Hampir bisa dipastikan, proses penetapan Gubernur dan Wagub DIY 2017-2022 tidak akan menuai persoalan serius. Ketua DPRD DIY Yoeke Laksana mengatakan, “Saya super optimis akan lancar.” (KR 5 Juli 2017). Untuk Wagub jelas tidak ada persoalan, hanya saja, persoalan pergantian nama dan gelar Sultan memunculkan sejumlah pertanyaan. Mari kita urai satu per satu secara kronologis.
Sultan Hamengku Buwono X, atas petunjuk Allah melalui para leluhur, pada 30 April 2015, merubah nama dan gelarnya menjadi “Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati ing Ngalogo Langgengging Bawono Langgeng, Langgenging Toto Panotogomo.” Perubahan nama ini bertujuan untuk melancarkan proses pelantikan putri tertuanya GKR Pembayun untuk menjadi putri mahkota dengan gelar baru GKR Mangkubumi yang diumumkan lima hari kemudian. Gelar lama, terutama terkait dengan “khalifatullah” tak cocok dipakai perempuan (lihat detail di tulisan saya di jurnal MI disini). Perubahan ini ditentang oleh seluruh 15 putra-putri Sultan Hamengku Buwono IX, klik disini dan disini.
Pergantian nama tidak memikirkan dampak politik dan hukum terkait dengan UU Keistimewaan DIY. UUK jelas mengatur tentang gelar Sultan yaitu “Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah.” Ironisnya, sumber pencantuman gelar ini adalah surat dari keraton sendiri yang menjelaskan gelar yang digunakan pada saat penobatan Sultan terakhir tahun 1989.
Pada tanggal 19 Juni 2015, pihak kraton mengajukan perubahan nama Sultan ke Pengadilan Negeri Yogyakarta. Terkait pengajuan ini Sultan mengatakan,
“Ganti nama kan harus di Pengadilan. Saya tidak mau ganti-ganti nama terus-menerus. Nanti kalau untuk perjanjian apa, kan harus terdaftar.” (lihat disini)
Ketika ditanya implikasi perubahan nama tersebut terkait UUK, beliau mengatakan,
“Ya belum tentu (mengubah dalam UU), nanti kita lihat perkembangan politik saja.” (lihat disini)
Namun, sepertinya perubahan politik berlangsung cepat. Setelah sidang pertama tanggal 1 Juli 2015, Pengageng Kawedanan Hageng Panitrapura (Semacam Sekretaris Negara yang menjalankan fungsi administratif) yaitu putri kedua Sultan GKR Condrokirono, atas perintah Sultan, mencabut permohonan nama tersebut menjelang sidang kedua yang diagendakan 8 Juli 2015. Sidang kedua yang berlangsung singkat membatalkan proses penggantian nama ini. Alasan Sri Sultan terkait pencabutan berkas tersebut adalah,
“Tunggu revisi Undang Undang Keistimewaan dulu.” (lihat disini)
Sultan sepertinya sempat lupa, bahwa pergantian nama yang sudah disahkan oleh pengadilan akan membawa konsekuensi legal-administratif yang tidak mudah. Walaupun individunya tetap sama, perubahan tersebut dapat berakibat terjadinya persoalan legal-administratif yang berdampak hilangnya hak prerogratif Sultan sebagai Gubernur DIY yang tak dibatasi masa jabatan. Setelah muncul kebingungan di publik, Sultan menegaskan gelar baru untuk internal.
“Ya, belum waktunya (disahkan di pengadilan). Kan internal. UU-nya (UU Keistimewaan) belum berubah.” Selanjutnya Sultan mengatakan,
“Nama saya masih yang lama. Untuk keraton yang berubah. Itu urusannya lain.”(lihat disini)
Dua tahun berjalan dan isu ini kembali mengemuka. Pada 2017, saat memberikan berkas ke DPRD DIY untuk pengukuhan Gubernur DIY periode 2017-2022, GKR Mangkubumi kembali menegaskan bahwa,
“Tidak ada masalah kok. Gelar itu sudah dibedakan untuk internal dan eksternal.” (lihat disini)
Lebih lanjut, KPH Yudhahadiningrat yang selalu mewakili Kraton dengan berbagai pihak mengatakan,
“Itu kan (nama Bawono) untuk intern Kraton saja. Untuk abdi dalem, bukan untuk masyarakat umum.” (lihat disini)
Persoalannya sebenarnya tidak sesederhana internal dan eksternal, tetapi menyangkut legitimasi dan proses politik Sultan untuk mempertahankan posisi Gubernur di satu sisi dan menyiapkan GKR Mangkubumi menjadi Sultan di sisi lainnya. Apapun gelar yang digunakan, baik Buwono ataupun Bawono, tetap melahirkan persoalan.
Pertama-tama, mari kita lihat dalam struktur administrasi Kraton. Kasultanan Yogyakarta adalah institusi yang lengkap struktur administrasinya. Pencatatannya sangat detail dan rinci sejak beberapa abad silam. Struktur ini diadopsi oleh Republik Indonesia sejak 1945. Misalnya, di Kraton ada yang disebut Undhang yang merupakan keputusan tertinggi yang diberi penomoran yang kemudian diadopsi menjadi Undang Undang di RI. Hanya saja, Sabda dan Dawuh Raja tidak termasuk dalam administrasi Kraton. Untuk menjadikannya bagian dari administrasi, keduanya harus diadopsi dalam keputusan Kraton yang terbagi menjadi beberapa jenis. Setelah itu, nama Bawono baru dapat digunakan untuk lingkungan internal. Perubahan nama ini kemudian disahkan melalui Undhang Gumantosing Asma pada 4 Mei 2015, lalu secara resmi digunakan dalam berbagai undangan baik untuk internal maupun eksternal.
