Fenomena batu Bacan ini menjadi hiburan ketika riset, terutama di Ternate dan terus berlanjut sampai ke Palembang.
Saya indekos di belakang Kedaton Ternate. Pada awal datang ke Ternate tanggal 20 Oktober 2014, industri batu akik masih hanya beberapa saja dan berada di kios-kios di sebelah Ngara Ici (lapangan Kecil) di depan Kedaton. Oh ya, selain Ngara Ici, lapangan yang menjadi milik Kasultanan adalah Ngara Lamo (lap besar). Industry ini berkembang sangat pesat dan ketika saya meninggalkan Ternate sebulan setelahnya, industry pengolahan batu ini sudah berjajar di seluruh deretan jalan antara Ngara Lamo dan Hypermart. Setiap sore, jalanan ini dipenuhi pengunjung, penikmat batu akik, atau batu Bacan dan Obi. Keramaian pedagang jalanan ini mengalahkan pasar batu permata yang ada sekitar 500 meter. Pasar batu permata, selain bocor dan becek, juga terkesan kumuh. Namun demikian, pasar tersebut tetap penuh pelanggan karena lebih lengkap, misalnya cincin titatium. Tetapi di ujungnya, ada penjual mie ayam paling enak se Ternate.
Pusat industri batu Bacan ini hanya salah satu dari beberapa pusat industri rakyat lainnya di Ternate disamping ratusan kios-kios kecil yang menjual batu Bacan. Tentu saja tidak jelas darimana pedagang dadakan yang memanfaatkan perataan Ngara Ici dapat mendapatkan pasokan listrik untuk memutar gerinda yang berkekuatan 500 watt, padahal paling tidak dibutuhkan tiga gerinda (termasuk satu untuk alat pemotong) di setiap kios. Idealnya, pelanggan membawa serta dua hal: cincin (biasanya titanium) dan batu bakalan. Batu bakalan akan dipotong dengan menggunakan mesin pemotong yang didekatkan dengan lap basah agar potongan batu tidak masuk ke mata dan besi pemotongnya tidak panas. Orang ini adalah yang paling berpengalaman di industri pemotongan batu karena dia yang mengetahui ukuran dan bagaimana sudut terbaik yang didapatkan berdasarkan bentuk batu bakalan dan ukuran akik.
Setelah dipotong, dalam beberapa sudut kotak, batu akan dilekatkan dengan alteco pada sebatang bambu kuning kecil dan dilumuri bedak untuk dibentuk (belum dihaluskan) dengan gerinda kasar yang tengahnya cekung. Setelah selesai, akik akan didiamkan untuk menurunkan suhu panas yang terbentuk dari proses gerinda pembentukan. Langkah selanjutnya adalah menghaluskannya menggunakan gerinda yang ditutupi amplas halus, sampai batu benar-benar sesuai dengan keinginan, mengkilap. Proses ini hanya bisa dilakukan oleh tenaga terampil, seringkali butuh beberapa kali pelekatan lem karena batu lepas dari gagang bamboo atau bahkan terlempar. Butuh beberapa kali juga untuk mengganti amplas yang sudah halus atau karet yang hilang. Untuk keseluruhan proses itu, cukup membayar 50 ribu rupiah. Ditambah biaya cincin titanium yang di Ternate harganya 95 ribu, sekitar 150 ribu rupiah hanya untuk ongkos pemotongan dan cincin, belum termasuk harga batunya.
Hanya saja, proses pemotongan jadi ini sangat tidak direkomendasikan untuk mereka yang masih awam tentang batu dan kekerasannya. Ada sering sekali kasus dimana batu Bacan nya pecah karena terlalu lembut atau hancur tak kuat mengalami proses pemanasan ketika digerinda. Untuk batu yang cukup kuat dan keras, semakin digosok akan semakin mengkilap, tetapi untuk batu yang kurang kuat, seperti beberapa jenis Bacan Palamea, akan retak, pecah dan gagal diolah.
Industri rakyat ini menggerakkan ribuan orang untuk berprofesi dan mencoba peruntungan di batu akik, yang jelas, hal ini menciptakan lapangan pekerjaan yang luar biasa untuk Ternate yang menjadi pintu utama keluarnya batu Bacan yang berasal dari pulau Bacan, dan sebutannya berasal dari desa tempat bongkahan didapatkan, misalnya Doku dan Palamea.
