Ini cerita tentang pengalaman menggunakan kereta di jaman dulu. Mungkin sebenarnya tidak dahulu sekali sih, cuma sekitar sepuluh tahuun.. Kalau dilihat, sebenarnya perubahan yang dilakukan bangsa Indonesia, misalnya terkait managemen kereta, sudah luar biasa. Ini pengalaman beberapa kali menjadi freerider kereta api dan cerita teman-teman yang kuliah di STAN yang rajin pulang ke Magelang via Kutoarjo.
Dulu semua orang bisa keluar masuk stasiun dan kereta. Sehingga, kondektur kereta yang mengecek karcis harus bekerja extra tapi dengan kompensasi income yang tak kalah extra. Karena bisa bebas keluar masuk stasiun dan kereta, maka tak sedikit freerider yang memaksimalkan kesempatan. Mereka bahkan punya tarif sendiri untuk masing-masing jenis kereta. Istilahnya “nembak” di atas kereta. Untuk kelas ekonomi, sekitar tahun 2000 an tarifnya sekali “nembak” adalah dua sampai lima ribu. Untuk Kelas Bisnis tarifnya lima sampai sepuluh ribu dan untuk kelas eksekutif tarifnya maksimal 20 ribu. Untuk rute Yogyakarta-Jakarta, biasanya ada pemeriksan tiket sebanyak dua atau tiga kali. Dua-tiga kali juga anda perlu nembak. Jadi total biaya yang dibutuhkan untuk dua kali “nembak” untuk kelas ekonomi adalah sepuluh ribu, tak sampai separuh tiket asli yang sekitar 25 ribu.
Cara nembaknya juga sangat sederhana. Anda tinggal perlu mengulurkan uang kepada kondektur yang memeriksa karcis. Dia juga sudah otomatis memahami bahasa symbol ini dengan memasukkannya ke dalam kantong celana, yang sengaja dibuat sangat panjang, bahkan mendekati lutut. Pertama dia akan memasukkannya ke kantong sebelah kanan, jika sudah penuh, baru bergeser ke sebelah kiri yang tak kalah panjangnya. Jika jumlah tembakannya banyak dan beberapa uangnya receh, bunyi kerincingan, di tengah suara rel kereta, menyertai setiap langkahnya. Jika anda membawa pecahan uang besar, kadang perlu negoisasi kepada petugas untuk memberikan kembalian. Jika wajah anda sudah terbiasa menembak, mereka akan menyediakan kembalian. Pernah kawan saya hanya punya pecahan limaribu untuk pulang ke Magelang dari Jakarta. Dia perlu menembak dua kali dan ngotot biayanya dua ribu. Dibayangi rasa tak percaya jika petugas tak memberikan kembalian, dia tak tarik ulur uang lima ribu dengan tiga ribu kembalian. Uang lima ribu berpindah dari tangan kanannya ke tangan kiri kondektur kereta, dan tiga ribu rupiah berpindah dari tanggan kanan kondektur ke tangan kiri teman saya ini secara bersamaan. Kadang kondektur memaksa anda “membeli” tiket yang satu tiket bisa digunakan dua orang. Tiket ini bisa dipakai di pemeriksaan selanjutnya.
Ini adalah korupsi paling nyata dan paling jelas yang terjadi di tingkat bawah. Prosesnya sering berlalu dengan sangat cepat sehingga sebelum anda menyadari apa yang terjadi, proses sudah berakhir. Saya yang kuliah di Yogya, hanya tertawa-tawa mendengarkan cerita kawan yang selalu pulang dari Jakarta setiap ada libur lebih dari dua hari. Di satu sisi kita bisa menyebutnya korupsi, di sisi lain, inilah kreatifitas rakyat jelata terhadap negara yang tak pernah serius memikirkan nasibnya. Kereta ekonomi dibiarkan panas dengan tempat duduk keras, lantai kotor dan toilet yang tak bisa digunakan. Jika toh toilet berfungsi, (di seluruh kelas kereta) anda bisa melihat kotoran yang anda buang tersapu angin dan mendarat di antara rel. Belum termasuk kereta yang harus berhenti tiap sepuluh menit disalip kereta-kereta lain termasuk kereta barang. Dari jadwal jam 6 pagi, kereta paling cepat datang tiga-empat jam kemudian.
