Makassar dan Gowa: Sampah, Jeruk Nipis dan Martabak Terang Bulan

Jika boleh memilih tiga kesan pertama saya setelah tinggal enam hari di Gowa dengan travel ke Makassar, mungkin tiga kata tersebut yang muncul pertama kali di kepala: Sampah, Jeruk Nipis dan Martabak Terang Bulan.

Kesan pertama tentang sampah tentu bukan hal yang mengenakkan. Selama berjalan kaki di beberapa ruas jalan Makassar dan Gowa, kesan tentang sampah yang pertama kali muncul. Di setiap selokan yang saya temui, tumpukan sampah, menyatu dengan lumpur pekat, menghambat aliran air yang menyebabkan sebuah perpaduan jorok antara sampah, lumpuh dan limbah. Warnanya hitam dan seringkali di bagian atasnya kehijauan. Tentu saja tidak ada yang peduli karena tidak ada yang berjalan kaki menyusuri jalanan. Genangan ini muncul mencuat di sela-sela trotoar yang bolong. Saya dengar Makassar sering tergenang ketika musim hujan walaupun saya kebetulan datang di puncak musim kemarau. Tetapi hampir pasti, genangan itu bercampur sampah yang terbawa air.

Kondisi ini merata hampir di setiap sudut kota, mulai beberapa meter dari lapangan Karebosi, sampai ke jalan-jalan di Sungguminasa. Bahkan, di jalanan beberapa meter dari makam Syeh Yusuf, pahlawan nasional dari Sulsel selain Sultan Hasanuddin, ada selokan meluber yang menimbulkan genangan di jalanan yang dibeton. Genangan itu saking lamanya, telah menyebabkan beton ditumbuhi lumut walaupun terus tergerus ban kendaraan.

Selain itu, tempat sampah sepertinya langka. Warga hanya menaruh bungkusan kantok plastik berisi sampah yang diangkut oleh truk terbuka yang selalu tampak penuh, beberapa hari sekali. Disatu sisi pemerintah sibuk mengkampanyekan budaya membuang sampah pada tempatnya, di sisi lain tak ada tempat sampah dan tata kelola sampah. Saya berani bertaruh, seluruh selokan mampat itu sudah bertahun-tahun tidak dikeruk.

Kesan kedua adalah jeruk nipis yang selalu hadir dalam hampir semua makanan. Jeruk ini diiris menjadi beberapa bagian dan diperas untuk ‘topping” hampir semua makanan mulai bihun goreng, pallu basa, kakap penyet, konro, coto, mie ayam…you name it. Bahkan pada sebuah warung makan pinggir jalan, saya percaya diri memesan es jeruk setelah melihat gundukan jeruk nipis, ternyata jeruk nipis itu hanya untuk “topping” saja. Para pedagang jalanan di Gowa dan Makassar malas menyediakan menu minuman. Mereka sepertinya sudah sibuk dengan menu makanan saja. Minumnya pun seragam: air es dengan gelas alumunium. Padahal minuman ini bisa menjadi salah satu penyumbang keuntungan yang lumayan jika dikelola dengan baik.

Ketiga tentang Martabak Terang Bulan (MTB) yang selalu ada tiap 200 meter di jalan utama. Saya tidak tahu darimana MTB berasal, yang jelas, dari spanduk penjualnya, cukup lengkap mulai dari MTB Medan Asli sampai MTB Tegal Asli Cabang Penakukkan. Seandainya dapat mengambil kesimpulan yang pasti tepat dalam riset lapangan saya kali ini, bisa jadi kesimpulannya adalah Gowa dan Makassar adalah kota dengan MTB terbanyak di Indonesia. Sepertinya, saya harus mencoba memesannya nanti malam….