Saya kaget membaca berita di Kompas tentang parkir berbayar di UGM bersamaan dengan satu pintu masuk ke UGM. Komentar di berita itu didominasi penolakan terhadap rencana parkir berbayar (belakangan, saya baru tahu jika ternyata surat edaran ttd Prof. Ainun Naim tidak berbicara tentang bayar membayar, hanya ujicoba pengaturan lalu lintas di UGM- download link dibawah). UGM dianggap komersial, menghancurkan predikat sebagai kampus kerakyatan dsb. Saya tidak terlalu risau dengan parkir barbayar, dan justru mendukung ide ini. Tapi ide tentang satu pintu masuk mengganjal di kepala. Bagaimana bisa satu pintu karena lokasinya yang terbuka, dipisahkan jalan kaliurang dan memiliki RS Sardjito yang menjadi RS Rujukan? Mungkin sudah banyak yang berubah di UGM sejak saya tinggalkan hampir dua tahun, tetapi apakah memang sedrastis itu perubahannya?
Ada beberapa alasan untuk mendukung ide parkir berbayar di UGM. Alasan itu antara lain:
Pertama, parkir berbayar bukan isu yang baru, sejak saya kuliah (1997-2002), parkir di UGM sudah membayar. Setiap terjadi perhelaan besar di UGM, kendaraan yang parkir selalu harus membayar. Jika ada wisuda, pameran computer di GSP, Mantenan di GSP atau wisma KAGAMA, seingat saya parkirnya tidak gratis. Selain itu, pengelolaan dan transparansinya perlu dipertanyakan.
Beberapa tempat sudah menerapkan parkir berbayar sejak lama. Parkir di Perpustakaan Pusat Unit 1 juga selalu membayar sejak dulu. Setiap Sholat Jumat di Masjid UGM atau “sarapan” di Sunday Market UGM juga bayar. Parkir di sekitar kantor pos, Kosudgama dan KU juga bayar. Jadi, jika alasan membayar menjadi polemik, kenapa tidak dari dulu ? Artinya ketika dikelola sendiri-sendiri, tidak jelas tranparansinya mengapa tidak diprotes, sedangkan ketika akan dikelola secara lebih sistematis mengapa ditolak?
Kedua, uang menjadi mekanisme efektif untuk mengatur perilaku civitas akademika. Artinya, hal ini bisa mendorong civitas akademika untuk memakai kendaraan umum, naik sepeda (semoga sepada tidak bayar) atau jalan kaki. Jika benar hal ini salah satu policy outcome-nya, masih perlu didiskusikan lebih jauh.
Ketiga, aturan perparkiran mutlak diperlukan di UGM untuk menciptakan suasana yang lebih baik dan teratur. Semakin hari, jumlah pemakai kendaraan semakin banyak. Mobil mahasiswa yang bagus-bagus berhimpitan dengan mobil dosen yang, semakin tua dosennya, semakin muda mobilnya . Motor juga tidak kalah banyaknya, sampai-sampai tempatnya tak cukup lagi. Tak banyak yang tertarik naik sepeda, sama seperti jaman saya dulu (padahal naik sepeda bukan pilihan tapi keadaan ). Karena aturan tentang wilayah parkir tidak jelas, kendaraan yang tidak mendapat tempat di tempat parkir, menyusup ke mana-mana, kadang ke parkiran dosen, dan ditempatkan tidak ditempat parkir tetapi di tempat yang sedekat mungkin dengan lokasi kuliah.
Keempat, seandainya hal ini menjadi pemasukan baru bagi UGM, toh hal itu didapatkan dari civitas akademis kaya, bukan dengan memberati yang miskin. Mampu berkendara, masak gak mampu bayar parkir. Mau bayar parkir di waktu malam ( di warung di pinggir kampus tiap malam), kok gak mau bayar di waktu siang.
Sekedar perbandingan dengan perparkiran di ANU seperti saya tulis di sini, mungkin bisa menjadi policy learning. Di ANU, tidak ada sejengkalpun tanah yang 145 hektar itu tidak jelas petunjuk parkirnya. Bandingkan dengan luas UGM yang hanya 67 hektar. Parkir di ANU ditangani oleh ANU Security yang rajin berpatroli mencari pelanggar parkir. Parkir di ANU yang didominasi mobil dibagi menjadi tiga.
Pertama, Parkir dengan sistem abonemen, minimal bulanan. Parkir jenis ini dibagi menjadi tiga, parkir mahal, Staff Only dan Permit Parking. Di parkiran mahal, mobil ditempatkan di bangunan khusus parkir yang terdiri dari beberapa lantai (rata-rata 4 lantai). Di tempat ini, akses masuk menggunakan kartu dimana pintunya terbuka otomatis, mirip parkir di Mall, hanya tidak ada orang yang menunggu. Saya tidak tahu harga per bulannya, tapi dugaan saya harga parkir di tempat ini selama setahun lebih mahal dari harga mobil saya. Staff Only parking permit boleh dibeli oleh staff dan graduate student dengan harga sebulan sekitar $30.80. Parking permit untuk Permit Parking area (bingung gak?) boleh dibeli oleh students dengan harga separuh harga staff. Student dilarang parkir di Staff Only, sedangkan staff dapat parkir di Permit Parking area.