Karena tak bisa diprediksi berapa banyak jumlah penumpang yang menjejali kereta, semua orang masuk tergantung kapasitas manusia yang bisa bertahan di dalamnya. Pernah suatu ketika, saya membeli tiket hari Sabtu dari Jakarta menuju Yogyakarta, kelas ekonomi di Pasar Senen. Waktu itu, apesnya berbarengan dengan Muktamar Muhammadiyah di Senayan sehingga empat gerbongnya sudah dipesan. Dua jam sebelum jadwal berangkat, sudah tidak ada tempat duduk di “gerbong umum.” Tiket ekonomi waktu itu, yang berupa kotak kecil tebal berwarna merah, tidak memiliki nomor kursi, hanya tulisan “duduk” dan “berdiri”. Walaupun tiket saya tulisannya duduk, tak mungkin menggeser mereka yang telah rela dipangggang sebelumnya di kereta yang panas. Setelah molor dua jam, kereta akhirnya berangkat. Oh ya, teman-teman saya yang kuliah di Jakarta, bahkan tak berani naik kereta di hari Sabtu malam.
Saking padatnya saya bahkan tak bisa berganti posisi dari berdiri ke duduk. Kereta sedemikian penuh sesak. Di Cirebon, semua penumpang di dalam kereta tak mau membukakan pintu pada penumpang yang berburu ingin masuk, karena memang tak ada tempat tersisa. Pukul empat pagi, seekor ayam jago berkokok memberi hiburan di bordes (sambungan kereta) yang gelap. Saya baru bisa berganti posisi duduk di Purwokerto, sekitar jam 9 pagi. Di Kebumen, ayam yang tadi pagi berkokok, sudah mati kepanasan. Bayangkan, bahkan ayam pun tak tahan semalaman di kereta ekonomi kita.
Saya juga pernah merasakan pengalaman unik, satu-satunya yang mungkin tak berniat mengulanginya lagi. Sekitar tahun 2002an, saya tak bisa membeli tiket kereta ke Bandung dari Yogyakarta karena loketnya sudah tutup. Tujuan sebenarnya adalah Sumedang, tempat mertua saya tinggal. Saya naik ke kereta eksekutif Argo Wilis jurusan Surabaya-Bandung, tanpa tiket dari Stasiun Tugu. Kereta berhenti di Kutoarjo untuk penggantian masinis yang sudah saya ketahui dan tak ada pemeriksaan tiket dari Yogyakarta ke Kutoarjo. Sesampainya di Kutoarjo, saya menemui masinis baru dan minta pindah ke lokomotif, dia setuju sambil saya selipkan 50 ribu, kurang dari separuh tiket resmi, 125 ribu. Naiklah saya ke Lokomotif dan ternyata di atas sudah ada empat orang yang lain. Jadilah kami berlima, ditambah masinis dan asisten masinis menghuni lokomotif.
Berada di lokomotif sama sekali bukan pilihan yang cerdas. Suara deru klakson kereta dibunyikan hampir tiap lima menit dengan suara yang sangat-sangat keras. Asisten masinis, dengan mata setajam elang, tak pernah menoleh ke kanan atau kiri. Dia sangat serius melihat jalur rel yang jauh di depan matanya. Dia bahkan bisa memperkirakan ayam yang akan terlindas kereta yang berjarak ratusan meter di depan. Tak banyak obrolan antara masinis dan asisten masinis. Mereka terlarut dalam pekerjaannya masing-masing. Masinis terus mengawasi jalur rel yang sebagian besar masih peninggalan Belanda. Jika lewat rel lama, dia akan memelankan kereta yang tidak ber spidometer dan hanya memiliki rem tiap dua-tiga gerbong.
Dalam obrolan ringan, tak ingin memutar, saya minta diturunkan di stasiun yang dekat dengan Sumedang tanpa harus sampai di Bandung. Pak Masinis bilang gampang walaupun dia bilang kereta eksekutif tak berhenti di stasiun kecil. Tapi yang dia lakukan tak pernah terbayangkan sebelumnya. Saya sempat curiga apalagi ketika melihat beberapa orang melambaikan tangan dipinggir rel, meminta kereta berhenti, mirip dengan orang menyetop bis. Di sebuah persimpangan jalan, dia memelankan kereta sambil menujukkan arah dan angkutan. Lalu saya dimintanya meloncat dari kereta yang masih melaju untuk selanjutnya merebahkan diri di rerumputan yang tumbuh di tanah yang miring. Setelah kereta melaju, saya berdiri dan melihat orang-orang bingung melihat saya tiba-tiba muncul.
Ajaib memang kereta jaman dahulu.
Foto: Republika