Kedaulatan Rakyat, Analisis 10 Mei 2017
HAMPIR seluruh media online cukup gegabah menampilkan judul terkait pembubaran HTI. Mereka menulis, ‘Pemerintah Bubarkan HTI’ dan sejenisnya. Pemerintah sebenarnya hanya mengambil langkah akan membubarkan HTI. Kata akhir pembubaran berada di Mahkamah Agung sesuai prinsip demokrasi yang tertuang di UU 17/2013. Disinilah polemiknya bagaimana organisasi yang menentang demokrasi bisa berlindung di balik proses demokratis?
Ada dua prinsip demokrasi yang berhubungan dengan hak berserikat. Pertama setiap orang dijamin kebebasannya untuk berkumpul dan menyatakan pendapat. Kedua pembagian kekuasaan ke dalam berbagai lembaga negara yang tidak bisa saling mengintervensi. Sehingga jika kedua prinsip ini dijalankan otomatis pemerintah tidak bisa begitu saja membubarkan organisasi.
Pernyataan pemerintah melalui Wiranto mengingatkan kita akan Orde Baru. Pernyataannya mirip dengan cara-cara Orde Baru. Menjelang tumbang, Suharto menumpas seluruh gerakan pro-demokrasi dan melabeli mereka dengan istilah OTB (Organisasi Tanpa Bentuk) yang ‘menyesatkan masyarakat’. Gerakan prodem waktu itu tak mungkin terbuka karena tembok dan pintu bisa menjadi telinga pemerintah Suharto.
Persoalannya, HTI secara nyata menentang demokrasi. Menurutnya demokrasi adalah produk barat yang tidak sesuai dengan konsep khilafah. Setiap muslim, menurut HTI, seharusnya bercita-cita untuk mendirikan khilafah yang tak tersekat batas negara. Di Indonesia, walaupun sudah hadir sejak Orde Baru membuka tangan terhadap umat Islam di awal 1990an, tidak ada yang menganggap HTI sebagai persoalan serius. Idenya tentang khilafah tak lebih dari mimpi di siang bolong. Melihat konteks geopolitik saat ini, sulit untuk merealisasikan ide khilafah dalam lima puluh tahun ke depan kecuali ada perubahan drastis konstelasi politik internasional.
HTI menjadi penting untuk dibubarkan karena HTI adalah target paling mudah sebagai bukti langkah politik balasan atas serial aksi umat Islam belakangan ini. Sejak semula, HTI terlibat dalam gerakan 411 dan 212 yang membuat pusing pemerintah. Ketika melihat momentum menguatnya gerakan Islam dan melemahnya relasi antara pemerintah dan gerakan Islam pasca kasus Ahok, HTI merancang tabligh akbar dan konvoi di berbagai kota di Indonesia.
Ternyata, kalkulasi politik mereka tidak tepat. Rencana tabligh HTI ditolak di Surabaya dan Makassar (2 April), Bantul dan Semarang (8-9 April), Bandung (14-15 April) dan Jombang (1 Mei). Di berbagai kota lain di Indonesia muncul deklarasi menolak HTI. Sebaliknya, elemen-elemen yang sebelumnya bersama-sama HTI dalam 411 dan 212, meninggalkannya sendirian karena sejak semula memang tak sejalan dengan usungan ide khilafah. Tidak hanya itu, buletin Jumat ‘Al-Islam’ milik HTI juga dilarang beredar di masjid-masjid. Tanpa perlawanan balik, gerakan HTI menjadi kerdil.
Di saat yang sama, pemerintah butuh justifikasi bahwa Pancasila dan konstitusi adalah landasan berbangsa dan berorganisasi. Di tengah kegagalan perhitungan politik HTI, inilah saat yang tepat membubarkannya. Gerakan HT telah lebih dulu dilarang di Mesir (1974), Bangladesh (2009) dan Malaysia (2015).
Pemerintah bisa saja membubarkan HTI, tetapi prosedur demokrasi melalui pengadilan harus dijalani. Inilah cara demokratis yang harus diperjuangkan. Sangat mudah mencari bukti HTI bertentangan dengan Pancasila, demokrasi dan konstitusi. Hampir seluruh buletin, spanduk dan orasi demonstrasi bisa dijadikan bukti, yang bahkan bisa diambil dari situs HTI. Semua warganegara harus mengawal proses ini jika tak ingin kembali terjerumus di lembah otoritarianisme.
Menariknya, satu-satunya jalan yang bisa dilakukan HTI untuk melawan adalah memanfaatkan ruang-ruang yang disediakan demokrasi, yang selama ini ditentangnya. Proses pengadilan bisa menjadi ajang sosialisasi ide dan gagasan dalam konteks yang lebih luas. Namun demikian, kecil kemungkinan HTI menang.
Persoalannya, ideologi dan keyakinan tak pernah bisa dibubarkan. Ideologi khilafah tetap akan ada sebagaimanapun muskilnya itu bisa direalisasikan. Gerakan dan strateginya akan berubah dari gerakan ormas formal terbuka menjadi gerakan klandestin tertutup. Teknologi saat ini sangat memungkinkan tumbuhnya gerakan klandestin. Hanya saja, jika dengan gerakan formal pun HTI sulit mendapatkan pengikut signifikan, apatah lagi gerakan klandestin.
Hanya pemerintah harus menempuh langkah demokratis untuk situasi apapun, termasuk membubarkan ormas antidemokrasi. Jika tidak, derajat kita sebagai sebuah bangsa beradab dipertaruhkan.