Selama melakukan penelitian lapangan untuk studi PhD sejak akhir 2015, saya setidaknya sudah mewawancarai tak kurang dari 21 raja dan sultan termasuk mereka yang mengaku raja dan punya pengikut yang signifikan. Jika ditambahkan dengan orang kedua, semacam perdana menteri atau putra-putri dan permaisuri, jumlahnya menjadi puluhan orang. Itu diluar puluhan pejabat adat, politisi, wartawan, akademisi, sejarawan dan budayawan yang jika ditotal jumlahnya menjadi 286 di 11 Provinsi dan 17 Kab/Kota. Tak sedikit yang saya temui berulang kali.
Ada beragam kharakter dari raja-raja tersebut. Ada raja yang tidak percaya diri untuk diwawancari sendirian, sehingga harus mengajak bawahannya, yang entah mengapa, berbicara lebih banyak daripada rajanya. Ada yang ketika saya datang ke rumahnya disebuah kompleks perumahan sesuai jam yang dijanjikannya, istrinya keluar sebentar dan meminta saya menunggu di luar gerbang garasi. Empat puluh menit saya harus berdiri di bawah terik matahari. Ada juga yang memang berlagak menjadi penguasa sungguhan. Cerita tentang tiga raja Yogyakarta yang saya temui empat mata ini menarik untuk dikisahkan. Mereka adalah Sri Paduka Paku Alam IX, Sri Paduka Paku Alam X dan Sultan HB X. Saya mulai dari yang pertama.
Protokoler Wakil Gubernur DIY menelpon saya, dan mengabarkan bahwa saya ditunggu Sri Paduka Paku Alam IX jam 7.30 pagi. Bah! Mana ada pejabat yang datang sepagi itu. Jangankan setingkat Wakil Gubernur, pernah seorang bupati enam kali ingkar janjian dengan saya, tiga janji diantaranya terucap dari mulutnya sendiri. Setiap kali saya datang dan menunggu berjam-jam, dia selalu menjanjikan ketemu lain kali.
Pagi itu beberapa hari kemudian, istri saya sudah mengingatkan ketika saya sarapan jam 7 pagi bahwa janjian jangan sampai telat. Sekali lagi saya jawab, “Ah mana ada pejabat yang datang jam 7 pagi, jam kantor saja jam 8.” Akhirnya saya datang ke Kepatihan jam 7.45. Ruangan kepatihan yang telah berusia dua ratus tahun itu sebelah Barat ruangan Gubernur dan sebelah Timurnya ruangan Wagub. Tidak nampak seseorangpun disitu. Setelah sampai dan ke toilet, protocol yang akhirnya menemukan saya setelah mencari kesana-kemari mengatakan bahwa Wagub sudah menunggu sejak jam 7 pagi! Saya kehilangan kata selain minta maaf berkali-kali. Sri Paduka yang ketika muda bekerja di perusahan kapal dan fasih beragam bahasa ini menjawab santai, ”Saya kan siap-siap lebih dulu. Siapa tahu bapak datang lebih awal.” Blaik!
Sri Paduka, dengan gestur yang sangat biasa dan akrab, menjawab wawancara saya selama hampir dua jam. Sesekali saya harus menunggu lama karena beliau harus mengatur napas, atau menunggu sedotan rokok yang hampir menghabiskan separuh bungkus itu. Setelah selesai, beliau lebih dulu berterimakasih sudah dikunjungi, dan menambah teman. Malu saya di awal, menjadi berlipat di akhir.
Putra beliau, Sri Paduka Paku Alam X, pertama kali saya temui di ruang tunggu bandara Lombok dalam perjalanan menuju Festival Keraton Nusantara IX Bima 2014. Dari kesan pertama, sudah terlihat dirinya yang merakyat. Pada acara Opening Dinner FKN, beliau tampil dengan baju Jawa lengkap yang dipakai putra mahkota dalam jamuan resmi (dilihat dari beskap, blangkon, keris dan batik bawahannya). Di antara sekian banyak raja dan pejabat yang hadir, saya kira, beliaulah kandidat pejabat tertinggi yang sudah digaransi oleh UU sebagai Wakil Gubernur (beliau dinobatkan sebagai Paku Alam X pada Januari dan menjadi Wagub DIY pada Mei 2016). Tapi tampil biasa saja dan tidak menjadi pusat perhatian, padahal beliaulah perwakilan tertinggi dari kontingen Yogyakarta saat itu. Sehingga kehadiran dan sikapnya tidak mengundang media. Ketika berfoto bersama, beliau juga tidak memaksa berdiri di tengah, seperti para raja abal-abal. Seperti yang sudah-sudah, FKN selalu menjadi ajang unjuk gigi raja abal-abal. Panitia juga sepertinya tidak begitu faham dengan sebaran politik para tamunya. Ketika saya sibuk berkenalan dengan para raja, beliau pamit,” Mas, saya pulang duluan ya.” Sampai di penginapan saya berpikir, “Siapa saya sampai dipamiti putra mahkota Pakualaman!”