Penggemarnya, tidak lagi rakyat jelata seperti penjual batu akik yang ada di emperan trotoar ketika saya kecil dulu, tetapi sudah menjangkau kalangan atas. Beberapa informan yang saya temui juga memiliki koleksi batu Bacan dan tidak jarang menjadi buah tangan, souvenir dan bisa jadi gratifikasi yang patut diperhitungkan KPK. Pernah suatu ketika saya datang ke rumah salah seorang pejabat tinggi di Ternate sehabis Isya. Penjaga keamanan rumah mengatakan orang yang ingin saya temui berada di rumah dan biasanya keluar setelah sholat Isya. Saya menunggu beberapa saat sampai anaknya yang masih SMP keluar. Sebelum menelepon yang bersangkutan, saya bertanya ke anaknya,
“Bapak ada dik?”
“Ada pak.” Jawabnya.
“Sedang sibuk nggak? Kok habis Isya nggak keluar.” Sambung saya lagi.
“Lagi nyusun batu mas.” Jawabnya.
“Wah berapa banyak yang disusun?” Lanjut saya.
“Dua lemari mas !!!”
Tak ada kepastian dari jawaban itu. Setelah saya telepon, calon informan ini menjanjikan saya bertemu di kantornya keesokan harinya. Besoknya, dia tidak hadir dan tidak menjawab telepon saya, mungkin merubah susunan batu malam sebelumnya.
Di lain kesempatan, saya membuat janji dengan politisi lainnya di kios-kios batu di samping Ngara Ici. Ketika wawancara di rumahnya, dia menunjukkan lebih dari sepuluh batu Obi warna kuning yang habis digosoknya, lengkap dengan cincinnya. Beberapa dari batu itu akan dibawa ke Jakarta dan seringkali mengganti ongkos pesawat PP Ternate-Jakarta.
Ketika saya datang ke Palembang 11 Januari 2015, di jalan Sudirman ada kerumunan orang-orang di trotoar. Saya tahu, ini adalah kerumunan penjual batu akik. Dibandingkan dengan Ternate, Palembang belum berkembang. Industri ini tidak menjadi industri rakyat karena lebih banyak didominasi oleh pedagang, dan calo batu. Dia beli dari seseorang dan menjualnya kepada orang lain lagi dengan keuntungan yang didasarkan pada kesukaan atau ketidaktahuan pembeli. Industri kurang tumbuh karena hanya segelintir yang menjual batu bongkahan dan lebih segelintir lagi yang memiliki alat pengolahannya. Bahkan tak semua pedagang memiliki senter dengan ujung mengecil yang menjadi senjata andalan di Ternte.
Namun demikian, antusiasme warga tak berbeda. Ada yang mengatakan bahwa demam batu akik ini menyusul tren-tren sebelumnya yang telah kandas lebih dulu yaitu ikan lohan dan tanaman bunga. Tentu saya akan ada yang diuntungkan luar biasa dari industri batu ini, tapi saya lihat, ada pergerakan ekonomi rakyat yang luar biasa dan undoubtedly, secara signifikan mengurangi pengangguran, walau hanya beberapa saat sampai menunggu waktu surutnya.
Tren batu akik berbeda dengan ikan lohan dan bunga. Kedua tren sebelumnya tidak handy untuk industri rakyat. Ikan Lohan jelas lebih tidak handy dibanding bunga, pun bunga jauh tidak handy dibanding batu. Seseorang dapat mencoba peruntungan menjadi penjual batu akik hanya dengan bermodalkan tas kecil yang terdiri dari susunan batu. Bayangkan dengan bunga yang repot berikut potnya, atau bahkan lohan dengan akuariumnya. Lohan dan bunga jelas tak bisa dimasukkan di dalam saku.
Selain itu, pergeseran tren dari Lohan, Bunga dan Batu juga menunjukkan derajat variasi yang semakin banyak. Bisa dikatakan, variasi dari jenis, warna, ukuran, bentuk, corak batu adalah tak terhingga jika dibandingkan dengan Lohan dan Bunga. Hanya saja, batu akik tidak mengalami perubahan dan relative stagnan (kecuali beberapa jenis batu Bacan yang “proses”), tentu saja, karena batu adalah benda mati, berbeda dengan dua tren sebelumnya.