Pada 31 Agustus 2012, DPR mengesahkan RUUK yang diperjuangkan rakyat DIY sejak 1999. Tepat lima tahun kemudian, MK membatalkan Pasal 18 ayat 1 yang membatasi perempuan untuk menjadi Gubernur DIY. Tulisan ini akan membahas dampak putusan MK tersebut terhadap kondisi internal Kasultanan dan peluang GKR Mangkubumi menjadi Gubernur DIY.
Putusan MK menyatakan bahwa pembatasan hanya bagi laki-laki untuk menjadi gubernur bertentangan dengan karakter demokratis masyarakat Indonesia. Mengutip putusan MK, salah satu alasan tidak berlakunya pasal tersebut adalah: “untuk memenuhi tuntutan yang adil dalam masyarakat Indonesia yang demokratis pembatasan yang demikian tidak boleh terjadi”.
Kado MK ini disambut dalam dua reaksi. Bagi “Pejuang Paugeran”, MK dipandang tidak mengindahkan budaya dan tata kepemimpinan Kasultanan yang menyatu dengan pemimpin agama yang harus dipimpin oleh lelaki. Disisi lainnya, para pendukung Sabda dan Dawuh Raja menganggap sukacita putusan MK. Putusan MK membuka peluang pembaharuan yang sedang digagas Sultan. Sebenarnya, bagaimana dampaknya dari sisi internal Kasultanan?
Besar kemungkinan, tidak akan muncul gejolak yang signifikan atas putusan MK. Kondisi politik di internal Kasultanan tetap akan terbagi menjadi tiga kubu: Sultan, GKR Hemas dan putri-putrinya di satu sisi; adik-adik Sultan yang menentang keputusan Sultan di sisi yang lain; dan mayoritas abdi dalem yang pasif karena Sultan mereka tetap Sultan HB X. Di masyarakat hanya akan muncul gejolak elit yang bermuara di media. Kondisi status quo yang sudah berlangsung sejak 2015 ini akan terus demikian kecuali muncul dua kondisi baru.
Pertama, Sultan HB X menobatkan GKR Mangkubumi menjadi Ratu dan kemudian memilih meninggalkan Kraton menjadi Panembahan seperti yang terjadi dengan Sultan HB VII. Kedua, terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan terhadap diri Sultan HB X. Kedua hal ini akan menimbulkan perubahan struktural di Kraton sehingga kelompok yang selama ini pasif akan muncul dan membuat peta konflik baru.
Walaupun putusan MK membuka ruang bagi GKR Mangkubumi untuk menjadi gubernur dari semula 0% menjadi 50%, hal ini bukan berarti tak ada lagi halangan. UUK memiliki dua katup pengunci perempuan untuk menjadi Sultan dan Gubernur DIY yaitu di pasal riwayat hidup dan pasal gelar Sultan. Dalam Pasal 1 Poin 4 secara tegas menyebutkan gelar lengkap Sultan yaitu, “Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah.”
Jalan mulus bagi GKR Mangkubumi hanya akan tercipta apabila beliau dikukuhkan dengan gelar tersebut, mengabaikan kata “kalifatullah”. Namun, apabila menggunakan gelar baru, butuh kerjasama DPRD DIY dan Pemerintah Pusat, misalnya dengan terobosan administratif pembilahan internal-eksternal yang sukses menghantarkan Sultan HB X pada bulan Juli lalu.
Kondisi untuk memuluskan GKR Mangkubumi menjadi Sultanah dan kemudian menjadi Gubernur DIY berada dalam kondisi politik yang berbeda dengan kondisi ketika memperjuangkan RUUK. Pada tahun 2005-2012, berbagai elemen masyarakat yang kemudian melebur menjadi Sekber Keistimewaan bahu membahu mensukseskan RUUK dimana Sultan otomatis menjadi Gubernur. Saat ini, berbagai elemen kunci pejuang RUUK justru berbalik menentang Sabda dan Dawuh Sultan dan ingin tetap menjaga tradisi kemimpinan patriarkal. Misalnya, Paguyuban Dukuh se DIY Semar Sembogo yang semula berada di garis depan pejuang RUUK sekarang menjadi penentang utama gagasan Ratu.
Tercerai-berainya elemen pendukung RUUK menjadi ganjalan apabila amandemen UUK akan dilaksanakan; misalnya untuk menghapus pasal terkait gelar. Selain itu, upaya amandemen juga memiliki resiko membuka kembali kotak Pandora pembilahan pemilihan versus penetapan.
Sehingga, peluang besar untuk melancarkan penobatan GKR Mangkubumi menjadi Gubernur dapat dilakukan dengan kembali mengajukan gugatan ke MK untuk membatalkan poin yang terkait dengan gelar. Setelah semua rintangan regulasi dapat disingkirkan, barulah GKR Mangkubumi dinobatkan menjadi Ratu di Kraton Yogyakarta.