Akhir-akhir ini ada berita miris tentang penolakan beberapa tempat kos-kosan terhadap mahasiswa asal Papua di Yogyakarta. Kalau toh hal itu merupakan sebuah realitas sosial yang terjadi saat ini, sebenarnya akar persoalannya sudah berlangsung cukup lama. Saya ingin bercerita tentang pengalaman saya tinggal bersama teman-teman yang mayoritas berasal dari Manokwari, sebelum menjadi ibukota Provinsi Papua Barat.
Selama empat tahun tinggal di Blok F, Catur Tunggal VIII Klebengan sejak tahun 1997-2001 saya tak pernah pindah kos, sehingga dapat mengamati berbagai penghuni kos yang berganti. Kos ini terdiri dari delapan belas kamar. Dua belas kamar masing-masing empat kamar yang membentuk huruf U, tiga kamar yang merupakan ekstensi huruf U yang diletakkan kurang beraturan di antara halaman yang luas dan tiga kamar yang letaknya di dalam dan dekat dengan rumah pemilik kos. Kos kami letaknya agak masuk di jalan buntu Klebengan walaupun lebar jalannya cukup rasional untuk masuk satu mobil.
Kos kami ini, karena fasilitasnya yang tak lebih dari kamar 3×3, sedikit teras dan empat kamar mandi yang baknya selalu dipenuhi jentik nyamuk, tak pernah menjadi harapan para pencari kos, termasuk saya. Tak mengenal Yogyakarta sebelumnya dan mencari kos saat daftar ulang, saya menjadi penghuni kos ini karena sekian banyak kos lain telah penuh. Lelah mencari, saya putuskan untuk menetap di kos yang katanya tidak akan menaikkan sewa tahunan jika saya tidak pindah. Penghuni kos rata-rata mahasiswa baru, yang juga lelah mencari sehingga akhirnya memutuskan untuk tinggal, tak terkecuali, delapan orang mahasiswa dari Manokwari.
Kecuali satu orang, tujuh orang mahasiswa asal Manokwari ini mengikuti berbagai program khusus di UGM dan di Universitas lainnya sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas mereka sebagai PNS di Manokwari. Mereka datang di periode 1999-2000, tahun berikutnya semuanya pindah. Satu orang mahasiswa baru di APMD yang tinggal di kos paling depan, dekat pintu masuk, sedangkan yang lain tinggal di kamar U. Selain mahasiswa APMD, umur mereka rata-rata jauh lebih tua dari kami yang berada di awal 20-an.
Saya, di kamar nomor empat, bersebelahan kamar dengan mahasiswa Papua paling rajin di nomor tiga. Dia belajar D3 Kedokteran Hewan (KH) di UGM, walaupun sebelumnya telah memiliki ijasah D3 untuk bidang yang sama. Menurutnya, belajar D3 KH di Jayapura dan UGM jauh sekali bedanya. Walaupun sebenarnya hanya mengulang, dia merasa berat harus belajar lagi karena perbedaan kualitas pendidikan tersebut. Saya sering melihatnya belajar malam-malam dan membuat kopi untuk menahan kantuk. Kami sering mengobrol untuk urusan sepele.
Dua bulan setelah mahasiswa Papua datang, beberapa dari istri-istri mereka menengok, beberapa membawa serta anak yang masih balita. Mereka membuat jamuan yang tak pernah saya lupakan. Makanan special khas Papua dengan sagu yang dibawa langsung dari Papua. Bentuknya seperti lem glukol tapi lebih encer dan dimakan bersama ikan kuah berwarna kuning. Belakangan saya tahu namanya Papeda. Mungkin selama saya mahasiswa, baru kali itulah lambung saya mengembang sempurna kekenyangan.
Saya tidak pernah merasa punya persoalan tinggal bersama beberapa orang mahasiswa Papua selama satu tahun walaupun beberapa fenomena terjadi di kos. Namun krisis selalu terjadi di kos kami selama beberapa tahun. Pernah suatu ketika, mahasiswa asal Gombong kehilangan handphone Nokia 5110 sehabis maghrib. Dia satu-satunya di kos yang punya handphone ketika SIM card Simpati masih berharga satu juta. Ketika handphone hilang, saya dan lima orang penghuni kos sedang menonton film di Fakultas Peternakan dengan biaya murah meriah. Kami berjalan kaki ke sana.
