Kedaulatan Rakyat, Analisis, 10 Februari 2015
Dana Istimewa 2015 yang dialokasikan 547, 45 M dapat dipastikan terlambat. Dalam tiga kali penyaluran selama ini, danais tidak pernah datang tepat waktu. Pemerintah DIY menunjuk Pemerintah Pusat yang dikoordinatori Kemendagri lambat dalam menyalurkan anggaran yang penting bagi pembangunan DIY. Penelusuran penulis di DIY dan Jakarta memberikan kesan bahwa keterlambatan Danais merupakan kombinasi dari masalah di DIY dan pusat.
Danais 2015 melalui proses yang cukup panjang. Pada 21 Feb 2014, Gub DIY mengusulkan anggaran sebesar 1,02 T rupiah untuk anggaran 2015, padahal sebulan sebelumnya, dari alokasi 2013 sebesar 231 M, hanya mampu terealisasi 54 M atau 23,5 %. Setelah melalui sekian proses, pada 15 Agustus 2014, anggaran Danais 2015 disepakati 547, 45 M.
Danais jauh berbeda dengan Dana Otsus Aceh dan Papua yang berbentuk block grant, yang segera dicairkan Kemenkeu setelah ada rekomendasi dari Kemendagri. Tidak ada ukuran keberhasilan kinerja tahun lalu untuk pencairan tahun berikutnya, entah dikorupsi, atau gagal dikelola, Dana Otsus Aceh dan tetap akan dicairkan merujuk pada prosentase dari Dana Alokasi Umum.
Sementara Danais berbasis kepada kinerja. Dana tahapan berikutnya hanya dapat dicairkan setelah hasil dari tahap sebelumnya diverifikasi. Model ini mendapat apresiasi positif dari BPK karena hasilnya lebih terukur dibanding Dana Otsus. Dalam satu tahun terdapat tiga tahap penyaluran: 25%, 55% dan 20%. Dana tahap kedua hanya dapat dicairkan setelah dana tahap pertama mencapai capaian kinerja 80%, begitu juga tahap ketiga. Pada 2013, dana turun hanya satu termin. Pada 2014, Pemda DIY hanya mampu mencairkan dua termin dan tahun ini, prosesnya masih berada di Kemendagri.
Ada beberapa masalah terkait dengan terlambatnya pencairan Danais yang berimplikasi pada capaian serapan:
Pertama, Perdais yang terlambat. UUK memberikan kewenangan besar kepada DIY. Berbeda dengan Aceh dan Papua yang membutuhkan Peraturan Pemerintah, implementasi UUK langsung diatur melalui Perdais. Idealnya ada lima perdais yang mengatur lima kewenangan istimewa, tetapi sampai saat ini hanya ada satu perdais “payung” yang mencakup secara umum lima kewenangan tersebut. Perdais yang seharusnya cepat diselesaikan begitu UUK disepakati pada Agustus 2012, baru disyahkan tanggal 8 Oktober 2013 yang digunakan untuk mencairkan anggaran 2013 yang sangat terlambat pada 27 November 2013. Ketiadaan perdais juga membuat birokrasi kebingunan menggunakan anggaran karena tidak memiliki blue print yang jelas.
Kedua, terdapat ketimpangan struktur kelembagaan di DIY dan Kabupaten/Kota. UUK mengamanatkan keistimewaan di tingkat DIY dan tidak di Kab/Kota, padahal Kab/Kota merupakan aktor penting bagi pencairan anggaran. Bidang Kebudayaan misalnya, yang menerima lebih dari 90% danais tidak didukung dinas kebudayaan di Kab/Kota. Masalah ini paling mudah diselesaikan apabila ada perdais kelembangaan.
Ketiga, keterbatasan SDM di tingkat Provinsi dan Kab/Kota baik dari sisi jumlah dan terutama kompetensi. Sebuah unit pemerintah yang tadinya hanya mengelola anggaran puluhan juta mendadak mendapatkan alokasi puluhan milyar per tahunnya. Akibatnya, dalam bahasa di tingkat bawah, banyak yang takut nanti “disekolahke” ke Cebongan. Jadi daripada menanggung resiko korupsi akibat inkompetensi, mereka lebih baik lepas tangan dalam penggunaan anggaran. Inkompetensi juga terlihat dari kualitas laporan pencairan dana. Pada laporan tahap kedua 2014, tidak ada detail capaian tiap tahap, tetapi gabungan tahap satu dan dua sehingga sulit diverifikasi. Kesalahan laporan 2014 yang hanya mampu menyerap 51,93% danais ini memperlambat proses.
Keempat, di tingkat pusat, Kemendagri yang menjadi koordinator kementrian dan lembaga (KL) dalam melakukan verifikasi, sulit “memimpin” KL lainnya yang setara. Masalah pencairan 2015 antara lain karena BPN tidak melakukan verifikasi bersamaan dengan KL lainnya dan belum menandatangani berita acara. Lebih parah lagi, dalam Peraturan Menteri Keuangan, tidak ada batasan waktu kapan verifikasi harus dirampungkan.
Korban dari inkompetensi di tingkat daerah dan miskoordinasi di tingkat pusat membuat rakyat DIY tidak bisa memaksimalkan potensi untuk membangun Yogyakarta Istimewa.