Konflik Keraton Solo

DOBRAK-PINTU-solo-260813-Sunaryo-HB-solopos

Kedaulatan Rakyat, Analisis, 29 Agustus 2013

Konflik keraton Solo yang memuncak Senin lalu, meninggalkan corengan hitam terhadap proses perebutan kuasa, yang sepertinya memang nampak berharga untuk diperebutkan.

Konflik bermula tahun 2004 ketika Pakubuwono XII tidak menunjuk pewaris tahta Kasunanan Solo. Sejarah mencatat, tak cukup banyak yang bisa diapresiasi dari kepemimpinan PB XII yang bertahta sejak 1945. Pada saat masa awal menjabat, Sunan muda dihadapkan pada pilihan sulit untuk mendukung republik. Tak seperti Sultan HB IX yang supportif, Sunan terkesan menunggu dan pada akhirnya kehilangan momentum. Dirinya sempat diculik Barisan Benteng dan akhirnya status pemerintahan mandiri diturunkan menjadi karisidenan karena dianggap gagal mengelola ketertiban Surakarta.

Pada masa colonial, Belanda yang hanya memiliki SDM terbatas, cenderung memanfaatkan aristokrat lokal untuk menjamin stabilitas daerah. Dengan aristokrat ini, Belanda membuat kontrak jangka panjang dan pendek. Sebagai imbalannya, bangsawan lokal mendapatkan konsesi dari Belanda. Satu-satunya aristokrat yang kritis terhadap kontrak Belanda hanyalah Sultan HB IX (Cribb 2000) yang akhirnya setuju bertanda tangan setelah menerima bisikan leluhur. Jepang tak banyak merubah kondisi ini karena fokusnya hanya memenangkan peperangan. 

Setelah tak cukup piawai di awal kepemimpinan, PB XII juga tak cukup baik di akhir karena tak menunjuk penerus tahta.  Konflik terjadi diantara saudara-saudara lain ibu yang jumlahnya cukup banyak. Dua pangeran yang kemudian masing-masing mendeklarasikan diri di tahun 2004 adalah Sinuhun Hangabehi dan Sinuhun Tedjowulan. Hangabehi, putra tertua, bertahta di dalam keraton dengan dukungan utama dari saudara satu ibunya termasuk Gusti Moeng. Tedjowulan bertahta di luar keraton dengan dukungan saudaranya yang merasa dirinya lebih mampu memimpin keraton.

Setelah rekonsiliasi tahun 2012 yang memberikan jabatan Mahapatih kepada Tedjowulan, konflik tak juga berakhir. Gusti Moeng dan saudara-saudaranya tak setuju dengan rekonsiliasi, membentuk Lembaga Dewan Adat. LDA ini yang menyewa pendekar untuk menyandera dwitunggal (PB XIII dan Mahapatih) dan melakukan kudeta terhadap PB XIII yang diikuti drama penjebolan pintu keraton oleh massa yang khawatir keselamatan PB XIII. Ada yang menarik dari konflik ini.

Pertama, konflik ini terjadi saat proses judicial review terhadap UU 10/1950 tengah berlangsung. Peraturan ini menghapus Gouvernement Soerakarta yang diakui Belanda sampai tahun 1942 (Cribb 2000) dan pengakuan kekuasaan oleh Soekarno di awal kemerdekaan. Praktis sejak saat itu, Kraton Solo menjadi tak lagi berwibawa karena kehilangan kontrol terhadap daerah tradisionalnya, sama seperti puluhan kerajaan lain di luar Jawa.

Dengan dibatalkannya UU 10/1950, para ningrat di Solo berharap mendapatkan kembali area yang hilang tersebut. Tetapi konflik ini menunjukkan dengan jelas, tanpa stabilitas politik di internal keraton, bagaimana mungkin memberikan kuasa lebih di luar tembok keraton?

Kedua, konflik meruntuhkan wibawa Keraton Surkarta di masyarakat.  Kecanggihan media membuat konflik ini dapat dengan mudah terekam awam melalui televisi. Ternyata perilaku keturunan langsung raja yang hidup di dalam tembok keraton tak lebih baik dari konflik yang sering ditayangkan sinetron. Aksi tersebut menjadi ingatan kolektif masyarakat atas pelanggaran langsung pranata kraton yang selama ini dipercaya.

PB XIII tampaknya harus segera mengambil inisiatif untuk melakukan rekonsiliasi dengan adik-adiknya, yaitu adik kandung, adik tiri dan adik ipar yang jumlahnya puluhan. Hal ini sekaligus menjadi tantangan dan bukti kepemimpinan PB XIII, baik di antara bangsawan keraton maupun untuk masyarakat.

Sekitar 250 tahun lalu, misalnya dalam pemberontakan RM Said dan Mangkubumi, konflik diakhiri dengan pembagian sumber material yaitu wilayah keraton. Saat ini, negoisasi tetap bisa dilakukan dengan pembagian kewenangan dan urusan internal keraton. Tanpa kepemimpinan kuat, konflik nampaknya masih akan panjang walaupun hanya berinti pada putra-putri dan menantu PB XII

Konflik politik yang tak melibatkan identitas dan kepercayaan, hampir selalu bisa diselesaikan dengan pembagian sumber ekonomi. Toh, saat ini hibah dari pusat dan provinsi juga ditahan. Jangan sampai berebut pepesan kosong dengan menghancurkan warisan sejarah yang dibangun para leluhur sejak empat abad silam. Semoga saya tak menjadi saksi berakhirnya Keraton Surakarta.