Partai dan Korupsi

Kedaulatan Rakyat, Analisis, 21 Oktober 2013. Download PDF

UnknownDalam empat tahun sejak pemilu 2009, berita politik di Indonesia dihiasi dengan potret buram korupsi yang dilakukan oleh petinggi atau pengurus partai politik. Walaupun perilaku korup wakil rakyat yang terhormat tersebut sudah terjadi sejak 1999, cakupannya berbeda. Pada periode 1999-2004 korupsi dilakukan berjamaah oleh seluruh anggota dewan di daerah tanpa pandang bulu. Setelah selesai menjabat, mereka bersidang bersama di ruang penjara. Sekarang menyasar pengurus pusat di Jakarta.

Sejak tahun 2009, korupsi menjadi isu politik yang dimainkan secara bergiliran. Tak pelak, dukungan terhadap partai, dilihat dari survey, melorot tajam. Sejak tiga  tahun lalu, korupsi menerpa partai Demokrat, meruntuhkan elektabilitas partai sampai dibawah 10%. Tiga bulan lalu isu korupsi menerpa PKS, yang mengancamnya gagal lolos batas minimal di DPR. Sejak dua minggu ini, korupsi menerpa partai Golkar. Hanya tinggal PDIP lah partai besar yang relatif masih aman. Mari kita bahas satu-persatu.

Jika tidak didera isu korupsi, bukan tidak mungkin Anas Urbaningrum menjadi presiden RI. Anas memiliki semua kriteria yang dibutuhkan, memiliki jaringan kuat, muda dan berpengalaman. Dia menjadi ketua HMI tahun 1997 (28 th) dan dua tahun berikutnya terlibat dalam perumusan paket UU politik, lalu menjadi salah satu tim seleksi partai untuk pemilu 1999. Pada umur 32 tahun, Anas menjadi anggota KPU termuda yang sukses dalam dua hal: menyelenggarakan pemilu 2004 dan tidak terjerat korupsi seperti kolega-kolega seniornya.

Sehingga ketika terpilih menjadi Ketua Umum PD pada usia 40 tahun, nyaris tak ada cacat yang berarti. Dengan empat tahun pengalaman menjadi Ketua Umum dan lebih dari 16 tahun di dunia politik, cukup layak bagi Anas untuk menjadi presiden 2014.

Tetapi dunia bagai berubah 180 derajat ketika Nazaruddin terjerat korupsi. Di tengah pelariannya, dia tak rela masuk bui sendirian. Nama Anas selalu disebut. Derita Demokrat menjadi sempurna ketika petinggi partai yang lain, mulai Anggelina, Andi Mallarangeng dan akhirnya Anas sendiri terjerat korupsi. Petaka Anas nampaknya belum segera berakhir.

Berita mengejutkan lainnya datang ketika Presiden PKS terjerat korupsi kuota impor sapi di akhir Januari. Kali ini efek penghancurannya sangat dahsyat. Selain korupsi, operasi tangkap tangan KPK juga dilakukan saat Fathonah tengah berkencan. Harta dan wanita-wanita menjadi penghancur PKS baik secara internal maupun eksternal. Saat Anis Matta dipilih menggantikan Luthfi, yang dilakukannya pertama kali adalah mengembalikan soliditas internal dengan menciptakan musuh-musuh eksternal yang seolah berusaha menghancurkan PKS.  Tentu saja semua itu tak terbukti, tetapi paling tidak usaha sudah dilakukan.

PKS yang dibagun sebagai partai kader  menerapkan kriteria berjenjang untuk menduduki posisi puncak. Mereka yang berhasil menyisir menjadi presiden partai tentu sudah teruji komitmen terhadap partai sekaligus juga ahlaknya. Pasca terbongkarnya korupsi, nyaris tak ada lagi yang bisa dibanggakan. Saking besarnya daya rusak, akronim PKS diplesetkan menjadi Partai Korupsi Sapi, Partai Korban Sapi atau bahkan Partai Kotoran Sapi.

Setelah PD dan PKS, goncangan korupsi yang tak kalah besar menerpa Golkar. Kali ini isunya tidak langsung mengarah ke Golkar tetapi pada Ketua Mahkamah Konstitusi yang menjadi benteng terakhir keadilan. Ketika ketua MK bisa dibeli, putusan sengketa hampir semua Pilkada di Indonesia menjadi pertanyaan. Kemudian berit menyasar dinasti keluarga Gubernur Ratu Atut yang sudah menjelma menjadi dinasti Golkar di Banten. Sebagai kasus baru, masih terlalu dini untuk bagaimana pertarungan politik menjadikan Golkar sebagai sasaran tembak. Selain itu, Golkar juga lebih kenyang pengalaman. Prosesnya masih panjang

Selain tiga partai di atas, publik masih menunggu apakah PDIP akan menjadi korban berikutnya. Elektabilitas Jokowi yang naik sedemikian cepat, yang tentu saja meningkatkan nilai PDIP, tak pernah diduga sebelumnya.  Selain lingkaran paling dekat dengan Megawati, sulit untuk menerka langkah politik sang ketua Umum. Mengapa Mega lebih memilih Ganjar daripada Rustriningsih, atau mengapa Rieke yang dipilih di Jabar, masih teka-teki. Sama sulitnya menebak mengapa Jokowi yang dicalonkan Megawati dan bukan kader yang lain.

Saya tidak ingin pembaca menyimpulkan bahwa KPK tidak professional. Justru sebaliknya, KPK tentu sangat professional karena kasusnya tak pernah kalah. Hanya saja, perilaku korupsi yang massif dan terstruktur tidak mungkin dilakukan dalam satu- dua hari. Korupsi saat ini sudah menjadi struktur dan cara kerja bernegara baru yang didesain oleh banyak aktor lintas partai.  Masing-masing tahu rahasia lawan politiknya.

Menjelang pemilu 2009 lalu, mencuat kasus suap cek perjalanan yang melibatkan politisi PDIP Agus Condro. Kasusnya bahkan belum berhenti sampai dua tahun setelah pemilu. Akankah muncul Agus Condro lain menjelang pemilu 2014? Kita hanya bisa berdoa.