Kedua, Parkir untuk Visitor yang gratis dibatasi 5 menit sampai 3 jam. Nah, ANU Security rajin sekali Patroli daerah ini. Security mendeteksi mobil yang parkir lebih lama dari seharusnya dengan memberi tanda di ban dan aspal. Kalau tidak ingin ditilang, harus rajin mengecek roda ban.
Ketiga, Parkir Visitor berbayar. Visitor dapat membayar di mesin parkir dengan nominal tertentu untuk jangka waktu tertentu. Tarifnya bebeda-beda sesuai dengan tempatnya. Semakin strategis semakin mahal.
Ketiga mekanisme parkir ini hanya berlaku untuk jam kerja (9am- 5pm) Senin-Jumat. Selain itu, masih ada parkir khusus untuk disabled, motor, asrama dan loading dock. Permit untuk disabled didapatkan dari Road and Transport Authority (RTA) setelah mendapat surat dari dokter berkaitan dengan hambatan mobilitas. Tempat atau pinggir jalan yang dilarang parkir ditandai dengan cat warna kuning dan merah di kerb-nya (pinggiran trotoar yang menempel di jalan). Dengan mekanisme ini, tidak ada pengecualian bagi pelanggar karena policynya sangat jelas.
Selain itu, sistem parkir juga terintegrasi dengan student and staff administration system. Pembelian abonemen parkir bisa dilakukan online, atau di deduct dari gaji staff. Parkir fines juga terintegrasi dengan RTA. Artinya, jika tidak membayar denda parkir (setiap pelanggaran difoto dan diberi “surat cinta” di wiper depan) , akan mendapat denda tambahan dan tidak dapat memperpanjang Rego (ijin jalan atau pajak tahunan yang berupa stiker yang ditempel di windscreen). Tanpa Rego, jangan harap berani pakai mobil yang akan mudah dideteksi dari ribuan camera yang tersebar di seluruh penjuru kota. Jika masih nekat juga, Driver’s Licence (bukan Driving Licence seperti di SIM) bisa dicabut yang berarti akan sulit untuk “hidup normal” karena Driver’s licence menggantikan fungsi KTP.
Nah artinya, kebijakan parkir di UGM harus jelas sehingga menjamin tercapainya policy outcome. Tapi lambat laun, hal ini bisa diperbaiki. Artinya, ke depan, saya optimis UGM bisa mengelolanya dengan baik.
Ganjalan yang muncul justru di sistem satu pintu masuk UGM. Rumor dan pembangunannya memang telah beberapa waktu yang lalu dilakukan. Ada portalisasi massal di UGM, dengan buka-tutup yang tidak pasti. Civitas Akademika harus menghapal, kapan portal sebelah sana dibuka dan ditutup, karena informasi yang sering tidak memadai. Saya sering bolak-balik karena tidak bisa keluar dan tidak bisa masuk Fisipol yang letaknya di tengah-tengah Bulaksumur.
Portalisasi juga membuat beberapa bangunan kampus bagian depan menjadi bagian belakang atau sebaliknya. Kampus Fisipol misalnya, seharusnya bagian depannya adalah yang menghadap ke Perpustakaan Unit 2. Tapi karena diportal akses masuknya, para tamu harus masuk lewat Fakultas Hukum yang langsung bertemu dengan WC, atau demonstrasi mahasiswa. Dulu keluhan ini pernah disampaikan, mungkin sekarang sudah ada solusinya. Kabarnya lagi, kebijakan portalisasi ini seiring dengan pemindahan PKL ke tempat yang dibuat UGM sehingga kampus menjadi lebih tertata.
Nah, karena tidak tahu pasti kondisi lapangan di UGM sekarang, agak sulit untuk membayangkan dampak dari kebijakan ini. Hanya saja, pendapat tentang parkir di UGM haruslah didasarkan pada pertimbangan rasionalitas dan kebutuhan jangka panjang, bukan asal menolak ketika membayar dan setuju ketika gratis. Argumen kerakyatan misalnya, bukankah mereka yang berkendaraan ke kampus adalah orang berpunya? Kebijakan parkir justru berpihak kepada civitas akademika miskin yang tidak berkendaraan. Sudah miskin, harus mensubsidi mereka yang kaya dengan merelakan ruang publiknya dipakai parkir. Rakyat itu siapa? Apakah definisi rakyat sekarang bergeser menjadi Rakyat bermobil sehingga membuat mereka (rakyat bermobil) tidak parkir gratis berarti tidak kerakyatan. Apakah UGM adalah kampus kerakyatan ketika memberi rakyat kaya privilege dengan parkir gratis yang memakan ruang publik? Mungkin harus ada revolusi pemikiran tentang kerakyatan. Kerakyatan harus dipahami sebagai sebuah konsep berpikir dan keberpihakan.
Artinya perlu dikaji baik buruk sebuah policy bukan hanya dilihat dari membayar dan tidak membayar. Setuju jika gratis dan menolak ketika bayar. Perlu dipikirkan tentang budaya waton gratis di kepala.
Tambahan 26/8/09
Berikut Surat Resmi Rektor tentang Lalulintas di UGM, silakan klik disini edaran-pengaturan-lalulintas-ugm