Persoalannya, salah satu syarat untuk mengajukan diri untuk ditetapkan menjadi Gubernur 2017-2022 adalah surat pencalonan dari Panitrapura (Pasal 19 UUK). Sehingga menjadi pertanyaan apabila dalam surat-surat lainnya yang dikeluarkan oleh Panitrapura menggunakan nama “Bawono”, tetapi surat pencalonan khusus untuk kepentingan Gubernur DIY menggunakan “Buwono”. Belakangan, surat penetapan Sultan dengan nama Buwono tahun 1989 dilegalisir oleh Panitrapura khusus untuk keperluan persyaratan Gubernur. Ini melanggar kaidah administrasi karena melegalisir gelar 1989 yang sudah diamandemen tahun 2015. Pendeknya, administrasi Kraton menjadi tidak konsisten karena tidak ada kaidah yang disepakati.
Kedua, pendapat tentang pembilahan internal dan eksternal Kraton terkait gelar sangat membingungkan dan sulit melihatnya sebagai jalan keluar. Ketika UUK disahkan (yang prosesnya melibatkan Kraton), sebenarnya Kraton sudah menyerahkan urusan internalnya kepada NKRI. Tidak ada lagi pembilahan internal dan eksternal dan kasus perubahan gelar ini adalah yang paling konkrit. Sultan bahkan tidak memiliki independensi untuk merubah gelarnya sendiri karena rambu-rambu regulasi yang demikian ketat. DPRD DIY terbelah alot menyikapi isu ini dan berita acaranya membatasi ketat pergantian nama (baca Berita Acara 1, 2, 3).
Selain itu, tiga hari setelah mengumumkan putri mahkota, Sultan memberikan keterangan pers di Ndalem Wironegaran dengan mengundang berbagai media lokal dan nasional baik cetak maupun elektronik dan ditayangkan live di Metro TV. Beliau menjelaskan secara rinci dan detail tentang makna Sabdaraja (30/4/15) dan Dawuhraja (5/5/15). Beliau misalnya, menjelaskan dengan detail makna gelar “Ka 10” yang merubah “Kaping Sedasa” di gelar lama. Beliau mengkritisi istilah “kaping” yang berarti perkalian berbeda dengan “ka” yang berarti “lir gumanti” (terus-menerus), dan tentu saja disamping menjelaskan dihapuskannya “khalifatullah”. Apabila perubahan gelar hanya untuk urusan internal, mengapa perlu klarifikasi publik? Selain itu, muncul juga pertanyaan, jika “Ka 10” memang betul digunakan untuk internal, mengapa berbagai media sosial resmi yang dikelola Kraton menggunakan “Ka 10” ?
Menjadi pertanyaan ketika Sultan menandatangani berbagai keputusan di internal Kraton dengan Hamengku Bawono Ka 10, lalu pergi satu kilometer ke arah Utara dan menandatangi berkas-berkas gubernur sebagai Hamengkubuwono X. Pagi hari berangkat dari Kraton sebagai Bawono, dan setelah sampai di Kepatihan menjadi Buwono, lalu malam hari kembali lagi ke Kraton menjadi Bawono. Terus menerus setiap hari sejak 2015.
Persoalan lainnya, gelar Bawono harus terus dipertahankan karena selain sudah diumumkan ke publik, juga menyangkut pemberian gelar baru GKR Mangkubumi. Rangkaian Sabda dan Dawuh ini tidak dapat dilepaskan dengan proses menjadikan GKR Mangkubumi sebagai pengganti Sultan. Tantangan yang dihadapi ketika menggunakan Bawono adalah tantangan yang dihadapi ketika menobatkan GKR Mangkubumi. Gagal satu, gagal pula yang lain. Demi terus menjadi Gubernur, Sultan lebih menurut UUK. Sebelum verifikasi DPRD DIY, ketika ditanya tentang gelar yang akan digunakan, Sultan (4/7/17) lebih memilih menggunakan gelar sesuai dengan UUK, bukan sesuai Sabdanya sendiri. Beliau menjawab,
“Sesuai Undang-Undang Keistimewaan kan (nama gelarnya) juga Hamengku Buwono, ya sudah pakai itu.” (lihat disini)
Bagaimana dengan sikap masyarakat terkait inkonsistensi ini? Sepertinya tidak ada reaksi yang berlebihan dari masyarakat dan ini merupakan keuntungan bagi Kraton. Citra Sultan masih baik di masyarakat, terutama dalam posisinya sebagai Gubernur dengan tingkat kesukaan yang tinggi. Hal memberikan implikasi kepada posisi Sultan di Kraton. Pendeknya, selama tidak mempengaruhi kehidupan warga masyarakat, tidak akan membawa dampak yang signifikan.
Selama ini, perdebatan terkait Buwono atau Bawono hanya merupakan komsumsi elit. Jika masyarakat bergunjingpun, hanya menjadi sekedar bisik-bisik. Sejauh ini tidak ada aksi protes massa yang cukup serius yang mengancam eksistensinya sebagai Sultan dan Gubernur. Yang terjadi hanya beberapa protes elit melalui media dan spanduk.
Sebagai penutup, sekali lagi polemik gelar Sultan tidak akan menganggu proses penetapan Sultan sebagai Gubernur 2017-2022. Namun demikian, gelar Bawono seperti buah simalakama, jika diteruskan akan mengganggu jabatan sebagai Gubernur dan menjadi polemik lima tahunan, jika dibatalkan akan berdampak gagalnya seluruh skenario penobatan GKR Mangkubumi dan juga turunnya legitimasi terhadap diri pribadi Sultan. Semua ini menjadi krusial, karena menurut berita KR 6 Sep 1998 berikut, Sultan tak ingin menjadi Gubernur seumur hidup.