Flo, Yogya dan Keindonesiaan

1Emqc3YFlo jelas salah atau setidaknya bertindak kurang sopan untuk ukuran umum masyarakat kita yang telah memaki masyarakat Yogyakarta karena tak mau berbagi nasib di antrian SPBU. Dia juga telah minta maaf walaupun permintaan maaf tidak menyurutkan proses hukum. Kasus Flo bisa jadi bukan hanya kekecewaan sekilas, tetapi ekspresi lama kekecewaan masyarakat Yogyakarta.

Yogyakarta yang istimewa, tidak dibangun oleh orang Yogya “asli” saja tetapi merupakan perbauran antara masyarakat pendatang yang akhirnya menghadirkan nuansa keindonesiaan. Perbauran ini sudah berlangsung sangat lama masuk ke dalam lingkaran inti kekuasaan keraton. Kerjasama antar keraton telah menghadirkan perpindahan penduduk ke Yogyakarta.

Pada masa kemerdekaan, perpindahan kementrian ke Yogyakarta membawa perubahan sosial yang luar biasa seperti ditulis dalam buku Selo Sumardjan. Yogyakarta yang tadinya relatif homogen berubah menjadi heterogen. Indonesia di Yogyakarta hadir ketika membantu republik menyediakan Yogyakarta sebagai ibukota.

Jejak-jejak keindonesiaan itu juga nampak dalam pendirian dan perkembangan UGM. Dari empatbelas rektor UGM, tidak ada satupun yang asli Yogyakarta. Mereka hijrah ketika kuliah, memiliki prestasi akademik yang baik dan selanjutnya hidup di Yogyakarta. Kondisi yang sama juga terjadi di tingkat fakultas dan jurusan. Kehadiran UGM dan puluhan universitas lainnya sudah barang tentu secara signifikan mewarnai perkembangan Yogyakarta.

Konon, mereka yang telah meminum air tanah Yogyakarta selama periode tertentu akan terkena pelet kota ini untuk terus selalu ingin kembali. Tidak sedikit dari mereka yang memutuskan menetap di Yogyakarta adalah mereka yang telah menyelesaikan kuliah, sehingga otomatis masuk dalam kategori kelas menengah terdidik.

Sayangnya, cerita indah dan pertukaran budaya dalam relasi ibu-bapak kos orang Yogya asli dengan mahasiswa indekos semakin langka. Yogyakarta sebagai lndonesia mini terancam. Yogyakarta yang menggiurkan secara bisnis menjadi incaran pengusaha kos-kosan yang berburu dari luar Yogyakarta. Mahasiswa indekos hanya berhubungan dengan ATM dan SMS dengan pemilik kos yang tinggal di luar kota. Peningkatan ekonomi mahasiswa yang datang ke Yogyakarta tidak mampu diimbangi dengan pemilik kos lokal yang gagal menyediakan kosan dengan fasilitas yang lebih baik karena bertumpu pada usaha subsisten. Akibatnya banyak yang tinggal dan kuliah di Yogyakarta tetapi tidak berinteraksi dan tidak bertukar nilai dengan komunitas.

Di sisi lain, maraknya perumahan dan juga asrama mahasiswa guna mencukupi kebutuhan hunian juga secara tidak langsung menjadikan terwujudnya enclave-enclave budaya dan etnisitas. Batas tembok perumahan telah menjadikan jarak antara penghuni perumahan yang tidak saling kenal dengan penduduk diluar tembok. Di beberapa lokasi idaman, penduduk tak punya pilihan selain menjual tanahnya karena tak sanggup membayar IMB. Sehingga, bagi yang gagal bertahan, tersingkir adalah sebuah keniscayaan.

Nah, dalam konteks sosial budaya kekinian inilah kasus Flo bisa dipahami. Flo kecewa pada Yogyakarta yang tak menyedikan fasilitas baginya untuk memahami keindonesiaan. Ketika gagal mengkomunikasikan kekecewaannya dengan teman, keluarga dan lingkungan sosial, satu-satunya jalur itu adalah media sosial. Bisa jadi, kedigdayaan daya redam sosial Yogyakarta yang terkenal luar biasa sudah mulai luntur. Yogyakarta mulai mendekati kota besar lainnya yang tak lepas dari macet, ruwet, dan terutama individualitas. Pemilik hotel tak peduli apakah sumur penduduk sekitar kering ketika air disedot untuk berendam tamu hotelnya. Ijin hotel tak mampu menahan retaknya daya rekat sosial karena hanya bertumpu pada kaidah teknis dan adminsitratif.

Ekspresi pengusiran terhadap Flo bukan hanya kurang tepat, tetapi mengancam semangat keindonesiaan yang dihadirkan Yogyakarta selama ini. Tindakan ini seperti menarik diri dari keindonesiaan yang digagas tokoh-tokoh Yogyakarta sejak masa kemerdekaan, terutama Sultan HB IX.

Justu sebaliknya, masyarakat Yogyakarta justru harus mampu menunjukkan karakter yang lentur terhadap pendatang yang secara ekonomi menopang kehidupan sebagian besar rakyatnya. Secara ekonomi dan politik, pendatang, entah turis atau mahasiswa terlalu penting bagi Yogyakarta. Pendatang seperti Flo ini lambat laun akan belajar bagaimana menjadi Indonesia di Yogyakarta. Tentu saja, ketika tata kota dan orang-orangnya menyediakan dan menjamin ruang interaksi itu.

Bagi saya, Flo bisa jadi telah mengingatkan kita, bahwa sebuah kota tidak bisa tumbuh dengan sendirinya. Dia adalah perwujudan manusia yang hidup di atasnya, yang harus selalu dijaga akal sehatnya.