Kedaulatan Rakyat, Opini, 28 Juli 2016
Manusia selalu mendefinisikan dirinya melalui waktu. Oleh karena itu, setiap peradaban besar selalu memiliki hitungan waktunya sendiri. Hitungan waktu dibagi berdasarkan dua prinsip utama yaitu berputarnya bulan dan berputarnya matahari. Dari hitungan tersebut, dibuatlah kelender.
Kalender nasional yang dipakai kita saat ini misalnya, merupakan kalender Gregorian yang diperkenalkan Paus Gregory XII tahun 1582 setelah mengoreksi kalender Julian. Kalender ini menggunakan hitungan matahari. Kalender berdasarkan bulan ditemukan jejaknya pertama kali ditemukan di coretan gua di Lascaux, Perancis yang dibuat sekitar 15,000 tahun lalu. Hitungan bulan secara tradisional digunakan di mayoritas negara di Asia termasuk, China, India, Jepang, Korea, Thailand dll.
Saat Islam mulai kuat di Madinah, dibuatlah kalender Islam yang menggunakan hitungan bulan. Hitungan kalender Islam tidak dimulai dari kelahiran Nabi Muhammad SAW tetapi dimulai dari hijrah beliau dari Mekkah ke Madinah. Metode dan konsep kalender Islam mirip dengan kalender bulan lainnya, hanya penamaannya didasarkan pada budaya dan tradisi Arab ketika itu.
Orang Jawa selalu tertarik dengan waktu. Orang Jawa percaya bahwa perputaran semesta mempengaruhi kehidupan di dunia. Sehingga, sebelum Islam masuk di sekitar abad ke 14, orang Jawa sudah mengadopsi kalender Hindu dan Buddha sekaligus, termasuk segala mistisisme dan kemisteriusan di dalamnya.
Adaptasi Islam di Jawa tidak seperti terjadi di pesisir yang relatif menerima apa adanya. Di Jawa pedalaman misalnya di Mataram yang jejaknya masih ditemukan di Kasultanan Yogyakarta bergabung tiga elemen sekaligus, yaitu Islam, Hindu dan kepercayaan lokal (Woodward 1989). Penanda pokok dari kombinasi ini bisa ditemukan di arsitektur masjid (Aryanti 2013).
Penanda Islam-Keraton, sekaligus justifikasi kebudayaan Jawa terletak pada Kelender yang diciptakan oleh Sultan Agung pada 1633 M. Menurut sejarawan Merle Ricklef dalam tulisannya di Jurnal History Today (1999), Kalender Sultan Agungan merupakan salah satu kalender paling rumit di seluruh dunia. Kalender Sultan Agungan mengganti Kalender Saka (digunakan Hindu dan Budha) yang digunakan sebelumnya, sekaligus menegaskan keislamannya namun tidak menghilangkannya secara total. Walaupun berbasis pada hitungan Islam, Kalender Sultan Agungan tidak memulai hitungan dari hijrah tetapi meneruskan hitungan kalender Saka yang dimulai tahun 78 M. Kalender ini disebut sebagai Anno Javanica.
Prinsip utama Kalender Sultan Agungan adalah hitungan 5 hari (pasaran), 6 hari (paringkelan), 7 hari (minggu), siklus 35 hari (7×5) (mongsowuku), siklus 210 hari (30×7 hari) (pawukon), 29-30 hari (bulan), 354-355 hari (tahun) dan siklus delapan tahun (windu). Selain itu, kalender ini juga memadukan siklus pertanian yang meminjam hitungan matahari yang dibagi antara 23-43 hari. Sehingga, horoskop (primbon Jawa) jauh lebih lengkap, kompleks dan detail dalam membagi hari dan waktu dibandingkan dengan zodiak dalam kalender Gregorian yang hanya membagi menjadi 12 bintang.
Berbeda dengan kalender Islam yang setiap bulan baru dapat disesuaikan dengan melihat bulan sesungguhnya dengan metode rukyat, Kalender Sultan Agungan menggunakan metode hitungan yang pasti. Kapan satu Muharram misalnya, bisa ditentukan bahkan sampai dua windu sebelumnya.
Model hitungan seperti ini mungkin sangat cocok untuk kondisi empat abad lalu tetapi perlu ditinjau ulang saat ini. Tanpa pembaharuan dan hanya diurusi mayoritas orang-orang tua, perkembangan ilmu astronomi dan teknologi membuat hitungan Sultan Agungan terlihat usang. Masyarakat dapat dengan mudah menemukan sumber informasi dan pergerakan bulan di ratusan situs dengan hanya memasukkan satu-dua kata kunci di mesin pencari.
Contoh lainnya, saat ini ada beragam aplikasi di Android yang bisa menentukan letak bulan secara langsung, salah satunya “phases of the moon”. Pada Rabu 6 Juli 2016, disaat pemerintah menentukan 1 Syawal, berdasarkan aplikasi tersebut, bulan terlihat 6% dengan jarak 385.591,04 km dari bumi. Bulan baru sudah terlihat jelas. Pada tanggal 7 Juli 2016 dimana Keraton menentukan 1 Syawal, bulan sudah terlihat 11%. Bulan purnama terjadi tanggal 19 Juli 2016.
Saat ini, keraton bukan lagi menjadi satu-satunya sumber informasi terkait perputaran bulan seperti pada masa Sultan Agung. Kesalahan keraton dalam menentukan Gerebeg Syawal yang tidak berdasarkan kondisi riil bulan berpotensi terulang di masa depan untuk penentuan hari-hari penting Kalender Jawa/Sultan Agungan. Perbaikan diperlukan untuk mempertahankan Kasultanan sebagai sumber referensi Islam-Jawa di masa mendatang.Kalender