Kedaulatan Rakyat-Analisis-21 Agustus 2009
Kasak-kusuk pembentukan kabinet SBY II sudah bergulir sejak pencalonannya dilakukan. Menteri-menteri strategis, misalnya menteri Pendidikan yang memegang 20% APBN, diincar banyak partai, bahkan secara terang-terangan. Dengan modal sekitar 26% kursi DPR dan satu putaran Pilpres, seharusnya SBY berani memilih anggota kabinet dengan pertimbangan profesional daripada kabinet “pelangi” untuk menghindari pengulangan kesalahan kitchen cabinet.
Istilah Kitchen Cabinet (Kabinet Dapur) pertama kali digunakan untuk mendiskripsikan tingkah laku Presiden ketujuh Amerika, Andrew Jackson di awal tahun 1830-an. Kitchen Cabinet adalah para penasihat Presiden tidak resmi yang pararel dengan Kabinet sebenarnya. Langkah politik Presiden sangat ditentukan oleh “bisik-bisik” di belakang meja dapur dan bukan di the real cabinet.
Dengan membentuk kabinet pelangi, SBY akan sulit mewujudkan janji kampanyenya, sebagaimana terjadi di pemerintahan 2004-2009. Kemenangan SBY tidak disebabkan karena terealisasinya janji kampanye Pilpres 2004 tetapi lebih kepada politik populis BLT (Mietzner 2009). Belajar dari kesalahan kabinet Indonesia bersatu, beberapa faktor kurang efektifnya pemerintahan disebabkan antara lain. Pertama, SBY tidak leluasa memilih orang-orang yang benar-benar dikehendaki menjadi menteri. Faktor-faktor yang diterapkan untuk memilih menteri menjadi sangat beragam. Faktor keahlian dikalahkan dengan faktor politik strategis lima tahun. Kedua, terjadinya rangkap jabatan menteri dan pengurus partai politik. Setiap menteri yang berasal dari partai politik akan hadir dalam identitas ganda, sebagai menteri dan sebagai wakil partai di kabinet sekaligus. Tarik ulur kepentingan partai dan posisi menteri membuat birokrasi tidak efektif.
Dampak kesalahan memilih menteri berujung pada kinerja seluruh pemerintahan. Hal ini mendorong terjadinya kontestasi politik tingkat tinggi antar departemen. Birokrasi membahasakannya sebagai terjadinya “kurang koordinasi” antar departemen dan intra departemen. Bukannya bergerak dalam sinergi, kementerian cenderung bergerak sendiri-sendiri.
Sebagai alternatif menggerakkan roda pemerintahan lebih cepat, SBY membentuk semacam kabinet dapur yang berisi orang-orang yang disukai (dan terutama berjasa) kepadanya. Kabinet ini berguna sebagai katalis pembangunan. Kriteria dan proses seleksi orang-orang yang berada di Ring-1 Presiden ini tidak pernah diketahui publik. Apabila disebut staf ahli, seharusnya bisa diketahui keahliannya secara luas, karya-karyanya dan pengabdiannya kepada Indonesia. Selain kinerja yang sulit diukur, kitchen cabinet ini lebih banyak diketahui publik karena kegagalannya daripada cerita suksesnya.
Dua kegagalan besar yang mempermalukan, tidak hanya SBY, tetapi juga Indonesia adalah kasus Blue Energy dan Supertoy. Tanpa banyak cingcong, Blue Energy tiba-tiba dipamerkan di acara bergengsi international climate change di Bali. Minyak itu kemudian diberi nama oleh SBY sebagai Minyak Indonesia Bersatu dan digadang-gadang menyelesaikan krisis energi. Supertoy juga demikian, terekspos media setelah merugikan petani ratusan juta. Belakangan, keduanya terbukti pepesan kosong. Hal tersebut menandakan dikesampingkannya peran institusi pemerintahan resmi yang didanai rakyat lewat APBN. Paling tidak, apabila penelitian dilakukan oleh BBPT, LIPI, Departemen Energi dan Departemen Pertanian, kasus memalukan tersebut tidak mungkin terjadi. Artinya, peran kabinet resmi diby-pass oleh Kitchen Cabinet.
Kelonggaran ini akan terus ada selama aturan tentang Kepresidenan belum ada. Aturan ini mutlak diperlukan agar presiden tidak diberi kontrak kosong dalam menjalankan pemerintahan. Harus ada batasan jelas tentang apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan presiden.
Apabila SBY berani memilih menteri berdasarkan profesionalisme, badai besar koalisi partai pendukungnya akan menarik, terutama kontestasi di DPR. Namun demikian, SBY telah berpengalaman mengambil langkah tidak populer ketika memilih Boediono menjadi Wapres. Pelajaran dari peristiwa ini sangat mudah dibaca, partai-partai hanya melakukan gertak sambal, dengan harapan sekian posisi kementerian dapat dipegang. Jika ternyata menteri pun tidak mereka dapat, apakah mereka akan tetap mendukung pemerintahan SBY? Jika tidak, apa yang akan mereka lakukan?
Patut diingat, masa depan partai Demokrat sangat ditentukan oleh kinerja SBY hingga 2014 mendatang. Jika kinerjanya bagus, generasi Demokrat pasca SBY mungkin mendapat tempat di hati rakyat. Jika tidak, bisa jadi kita akan menyaksikan empat pemilu demokratis dengan empat partai pemenang. Kuncinya ada di SBY, beranikah ia mengambil resiko dengan menyusun kabinet professional?