Di salah satu pertemuan berikutnya, ketika saya yang kebetulan sedang di kampus, diajak bertemu di sekitar kampus. Sebenarnya beliau ingin main ke rumah saya, tapi saya malu ketika itu. Akhirnya kami bertemu di foodcourt di dekat lembah UGM. Seperti biasa, tidak ada yang istimewa, beliau menyetir sendiri mobil karimun hijau yang sudah cukup tua. Tak jauh beda dengan ayahnya yang menemui saya sambil terpincang karena jatuh dari sepeda motor beberapa minggu sebelum wawancara. Beliau santai saja ketika saya potong jawaban-jawabannya sehingga sesuai dengan kebutuhan data (belakangan ketika mendengarkan kembali rekamannya, saya menyesal melakukannya, seharusnya saya lebih bersabar sehingga mendapat informasi lebih banyak). Setelah selesai, saya bertanya ke pramusaji, ”Mas tahu nggak kalau yang barusan kesini itu adalah Paku Alam yang baru saja dinobatkan?” Tentu saja, tak ada yang menyangka bahwa beliaulah yang poster-poster besarnya menghiasi Yogyakarta selama sebulan terakhir. Jadi jangan kaget, ketika melihat Wagub DIY mengantri tiket nonton pameran motor custom yang menjadi kegemarannya, mengesampingkan undangan VVIP yang berada di mejanya.
Yang ketiga adalah Sri Sultan Hamengku Buwono (atau Bawono) X. Saya tak menyangka beliau sudah menyiapkan jawaban atas susunan pertanyaan yang saya kirimkan sebulan sebelumnya. Saya menyebut beliau dengan Ngarso Dalem dan beliau memanggil saya dengan sebutan “bapak”. Jawabannya hampir selalu diawali dengan, “Begini Bapak…..” Sama sekali tidak ada kesan angker apalagi angkuh. Dari dialog empat mata selama dua jam lebih tersebut, saya menemukan kesan sosok demokratis. Beliau adalah orang yang mau mendengar pendapat orang lain, bahkan menjawab dengan akrab pertanyaan-pertanyaan saya yang keras dan kritis: mulai soal tanah, suksesi sampai soal mall dan hotel. Sekedar informasi, ada pangeran tinggi di tempat lain yang menolak saya interview dan menjawab alasannya via orang ketiga karena “Daftar pertanyaannya terlalu keras dan menyangkut kondisi internal kerajaan.”
Saya juga heran beliau sabar meladeni saya dari jadwal semula yang hanya satu jam. Sejak waktu berjalan lebih dari 60 menit, saya melihat bayangan staf beliau yang mondar mandir di balik pintu. Tetapi tentu saja, siapa yang berani manginterupsi Gubernur yang juga Sultan yang sedang sibuk menjawab wawancara? Saya akhirnya berhenti setelah saya nggak enak sendiri. Setelah selesai, ternyata di luar, sudah menunggu wawancara beliau dengan salah satu stasiun TV.
Tentu saja, pertemuan-pertemuan tersebut tidak mengubah beberapa kritik dan pendapat saya tentang kekuasaan Jawa. Misalnya dilihat disini, disini, disini dan disini (dan lebih lengkapnya di Thesis Insha Allah). Tetapi setidaknya ada dua pelajaran yang bisa diambil. Pertama, bisa jadi salah satu aspek diluar aspek material mengapa kerajaan di Yogyakarta bisa bertahan karena mereka selalu membangun komunikasi dengan subjectnya. Kedua, bisa jadi, para penentang dan pembenci bangsawan, yang juga saya temui, akan sedikit berbeda ketika bertemu rajanya langsung. Percayalah, walaupun sumpah serapah dan hujatan ditujukan pada mereka, saya yakin itu tak akan banyak berguna karena mereka sudah digembleng sejak mula-mula untuk menerima semua itu.