahat dan dipijat Pak Ris.”
Tentu saja, saran yang percuma karena beliau banyak aktifitas.
Dalam empat tahun sebelum meninggal, saya cukup dekat dengan sosok Pak Ris. Saya adalah asistennya asisten untuk proyek penyiapan paket UU Politik yang menjadi kepakarannya. Pernah suatu ketika, karena tak percaya diri melamar sekolah ke luar negeri, saya curhat ke Pak Ris saat sarapan pagi di sebuah hotel di Jakarta. Pak Ris yang selalu memotivasi murid-muridnya itu malah menunjukkan bagaimana dia lebih parah bahasa Inggrisnya ketika sekolah Master di NIU. Mungkin itu cuma caranya memotivasi saya, tapi paling tidak itu berguna.
Menjadi mahasiswa Pak Ris selalu merasa beruntung. Dua setengah jam pelajaran di kelas itu seperti menonton hiburan stand up comedy tanpa scenario. Seluruh tokoh Orba bisa menjadi cerita lucunya di depan kelas. Pak Ris punya bakat menghibur yang luar biasa.
Pernah suatu ketika, saat bertemu dengan alumni di Universitas Pattimura Ambon, mereka terus bercerita tentang sosok Pak Ris. Suatu ketika di masa Orba, dengan muka yang serius (didukung kumis khasnya) Pak Ris mengatakan
“ Saya tak akan memulai kelas sebelum ada yang tepat menjawab mengapa Pak xxxx diangkat pak Harto menjadi Menteri”.
Seperempat jam berlalu dan tak ada satupun yang bisa menjawab. Setiap jawaban selalu dinilai Pak Ris
“baru 50%” atau “baru 30%”.
Setelah 20 menit tak ada jawaban yang memuaskan, akhirnya Pak Ris menyerah, jawabannya adalah
“karena Pak Menteri XXX itu jika malam akan diberi gincu dan sanggul untuk menggantikan Bu Tien !!!”
Demikianlah, lelucon itu dilakukan di saat Orde Baru mencapai puncak kekuasaannya.
Begitulah, Pak Ris yang saya kenang… sekali lagi selamat jalan, terimakasih atas pelajaran berharga yang telah bapak berikan.