Kedaulatan Rakyat-Analisis-30082009
Kabar mengejutkan keluarga Cendana kembali menjadi perdebatan penting. Dua anggotanya yang paling banyak menghiasi berita, Mbak Tutut dan Tommy, tertarik masuk pentas politik lewat Munas VII Partai Golkar (PG) di Pekanbaru Oktober mendatang. Tommy jelas mengungkapkan ketertarikannya, sedangkan Mbak Tutut tengah mempertimbangkannya. Apakah yang membuat mereka tertarik dengan Partai Golkar dan bagaimana peluangnya di pentas politik nasional?
Bagaimanapun, PG tetap merupakan kendaraan politik terbaik bagi keluarga Cendana dalam politik karena beberapa pertimbangan sebagai berikut. Pertama, sisa-sisa dukungan rejim Orde Baru selama 32 tahun masih tampak jelas menggurat dalam tubuh PG. Secara kasat mata, hanya PG yang memiliki jaringan kuat di hampir seluruh kabupaten/kota, kecuali di daerah pemekaran. Selain pengorganisasian, jalur karir dan manajemen yang jelas dan bagus, infrastrukstur PG juga paling kuat. Kantor-kantor cabang PG di daerah terletak di lokasi strategis. Kekuatan infrastruktur ini sulit disaingi partai lain yang masih banyak yang mengontrak, atau bertempat di rumah salah satu pengurusnya. Artinya walaupun dana yang dikeluarkan untuk menjadi pucuk pimpinan PG besar, hal ini hanya secuil dibandingkan dengan membangun sendiri seluruh sistem organisasi dan infrastruktur tersebut.
Kedua, PG memiliki banyak kader yang berkualitas yang dibuktikan oleh kuatnya persaingan di dalam organisasi. Dibandingkan dengan PDIP dan PD, PG relatif tidak memiliki pimpinan karismatis tapi tetap mampu mendapatkan suara yang signifikan. Artinya, “keberhasilan” PG menjadi runner up pemilu 2009 dapat dibaca sebagai hasil kerja keras kader berkualitas. Selain itu, pada Pilpres 2004, hanya PG yang memberlakukan konvensi internal untuk kandidat presiden. Walaupun hal ini tidak diteruskan di Pilpres 2009, hal ini menandakan begitu kompetitifnya persaingan didalam tubuh partai. PG juga tercatat sebagai partai yang paling banyak “meluluskan” alumninya di berbagai partai politik. Kader-kader Golkar yang menjadi kepala daerah di lebih 200 kabupaten/kota, baik atas dukungan PG atau partai lainnya.
Ketiga, kegagalan dua partai baru di DPR, Hanura dan Gerindra untuk mencapai suara yang signifikan dalam Pileg lalu. Hal ini memantapkan langkah untuk memanfaatkan kendaraan politik yang sudah ada dibandingkan membangun kendaraan baru. Walaupun kedua partai baru tersebut dapat duduk di DPR, hal ini belum sebanding dengan usaha, kerja keras dan dana yang dikeluarkan. Batas minimal dukungan 2,5% (Parliamentary Threshold) untuk dapat melenggang ke senayan membuat keinginan politisi membentuk partai baru menyurut signifikan. Tidak sedikit yang memulai lagi komunikasi politik dengan “almamater” nya Partai Golkar, dengan kemungkinan untuk kembali memperkuat barisan PG.
Jika demikian besarnya keunggulan kompetitif PG, dinasti Cendana tentu harus cermat memanfaatkan peluang sekecil apapun, termasuk momen Munas. Walaupun Tommy terkesan berhasrat memimpin PG, dan meneruskan dinasti Cendana di 2014, banyak sekali hambatan yang merintang. Selain hambatan administratif berkaitan dengan minimal masa kepemimpinan dan pengalaman di pentas politik, kasus pembunuhan Hakim Agung, kepemilikan senjata dan proses pelariannya tentu tidak mudah dilupakan kader-kader PG. Artinya dukungan finansial yang dimiliki tidak serta merta menghapus jejak kelam tersebut.
Tutut, walaupun memenuhi persyaratan administratif, pernah gagal ketika pindah ke lain hati ketika dicalonkan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) menjadi Presiden di tahun 2004. Pada pemilu 2004, PKPB yang didukung oleh mantan pajabat dan petinggi Golkar antara lain Jendral (purn) R Hartono, mantan KASAD, Mendagri dan Menpan dan mantan sekjen Golkar, Ary Mardjono hanya mampu meraih 2,11% suara. Jika memakai hitungan saat ini, PKPB tetap tak lolos parliamentary threshold. Pendek kata, figur Mbak Tutut terbukti tidak lagi menjual dalam pentas politik nasional, yang menjadi pertimbangan penting bagi kader PG.
Pun, seandainya salah satu dari keluarga Cendana dapat melampai rintangan pertama dengan menduduki posisi strategis di PG, niatan untuk menjajal kesaktian di 2014 perlu dipikirkan lebih dalam. Tiga pemilu di Indonesia telah menghasilkan tiga partai berbeda menjadi pemenang. Selain itu sekitar 40% kepala daerah yang dipilih DPRD (incumbent), gagal mempertahankan posisinya ketika bertarung untuk posisi yang sama dalam Pilkada (Mietzner, 2005).
Dua fenomena penting ini menandakan tingginya tingkat persaingan dan turnover (pergantian) dalam pemilu dan Pilkada. Pemilih Indonesia pasca Soeharto tidak segan-segan menyingkirkan kandidat dengan kinerja yang buruk pada pemerintahan sebelumnya atau partai yang tidak memberikan dampak riil terhadap kehidupan. Sebaliknya, dukungan melimpah sangat mudah didapatkan dalam Pilkada jika kepala daerah sungguh-sungguh bekerja untuk rakyat. Elit partai Golkar seharusnya bijak memilih nahkoda untuk masa depan mereka sendiri.