Tragedi SKTM

Kedaulatan Rakyat, Opini Jumat 13 Juli 2018

Mengapa wali murid mampu menggunakan SKTM Aspal untuk mendaftarkan sekolah anaknya? Apakah nilai-nilai kejujuran telah hilang? Tulisan ini akan membahasnya dalam kacamata Tragedi Bersama, “Tragedi of the commons”, teori klasik Garrett Hardin (1968).

Teori Hardin mengandalkan dua hal: semua orang akan berfikir rasional untuk memaksimalkan keuntungan pribadi dan kedua, tidak ada aturan yang membatasi tindakan rasional tersebut. Jika setiap orang boleh memasang keramba sebanyak-banyaknya di Waduk Sermo misalnya, peternak akan berusaha menambah keramba untuk keuntungan pribadi. Akibatnya terjadi tragedi bersama yaitu pendangkalan, menurunnya kualitas air dls. Keuntungan pribadi dibayar dengan kurugian bersama sebagai komunitas.

Tragedi SKTM diawali oleh dua kebijakan yang kurang dipertimbangkan dampaknya secara detail. Permendikbud 14/2018, yang tidak jauh berbeda dengan Permendikbud 17/2017, berisi dua kebijakan. Pertama, fasilitasi golongan miskin dengan kewajiban “paling sedikit” 20 persen dari jumlah siswa baru yang diterima, dan kedua penghapusan sekolah favorit dengan pembagian zona berdasarkan jarak tempat tinggal dengan sekolah.

Sekolah Terbaik

Persoalannya, sebagian besar orang akan berupaya untuk mencari sekolah terbaik untuk anaknya. Predikat sekolah favorit tidak mudah hilang diukur dari ujian UN. Sekolah menjadi favorit bukan karena fasilitas dan guru-gurunya saja, tetapi persaingan dan pergaulan antar siswa yang sama-sama ingin hasil maksimal. Seperti mesin penggilingan padi, gabah berubah menjadi padi bukan karena gesekan gabah dengan mesin, tetapi karena gesekan antar gabah yang difasilitasi mesin.

Oleh karena itu, dua kebijakan tersebut coba “diakali” walaupun dengan cara tak apik. Pertama, kebijakan zonasi diakali dengan memindah KK calon siswa minimal enam bulan sebelum PPDB. Hal ini tidak mudah dilakukan karena butuh orang yang akan menerima, dan butuh banyak persiapan dan biaya. Tahun ini, sistem zonasi telah diperbaiki dibanding tahun lalu.

Kedua, dengan membuat SKTM Asli tapi Palsu. Hal kedua ini lebih lazim dilakukan karena kemudahan. Permendagri tidak mensyaratkan bahwa pemilik SKTM namanya harus sesuai dengan data penduduk miskin dari lintas Kementrian terkait yang sudah terintegrasi. Pemohon tinggal meminta dokumen dari RT-RW-Kelurahan-Kecamatan. Walaupun tahu bukan dari keluarga tidak mampu, aparat tetap mengeluarkan SKTM dengan berbagai alasan. Di Brebes, Makmur, Kades Wargadalem mengatakan,” Kalau kami tidak mengeluarkan, kami dicap tidak melayani warga. Resikonya kami dimusuhi masyarakat.” Di tempat lain, RT mengeluarkan rekomendasi SKTM karena takut dicaci warga.

Celakanya lagi, akibat kebijakan ini, sekolah yang minim SDM harus memverifikasi setiap dokumen pendaftaran karena tidak ada batasan maksimal pendaftar ber-SKTM. Contoh paling menarik di kasus Jawa Tengah. Dengan daya tamping SMA 113.092 dan SMK 108.459, terdapat 148.854 pendaftar ber-SKTM: untuk SMA terdapat 62.461 (55%) dan SMK 86.939 (85%). Padahal angka kemiskinan di Jateng hanya 13% di tahun 2017. Setelah diverifikasi oleh sekolah, SKTM Aspal berjumlah 76.406 dokumen (51%). Artinya lebih dari separuh pendaftar ber-SKTM adalah keluarga mampu.

Dalam studi kebijakan publik, rasionalitas lebih diutamakan daripada standar moral. Artinya, kembali ke teori Hardin, setiap wali murid diasumsikan berfikir rasional untuk keuntungan pribadi. Rasionalitas berarti hitungan untung rugi. Apabila kerugian dianggap lebih kecil daripada keuntungan, maka yang bersangkutan akan mengambil resiko tersebut.

Dalam kasus SKTM, dokumennya asli dan dikeluarkan oleh lembaga resmi pemerintah. Jika akan dikenakan unsur pidana, tentu saja melibatkan RT sampai Camat yang menandatanginya. Apakah pemerintahan berhenti karena PPDB?

Nilai Kejujuran

Sayangnya, ketidakjujuran wali murid yang diakibatkan kebijakan mendikbud ini resikonya seluruhnya ditanggung siswa. Pertama, seluruh siswa yang ber SKTM Aspal gagal bersekolah di sekolah negeri dan harus mencari sekolah swasta. Sampai sejauh ini, belum jelas apakah kapasitas sekolah swasta sanggup menampung mereka.

Kedua, pelajaran moral orang tua yang gagal mengajarkan nilai-nilai kejujuran kepada anak. Anak justru dididik untuk menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sekolah favorit yang sebenarnya tidak favorit lagi. Apakah orang tua akan masih punya nyali mengatakan, “Eh nak, jangan engkau mencontek,” ketika justru orangtuanyalah yang memproses seluruh proses kecurangan dari RT sampai kecamatan. Resiko terbesar inilah yang tidak diperhitungkan orang tua mampu ketika memilih jalur SKTM.

Terakhir, sudah dua tahun ini Kemdikbud membuat berita heboh karena PPDB. Kebijakan SKTM harus berbasis pada data induk kemiskinan lintas Kementrian yang terupdate berkala. Tanpa itu, heboh PPDB akan berulang tahun depan.