Kedaulatan Rakyat, Analisis, 6 Juni 2016
UUK 13/2012 digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh Muhammad Sholeh, advokat dari Surabaya. Jika seluruh pasal yang digugat dimenangkan MK, maka mekanisme pemilihan untuk Gubernur dan Wakil Gubernur DIY akan melalui Pilgub sama seperti 33 provinsi lainnya. Sebelum panik, mari kita kaji persoalan ini secara jernih.
Pertama, terkait dengan penggugat. Penggugat adalah advokat muda yang berambisi untuk menjadi politisi. M. Sholeh pernah mencoba peruntungan Bupati Sidoarjo dan Wakil Walikota Surabaya. Keduanya layu sebelum berkembang. Terakhir, dia menjadi Caled DPR RI di Pemilu 2014 melalui Gerindra Dapil I Jawa Timur dengan nomor urut 6. Gerindra hanya punya satu wakil di Dapil tersebut dan menambah kegagalan M Sholeh untuk kesekian kalinya.
Menariknya, M Sholeh ini memang hobi menggugat. Bahkan dalam Pemilu 2014, taglinenya adalah “Sholeh Gugat”. Di kasus gugat menggugat, dia cukup punya prestasi, antara lain menggagalkan mekanisme nomor urut yang digunakan di pemilu 2009, sehingga merubah sistem pemilu dari daftar tertutup menjadi daftar terbuka murni. Sistem ini yang diteruskan di Pemilu 2014 yang banyak memunculkan politik uang, karena kompetisi berlangsung bukan antar partai, tetapi juga antar kandidat. Pendeknya gugat-menggugat menjadi sarana ybs untuk mendapatkan popularitas, yang belum bisa ditransformasi ke elektabilitas sehingga bisa menduduki posisi politik di legislatif dan eksekutif.
Kedua persoalan penggugat yang berdomisili di Surabaya. Selain DIY, Papua dan Papua Barat, semua WNI berhak berkompetisi di Pilgub. Di Papua dan Papua Barat, UU Otsus Papua membatasi hanya penduduk asli Papua yang bisa menjadi Gubernur dan Bupati/Walikota. Sehingga, gugatan M.Sholeh memiliki legal standing yang kuat karena hak konstitusionalnya tercerabut lewat UUK. MK memberikan azas keadilan bagi setiap individu WNI yang merasa hak konstitusionalnya tercerabut oleh sebuah UU.
Ketiga, terkait dengan peluang, bagaimana kemungkinan gugatan M Sholeh dimenangkan oleh MK? Semua yang akan digugat tersebut sudah didiskusikan melalui proses bertahun-tahun oleh para ahli. Draft awal yang diajukan oleh Kemendagri merupakan rumusan dari tim di Dept Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM. Tim DPP perlu waktu setahun, mengundang ratusan narasumber dan dipresentasikan di seluruh Kab/Kota di DIY untuk merumuskan pengisian jabatan. Pertentangan waktu itu muncul antara UUD 1945 Pasal 18 ayat 4 “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis” dengan Pasal 18B dimana negara mengakui hak asal-usul dan keistimewaan. Pada konstelasi politik di DPR, terutama antara tokoh SBY dan Sultan HB X, akhirnya disetujui digunakan mekanisme penetapan karena hak istimewa dianggap lebih tepat digunakan untuk DIY daripada Pasal 18 ayat 4.
Dalam proses politik di DPR, politisi-politisi dan pihak eksekutif yang saya wawancarai sudah sadar akan potensi gugatan. Mereka memberikan batasan demokrasi agar Gubernur atau Wagub DIY tidak menjadi otoriter dengan cara pengimbangan di DPRD DIY melalui Perdais. UUK DIY merupakan satu-satunya UU yang tidak membutuhkan Peraturan Pemerintah, tetapi turunan aturan berikutnya langsung ke Perdais. Perdais dibutuhkan untuk mengawal lima kewenangan khusus. Disinilah letak keunikan demokrasi di DIY yang memadukan antara tradisionalisme dengan demokrasi di daerah. Diluar lima kewenangan khusus, DIY mengikuti UU Pemerintahan Daerah.
Keempat, dari sisi waktu, gugatan baru diajukan setelah Wagub dilantik menggunakan mekanisme seluruh pasal-pasal yang digugat tersebut. Proses pengisian Wagub tidak menimbulkan persoalan serius dan diterima sebagai realitas politik oleh masyarakat DIY. Ini berbeda dengan berhasilnya gugatan M Sholeh di pemilu 2009 yang belum terlaksana.
Kelima, menurut saya peluang M. Sholeh memenangi gugatan kecil. Proses ini hanya akan mengembalikan proses seperti periode awal pembahasan UUK, menimbulkan kegaduhan politik dan mundur kembali ke proses politik seperti yang terjadi di tahun 2006-2012. Pertimbangan utama terletak dari fakta politik dimana masyarakat Yogyakarta menerima Gubernur/Wagubnya berasal dari aristokrat harus menjadi pertimbangan hukum yang penting. Jika UUK tidak menimbulkan kegaduhan politik di DIY, mengapa harus membuatnya gaduh?
Terakhir, UUK sangat perlu untuk digugat. Dengan digugat, UUK akan menjadi kuat dan teruji sehingga ke depan, tak ada lagi yang menggugat UUK dari 150 juta WNI yang berhak mencalonkan menjadi Gub/Wagub DIY tapi hak politiknya terampas. Inilah proses yang harus dilewati UUK.
-00—
Baca juga pendapat saya di media:
Radar Jogja, Saatnya Mengetes UUK, download disini
Koran Sindo, Penggugat UUK dibully di Medsos, download disini