Pemerintah akhirnya melantik Gubernur dan Wagub DIY sesuai dengan berakhirnya masa jabatannya yaitu hari ini pada tanggal 10 Oktober 2017. Kebijakan ini berbeda dengan ucapan Dirjen Otda Sumarsono yang mengatakan bahwa Sultan dan PA akan dilantik pada 16 Oktober 2017 bersamaan dengan Gubernur DKI dan jeda waktu pelantikan akan diisi Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur. Persoalan ini bukan persoalan sepele karena menyangkut penegakan UUK. Mengapa Jakarta akhirnya berganti haluan dan mempercepat pelantikan?
Keistimewaan Yogyakarta memiliki lima kewenangan khusus yaitu: penetapan Gubernur/Wagub, tanah, tata ruang, kebudayaan dan kelembagaan. Kewenangan istimewa terkait penetapan Gubernur yang sekaligus Sultan Hamengku Buwono yang bertahta dan Wagub yang sekaligus Paku Alam yang bertahta tidak ditemukan di provinsi manapun.
Oleh karena itu, proses pelantikan Gubernur/Wagub DIY tidak dapat serta merta disamakan dengan provinsi lain yang dikenal Plt yang memiliki otoritas politik dan Pelaksana Harian (Plh) yang terbatas pada fungsi administratif. Sehingga jeda pelantikan antar Gubernur bisa diisi dengan Plt/Plh yang bisa diambil dari siapa saja sesuai keinginan pemerintah pusat. Tetapi di DIY, Gubernur dan Wagub dikunci dalam diri Sultan dan PA.
UUK memang memberikan ruang bagi seseorang diluar Sultan dan PA menjadi Pejabat Gubernur DIY dengan syarat yang sangat spesifik. Pertama, hal ini hanya terjadi apabila baik Gubernur atau Wakil Gubernur DIY tidak memenuhi syarat menjadi kandidat, misalnya karena faktor usia. Kedua, Pejabat Gubernur tersebut telah mendapat persetujuan dari Kasultanan/Pakualaman. Ketiga, Pejabat Gubernur tersebut berhenti ketika Sultan dan PA yang bertahta dilantik menjadi Gubernur/Wagub.
Syarat-syarat tersebut tidak ada dalam kondisi saat ini, sehingga Pejabat Gubernur tidak selayaknya diangkat. UUK tidak memberikan ruang bagi Pemerintah Pusat yang terlambat melantik Sultan karena pertimbangan teknis dan Plt/Plh tidak dikenal dalam UUK. Di UUK hanya dikenal Pejabat Gubernur dengan syarat-syarat diatas.
Bahkan, pengunduran dapat membawa konsekuensi yang serius. Penetapan Gubernur DIY merupakan bagian dari keistimewaan DIY, maka menunjuk Plt dapat ditafsirkan sebagai tidak dilaksanakannya UUK oleh pemerintah pusat. Selanjutnya, keputusan tersebut dapat diajukan ke PTUN dan dengan mudah digoreng lawan-lawan politik Jokowi. Ujung-ujungnya, elektabilitas Jokowi di DIY untuk 2019 menjadi pertaruhan.
Selain itu, penundaan pelantikan Gubernur DIY juga membawa konsekuensi psikologis bagi masyarakat DIY. Ketika pada 2012 SBY melantik Gubernur/Wagub di Yogyakarta, muncul kebanggaan atas istimewanya Yogyakarta. Kebanggaan ini dapat dibaca dari diskusi di hotel berbintang sampai obrolan di warung angkringan. Saat ini, seluruh Gubenur telah dilantik Presiden di Istana Negara Jakarta sesuai UU 8/2015 dan telah membuat kebanggaan dilantik langsung Presiden musnah. Sehingga ketika tempatnya di Jakarta dan waktunya pun diundur menyesuaikan DKI, tak ada lagi kebanggaan psikologis yang tersisa.
Persoalan tempat tidak diatur khusus dalam UUK sehingga mengikuti aturan pelantikan yang lebih umum. Konsekuensinya, pelantikan bisa dilakukan dimana saja asalkan dilakukan oleh Presiden, Wakil Presiden atau Menteri. Pilihannya, sesuai UU, kemudian menjadi mengerucut: dilantik di Jakarta oleh Presiden, atau dilantik di Yogyakarta oleh Wakil Presiden atau Menteri. Pemerintah Pusat akhirnya memutuskan untuk melantik di Jakarta oleh Presiden agar marwah Keistimewaan DIY tetap terjaga.
Tetapi diluar persoalan teknis terkait rencana pengunduran tersebut sesungguhnya terbersit hal-hal yang sangat substansial. Bahwa pelantikan Gubernur/Wagub DIY 2017 sekaligus menguji komitmen Jakarta untuk menegakkan UUK. Alhamdulillah, Jakarta lolos dalam ujian ini. Selamat kepada Gubernur DIY 2017-2023.