Setelah pergi ke dukun di Jalan Solo, mahasiswa ini diberi tahu bahwa pencurinya adalah mahasiswa gondrong yang kos di kamar pojok (No. 1). Padahal dia bersama saya menonton film saat HP nya hilang. Persoalannya, teman dari Gombong ini lebih percaya dukun dibanding fakta. Kami bersitegang dengannya dan beberapa penghuni kos lain yang ikut ke dukun, sampai satu bulan kemudian, teman kuliahnya yang asli Jogja terbukti mencuri handphonenya. No IMEI nya sama dengan kardus HP teman saya yang hilang. Rupanya, teman ini datang saat mahasiswa Gombong sedang mandi dengan kamar tidak dikunci dan menghilang sejurus kemudian sambil menyambar HP.
Konflik juga pernah terjadi antara mahasiswa senior yang bersitegang dengan anak pemilik kos, yang tak tamat SMP dan memilih karier menjadi preman kampung. Anak pemilik kos ini, pernah menawari ganja segar, yang dijemurnya menggunakan loyang, di atas genting kamar saya. Mahasiswa ini mengeluarkan pedang panjang khas daerah Timur Indonesia. Tapi partumpahan darah tidak terjadi, hanya kejar-kejaran saja. Kata teman saya yang kebetulan di kos, mahasiswa ini mundur setelah ibu kos menyiramkan air panas termosnya ke badan teman kos ini. Sejak saat itu, dia langsung pindah kos. Korbannya hanya beberapa piring dan gelas yang diletakkan secara asal di teras kamar.
Satu-satunya insiden dengan para mahasiswa Papua terjadi diantara mereka sendiri. Salah satu kebiasaan buruk mereka adalah minum miras. Prosesi ini bisa berlangsung beberapa hari. Di awal-awal kos, mereka melakukaannya entah dimana, terutama tanggal muda begitu kiriman datang. Beberapa pulang pagi sambil naik taksi, sesuatu yang mewah ketika itu. Di tanggal tua, mereka kadang berhutang ke saya, yang hanya makan dua kali sehari, Senin sampai Jumat. Di bulan-bulan akhir, mereka kadang, satu dua kali, melakukannya di kos-kosan. Jika terlihat mereka akan pesta, saya lebih baik pergi dan itu ternyata keputusan yang benar.
Ketika saya kembali ke kos Senin pagi setelah mudik mingguan ke Magelang, keributan terjadi. Ember merah saya pecah. Saya tanya ke tetangga kos sebelah, dia mengaku, walaupun juga ikut minum sebentar, sudah memperingatkan teman lainnya untuk berhenti minum. Kawan saya yang rajin ini sering menjadi jembatan komunikasi antara pemilik kos dan mahasiswa Papua. Tak jelas apa yang menjadi perselisihan sesama Papua yang mabuk. Tak ada insiden berarti, hanya ember merah saya. Titik.
Insiden selalu terjadi di kos-kosan, entah dengan mahasiswa Papua atau tidak. Hanya saja stereotype memperburuk keadaan. Insiden dalam berbagai skala terus menerus terjadi karena mahasiswa saling menjajagi sesamanya dalam upaya menemukan jati diri. Tetapi ketika cerita itu di-stereotype-kan ke mahasiswa asal Papua yang memang beberapa berkebiasaan minum miras, dampak buruknya menjadi lebih besar. Setelah lima belas tahun, steretotype itu menjadi nyata terbukti dengan sulitnya mahasiswa Papua baik-baik mencari kos.
Memang ada beberapa insiden di seputaran Seturan yang melibatkan oknum mahasiswa Papua yang masuk berita. Tetapi bukankah kriminalitas tetap kriminalitas, mengapa kasus pengeroyokan dan pembunuhan supporter klub bola, simpatisan partai, penyayatan, dls dls tak memasukkan emblem-emblem asal daerah?
Tetapi kalau saya boleh memberi saran, berhentilah minum atau minimal minumlah dengan bertanggungjawab. Baru-baru ini, di kasus miras oplosan, (selain penduduk asli Jogja) yang menjadi korban tewas separuhnya (13 dari 26) mahasiswa dari Papua dan Maluku Utara. Hak setiap orang untuk minum, tapi hak orang lain untuk hidup tenang. Kawan akrab istri saya misalnya, perempuan dari Filipina, ketika kuliah master di ISS, the Hague adalah peminum ulung. Dia akan mabuk berat setiap Jumat malam dan segar kembali hari Senin dan selalu mendapatkan nilai tertinggi di akhir term. Oh ya satu lagi, kalau mabuk, paling nggak hati-hati kalau lihat ember merah !!!
Foto dari sini.