Butuh mental lebih untuk menghadapi tantangan penelitian lapangan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya: anjing. Sejak kecil lingkungan social mendidik saya untuk melihat anjing tak lebih dari binatang najis, galak dan harus diwaspadai. Pendeknya, anjing adalah a nasty animal. Apalagi lingkungan kampung saya di Bogeman Magelang yang gangnya sempit-sempit dan rumah yang sempit tetapi banyak yang beretnis tionghoa, membiarkan anjingnya berkeliaran di jalanan. Saya bersahabat dengan pemilik anjing, tapi tidak dengan anjingnya. Tapi percayalah, bukan anjing yang sering di jalan yang berbahaya, tetapi anjing yang biasa di dalam rumah, tetapi pada saat tertentu yang sangat jarang dilepas di jalanan.
Ketika anjing rumahan itu dilepas, dia akan liar, apalagi mendekati musim kawin. Kakak saya pernah digigit anjing di kakinya, saya juga pernah. Waktu itu saya kelas satu SMP sekitar 13 tahun. Saya dan adik saya sedang mengejar layang-layang putus. Adik berlari di depan dan tidak menghiraukan anjing yang akan mengejarnya. Anjing itu, rumahan tentu saja, tak jadi mengejar adik dan justru mengejar saya yang berlari di belakangnya. Anjing itu sukses menggigit paha kiri saya dengan dua bekas gigitan. Celana pendek saya bolong. Sejak saat itu, bayangan dan doktrin the nasty animal tak pernah hilang dan lebih baik menghindar bila bertemu anjing.
Masalahnya, riset saya di Bali berhubungan dengan anjing, atau lebih tepatnya pemilik anjing. Siang tadi saya lewat di sebuah bangunan indah dengan dinding memanjang di jalan dan dari sekelebatan saat naik motor tertulis “Puri Peliatan”. Setelah searching, malamnya saya datangi. Saya sudah curiga sejak masuk kok gelap. Lalu datanglah segerombolan anjing yang terus menggonggong merasa tempat nongkrongnya diganggu. Untungnya ada seseorang yang berbaju adat yang mengatakan bahwa bangunan indah ini bukan tempat tinggal raja, tetapi pura nya. Sambil keluar, memang tulisannya “Pura Dalem Puri Peliatan.” Waduh…
Cerita tak berhenti di situ. Setelah menemukan tempat tinggal sang raja, saya harus berjalan masuk ke dalam bangunan Puri yang terdiri dari banyak bangunan. Bahkan sejak motor saya parkir gonggongan anjing tidak berhenti. Ini sungguh mengerikan jika dilengkapi background masa kecil saya. Tak kurang akal, saya membawa serta helm dalam posisi “siap tempur”. Tapi entahlah, anjing yang menggonggong jarang menggigit.
Tetapi di Puri Saren tempat saya tinggal, ada anjing yang namanya Blacky (entah bagaimana menuliskannya: apakah Bleki, Blackkey atau Blacky etc), anjing hitam yang setia. Blacky akan menggonggong kepada siapapun yang datang malam-malam dan akan berhenti begitu melihat (dan mungkin mencium) bau orang yang datang. Kadang-kadang di pagi dan sore hari, dia menemani saya membaca buku-buku yang saya temukan di perpustakaan kampus Udayana. Posisi duduknya pun khas model anjing begitu hehehe.
Paling tidak, Blacky sudah merubah persepsi saya tentang a nasty animal menjadi, well, ….an animal!